Prolog
"Hai kamu, mengapa kamu diam disitu?" Bentak Raja Watanabe
"Aku hanya mencari bunga," ujar Qi Lin
BUNGA Bizantium itu selagi mekar memang indah nian. Menarik perhatian Qi Lin.
Namun sepintas Watanabe mencuri pandang.
Pakaian kemben Qi Lin terbuka memperlihatkan leher dan dadanya.
"Hemmzz mengapa aku harus lihat barang itu," dalam hati Watanabe bergejolak. Kemben melorot memperlihatkan bagian terlarang dilihat laki laki dewasa. Watanabe memicu Xiè Zhì, Kuda Unicorn dengan muka seperti naga. Tunggangan yang hebat. Melaju dengan kencang. Bahkan kuda Unicorn nya bisa bicara.
"Dia akan jadi selir kamu wahai Watanabe".
"Ah tidak mungkin"
"Mengapa tidak?"
"Sedang aku tidak tertarik sama sekali"
"Tapi dia suatu saat akan menjadi selir kamu"
"Buat apa? Yang ada saja sudah sangat cantik"
Watanabe memiliki 12 selir dan 1 permaisuri. Ia enggan menambah lagi. Apalagi Qi Lin baginya tidak begitu menarik. Kecuali yang barusan dilihatnya.
"Ah mengganggu saja"
Pikir raja mulai terganggu.
Qi Lin segera membetulkan kembennya.
Ia tahu tadi raja itu mencuri pandang darinya. Dan Qi Lin tahu kelemahan raja itu.
Baginya tidak jadi masalah untuk sedikit menggodanya.
***
Sementara itu dikerajaan lain. BAYANGAN cabang pohon prem yang jatuh ke dinding berplester putih akibat sorotan matahari pucat itu indah dan tenang, bagai lukisan tinta hitam-putih. Waktu itu awal musim semi di Koyagyu. Keadaan sunyi, dan cabang-cabang pohon prem seolah menunjuk ke arah selatan, pada burungburung bulbul yang segera berkumpul ke dalam lembah.
Tidak seperti burung, para shugyosha yang datang ke pintu gerbang benteng itu tidak kenal musim. Mereka selalu datang berduyun-duyun kesana, untuk mencoba memperoleh pelajaran dari Sekishusai, atau untuk mengadu kekuatan dengannya. Kalimat yang mereka perdengarkan tidak jauh berbeda,
"Izinkanlah, satu pertarungan saja."
"Izinkanlah saya bertemu dengannya,"
"Saya satu-satunya murid si ini atau si itu, yang mengajar di tempat ini atau itu".
Selama sepuluh tahun yang lalu, para pengawal memberikan jawaban yang sama: karena majikan mereka sudah lanjut usia, beliau tidak dapat menerima siapa pun. Hanya sedikit pemain pedang atau calon pemain pedang yang mau menerima begitu saja. Ada yang melancarkan kecaman pedas mengenai makna Jalan sejati. Menurut mereka, tidak boleh ada perbedaan antara tua dan muda, antara kaya dan miskin, antara, pemula dan ahli. Yang lain sekadar memohon-mohon, ada pula yang mencoba menyogok. Banyak yang meninggalkan tempat itu sambil menghamburkan kutukan kemarahan.
Sekiranya orang banyak itu mengetahui keadaan sebenarnya, yaitu bahwa Sekishusai sudah meninggal di akhir tahun sebelumnya, persoalannya mungkin akan jauh lebih sederhana. Namun telah diputuskan bahwa karena Munenori tidak dapat meninggalkan Edo sebelum bulan keempat, maka kematian itu mesti dirahasiakan sampai upacara pemakaman diselenggarakan. Salah seorang dari sejumlah kecil orang luar benteng yang mengetahui keadaan itu kini duduk dalam kamar tamu, dan mendesak minta bertemu dengan Hyogo.
Orang itu adalah Inshun, kepala biara Hozoin yang sudah cukup tua.
Selama In'ei pikun dan kemudian meninggal, ia berhasil mempertahankan nama baik kuil itu sebagai pusat seni bela diri. Banyak orang bahkan yakin ia telah meningkatkannya. Ia melakukan segalanya yang mungkin untuk mempertahankan hubungan erat antara kuil dan Koyagyu yang sudah ada semenjak zaman In'ei dan Sekishusai. Kini ia ingin bertemu dengan Hyogo, karena ingin berbicara tentang seni bela diri. Sukekuro tahu apa yang sebetulnya dikehendaki Inshun. Ia ingin bertarung dengan orang yang oleh kakeknya sendiri dianggap sebagai pemain pedang yang lebih baik daripada dirinya sendiri maupun Munenori. Hyogo tentu saja tidak mau melayani pertandingan macam itu, karena menurutnya takkan menguntungkan siapa pun, dan karena itu tak ada artinya.
