Ringkasan
"Dalam dunianya yang berwarna, Batinnya yang terluka."Dingin adalah bentengnya.Diam adalah batasnya.Jangan mengusiknya! Jika kamu tidak ingin sesuatu terjadi denganmu.______Airene Emilian adalah gadis dingin yang memiliki banyak luka kelam yang menyakitkan dan yang menjadi penyebab utamanya adalah keluarganya sendiri. Bagaimanapun sejak awal dirinya adalah seorang 'pengganti' dan 'dibuang' seperti barang yang tidak berguna.Tapi bagaimana jadinya ketika dirinya sudah terbiasa, mereka meminta dirinya kembali, kembali kepada kenyataan yang akan membuat lebih terluka dan hancur.Ikutin terus kisahnya!Di-update setiap hari.
Prolog
Pagi ini cuaca cerah, lapangan sekolah Pelita Bangsa atau yang lebih dikenal dengan sebutan PeBa oleh orang-orang sedang ramai dengan para siswa dan seluruh warga sekolahnya sedang berbaris, mereka sedang melaksanakan upacara hari senin saat ini yang sudah menjadi tradisi kebanyakan sekolah di Indonesia.
Seorang cewek berdiri dengan tenang di salah satu barisan jajaran kelas X. Ia sedang menatap lurus ke depan, hanya kedipan kedua mata yang menandakan bahwa ia makhluk hidup bukan sebuah patung toko yang memakai seragam SMA.
"Ren, lo udah nyelesain tugas fisika yang kemarin?" tanya seorang cewek yang berdiri di samping cewek itu memiliki label nama Amira Nandiya di rompi seragamnya, yang ditanya hanya memberikan anggukan sekali.
'Berasa ngomong sama patung gue' Amira membantin melihat respon cewek yang berada di sampingnya. "Gue liat ya." ucapnya lagi. Cewek itu tidak memberi tanggapan hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan.
"Pemberian hadiah serta penghargaan kepada pemenang lomba." ucap sang protokol upacara membacakan acara selanjutnya.
"Hah? Lomba? Lomba apaan?" gumam Amira.
Tak lama pemenang perlombaan dibacakan satu persatu "Airene dari kelas X IPA 1 sebagai juara 1 dalam pertandingan bela diri karate tingkat kota. Silahkan maju ke depan." ucap seorang guru yang membacakan nama para pemenang perlombaan tersebut.
Sontak mereka yang berada sebaris melihat ke seseorang yang disebutkan namanya barusan. "Lo ikut lomba kok gak bilang sih, Ren." tanya salah satu anak perempuan yang berada sebaris di depannya.
"Iya, kita kan bisa jadi suporter elo di sana." siswa lain berujar. Sementara respons yang di ajak bicara hanya menatap datar lalu berjalan ke tengah lapangan.
"Itu cewek manusiakan? Bukan robot? Atau jelmaan?" tanya salah seorang siswa kepada Amira setelah orang di samping Amira berjalan pergi ke tengah lapangan.
"Bacot lu. Manusia lah dia sahabat gue." ucap Amira menatap sinis ke siswa tersebut.
Setelah pembagian hadiah dan penghargaan, upacara selesai para murid pun dibubarkan dan kembali ke kelasnya masing-masing. Saat masuk ke dalam kelas, cewek itu berjalan lurus ke arah meja sang ketua kelas berada. "Simpen!" ujarnya singkat yang di ajak bicara hanya mendongak dan menatap cewek itu bingung.
"Gue malas bawa balik." Setelah mengatakan hal itu cewek itu langsung pergi ke mejanya.
Ketua kelas yang memiliki label nama Adri Pratama yang berada di jas sekolahnya hanya geleng-geleng saja melihat sikap acuh tak acuh dari Airene, si cewek itu. Adri bangkit dari kursi sambil membawa sebuah piala lalu meletakannya di lemari kaca yang berada di sudut ruang kelas.
"Ren, lo kok gak bilang sih kalau lo kemarin ada pertandingan karate?" tanya Amira berkacak pinggang berdiri di depan meja Airene.
"Penting buat lo?" tanya balik Airene yang sedang membaca novelnya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Amira yang berdiri di depannya.
"Iyalah kan gue mau liat lo tanding, gimana sih!" Amira berujar kesal sekaligus berusaha sesambar mungkin menghadapi manusia langka di depannya ini.
"Oh."
"Respon lo itu nyebelin tau gak!" ucap Amira jengkel.
"Tau." balas Airene singkat masih pada posisinya.
"Lo tuh ya..." belum sempat Amira menyelesaikan kalimatnya guru mata pelajaran pertama mereka sudah masuk ke dalam kelas dan hal tersebut membuat Amira pergi ke mejanya yang berada di barisan depan.
"Pagi anak-anak..." sapa pak Beni selaku guru fisika yang terkenal dengan keanehannya dalam memberi penilaiannya untuk semua siswanya.
"Pagi..." sapa semua murid yang berada di dalam kelas.
"Loh pak, bukannya bapak masuk sesudah istirahat pertama ya?" tanya Adri selaku ketua kelas mengutarakan pertanyaan yang berada di kepala teman-temannya.
"Kalian belum lihat ada perubahan jadwal?" tanya pak Beni balik.
Sontak semua murid menggeleng. "Itu salah kalian." ucap pak Beni.
"Baiklah kumpulkan tugas yang kemarin."
Mendengar kalimat bak perintah dari pak Beni barusan membuat seisi kelas yang semula ribut kini hening. "Kumpulkan sekarang!" ulang pak Beni tegas.
Tak ada yang bergerak satu pun dari tempat duduk mereka, kecuali Airene yang memang sudah menyelesaikan tugas itu dari beberapa hari yang lalu. "Hanya Airene?" tanya pak Beni kepada seluruh penghuni kelas.
Tak ada yang menjawab yang membalasnya.
"Hanya Airene?" tanya pak Beni sekali lagi. "Bagus, jadi saya tidak akan pusing memberi nilai untuk kalian." tambah pak Beni. "Saya akan buat nilai kalian B MINUS dirapot." ucap pak Beni menekankan kata 'minus'.
"Ya, jangan dong pak." protes mereka.
"Yasudah karena bapak baik hati dan rajin ngeronda, kali ini bapak akan memberi kemudahan tapi untuk kali ini saja." ucap pak Beni, semua murid tersenyum cerah.
"Pilihan pertama jika kalian mengerjakan di buku latihan nilai KKM paling tinggi dan jika kalian mengerjakannya di papan tulis nilai akan lebih tinggi." ucap pak Beni memberi penawaran.
Setelah beberapa menit banyak yang memilih mengerjakan di buku latihan daripada di papan tulis. Hanya sekitar lima orang yang memilih mengerjakan ke depan. "Baiklah bapak akan memberi waktu sekitar 20 menit dan 20 menit itu di mulai dari sekarang." Setelah mendengarkan hal itu para murid sibuk dengan tugas-tugasnya kecuali Airene yang dengan santainya ia membaca novel bersampul kuning yang berjudul The Missing Man karya ABC.
Sekitar 15 menit berlalu Airene masih serius dengan benda yang terdapat di tangannya itu. Sampai sebuah suara menghentikan aktivitasnya, ia menoleh ke arah pintu mendengus melihat manusia yang berada di sana.
"Permisi pak, Airene dipanggil buk Fika ke ruang guru." ucap seorang siswa yang berada di dekat pintu kelas.
Airene bangkit dari kursinya lalu permisi keluar. Hanya ada dua kata dalam pikirannya 'Ada apa?'. Ia berjalan ke arah ruang guru yang berada lumayan jauh dari kelasnya. Sesampainya di ruang guru ia langsung berjalan ke arah meja bu Fika. "Ibu memanggil saya?" tanya Airene tanpa basa basi.
Bu Fika tersenyum "Saya mau menanyakan kamu bersedia mengikuti Olimpiade Sains untuk mewakili sekolah ini." ucap Bu Fika.
"Kenapa saya?" tanya Airene cepat. "Karena kamu mampu." jawab bu Fika.
"Kapan?" tanya Airene singkat. "Minggu depan. Tepat tanggal 21 kalau saya tidak salah melihat jadwal acaranya." jawab bu Fika.
"Saya akan memikirkannya. Saya permisi." ucap Airene lalu pergi begitu saja.
Bu Fika hanya geleng-geleng saja melihat sikap Airene yang acuh tak acuh seperti itu. Airene langsung kembali ke kelasnya, mengetuk pintu dan masuk begitu saja. Pak Beni yang melihat air muka Airene bisa menebak ia pasti dipilih menjadi kandidat untuk olimpiade sains oleh bu Fika. 'Seperti waktu itu.' batin pak Beni mengingat kejadian di mana Airene kembali dengan muka malas sekaligus menyeramkan setelah dipanggil oleh bu Sherli karena dipilih menjadi kandidat untuk mengikuti olimpiade Matematika.