Sukekuro meyakinkan Inshun bahwa pesan telah disampaikan. "Saya yakin Hyogo akan datang menyambut Anda, kalau dia merasa sehat."
"Jadi, menurut Anda dia masih masuk angin?"
"Ya, rupanya dia belum juga sembuh."
"Oh, saya tidak tahu bahwa kesehatannya begitu rapuh."
"Ah, tidak benar juga kalau dikatakan demikian. Beberapa waktu lamanya dia tinggal di Edo, dan sampai sekarang belum dapat membiasakan diri dengan musim dingin di gunung."
Ketika kedua orang itu masih mengobrol, seorang pemuda pembantu memanggil-manggil nama Otsu di halaman lingkaran dalam. Sebuah shoji terbuka, dan Otsu keluar dari salah sebuah rumah, diiringi alunan asap setanggi. Ia masih berkabung lebih dari seratus hari sejak meninggalnya Sekishusai, dan wajahnya tampak seputih kembang pit.
"Di mana Kakak tadi? Saya cari di mana-mana," tanya anak lelaki itu.
"Di kuil Budha."
"Hyogo menanyakan Kakak."
Ketika Otsu masuk ruangan Hyogo, ia berkata, "Ah, Otsu, terima kasih kau sudi datang. Aku ingin kau menjumpai seorang tamu atas namaku."
"Tentu."
"Sudah lama dia datang. Sukekuro yang sekarang mengawaninya, tapi kurasa Sukekuro sudah capek sekarang, mendengarkan dia terus bicara tentang Seni Perang."
"Kepala biara Hozoin?"
"Ya."
Otsu tersenyum tipis, membungkuk, dan meninggalkan ruangan.
Tidak begitu halus cara Inshun mencoba mengetahui pendapat Sukekuro mengenai masa lalu dan watak Hyogo.
"Saya dengar, ketika Kato Kiyomasa menawarkan kedudukan kepadanya, Sekishusai menolak, kecuali kalau Kiyomasa menyetujui satu syarat khusus."
"Apa betul? Saya tak ingat, apa pernah mendengar hal seperti itu."
"Menurut In'ei, Sekishusai mengatakan pada Kiyomasa bahwa Hyogo itu sangat gampang naik darah, maka Yang Dipertuan mesti berjanji, kalau Hyogo melakukan pelanggaran-pelanggaran besar, beliau akan mengampuni tiga pelanggaran pertama. Sekishusai tidak pernah dikenal sebagai orang yang mau memaafkan sifat tak sabar. Tentunya beliau punya perasaan khusus terhadap Hyogo."
Cerita itu begitu mengejutkan Sukekuro, hingga ia masih juga mencari-cari jawaban ketika Otsu masuk. Otsu tersenyum pada kepala biara itu, dan katanya, "Senang sekali bertemu lagi dengan Bapak. Sayang sekali, Hyogo begitu sibuk menyiapkan laporan yang harus segera dikirim ke Edo. Tapi dia minta saya menyampaikan permintaan maafnya, karena tak dapat menemui Bapak kali ini." Kemudian Otsu menyibukkan diri menyajikan teh dan kue-kue untuk Inshun dan kedua pendeta muda pembantunya.
Kepala biara tampak kecewa, sekalipun dengan sopan ia mengabaikan perbedaan antara alasan Sukekuro dengan alasan Otsu. "Sayang sekali. Saya sebetulnya punya kabar penting untuknya."
***
Dua tempat berbeda mereka suatu saat akan berseteru dan melakukan peperangan besar.
Sementara itu Ang Lin seperti biasa membawakan secangkir teh untuk sang raja. Walau sebenarnya bisa saja menyuruh dayang dayang mengambilnya. Namun ia tak mau sang Raja merasa dirinya tak ada gunanya. Apapun Ang Lin lakukan agar sang Raja Watanabe tidak terlalu tertarik dengan para dayang dayang dan selirnya. Bahkan pernah dalam seminggu Raja tidak mengunjungi Selir dan dayang dayang yang lain.
Setiap ada dayang dayang yang menarik, Raja selalu mengangkatnya menjadi selirnya.
Makanya Ang Lin berusaha menjauhkan sementara dayang dayang dan selirnya. Kalau perhatian sang Raja lebih tertarik pada mereka, apa kata dunia. Malu juga dia kehilangan muka dari para selirnya.
Ang Lin cukup berpengaruh dalam menentukan kebijakan kerajaan. Termasuk soal hukuman pancung dan gantung atau menerapkan hukuman apapun itu. Makanya takkan ada yang bisa melawan dirinya. Kalau mau selamat dan cari aman, maka harus baik baik dengan sang Permaisuri.