Ringkasan
Hanya sepenggal kisah sepasang sahabat berbeda jenis yang berakhir cinta. “Gue ngerasa sinting dengan apa yang gue rasain saat ini. Gue bingung. Gue enggak tahu sejak kapan, tapi yang jelas gue sayang banget sama dia. Setiap melihatnya gue merasa ... lengkap? Enggak ngerti, lah, gue. Pokoknya sesuatu seperti itu. Kayak ketika lo lagi nyusun puzzle, terus kepingan terakhir lo hilang. Saat lo sudah menyerah, tiba-tiba lo bisa nemuin kepingan terakhir itu. Lo ngerasa bahagia karena akhirnya puzzle lo bisa lengkap.” *** Berisi 2 cerita berkesinambungan.
Satu
Nadira melihat permainan tim basket sekolahnya dari sudut lapangan indoor. Nadira seperti tidak memiliki keberanian untuk melihat dari jarak yang lebih dekat, padahal sahabatnya sedari belum masuk TK sedang bertanding. Rheyner, sahabat Nadira, adalah kapten tim basket. Meski Nadira tidak duduk di tribune, Rheyner tahu Nadira melihat. Rheyner sudah hafal betul di mana Nadira berada karena hampir setiap tim basket bertanding selalu melihat dari sana.
Nadira menunjukkan kedua jempolnya saat Rheyner berhasil mencetak three point dan menoleh padanya. Rheyner tersenyum dan mengedipkan sebelah mata. Lagi-lagi Rheyner berhasil membuat tim basket sekolahnya memenangkan pertandingan. Meskipun hanya pertandingan persahabatan, tetap saja euphoria kemenangan tak bisa dicegah.
Setelah pertandingan selesai, beberapa pemain meninggalkan lapangan. Penonton pun banyak yang sudah meninggalkan tribune. Namun, Nadira masih bertahan di sana bersama sahabatnya di SMA Bakti Bangsa ini, Putri.
“Senang banget gue disenyumin sama Rheyner!” seru seorang siswi—yang tadi berdiri tidak jauh dari Nadira—pada temannya sambil berjalan melewati Nadira dan Putri.
“Dih, GR banget tuh cewek. Kak Rheyner ‘kan senyumnya sama lo,” cela Putri setelah cewek tadi berjalan jauh. Nadira hanya tersenyum. “Lagian kenapa sih, Dir, lo nggak nunjukin sama semua orang di sekolah ini kalo kalian sahabatan bahkan udah kayak saudara?”
Nadira tak langsung menjawab. Ia diam beberapa saat. “Aku cuma nggak mau jadi beban buat Rheyner. Udah cukup aku nyusahin dia terus-terusan, Put.” Putri memandang tidak setuju.
“Ck, Dir, gue malahan pengin banget punya sahabat cowok yang selalu ada buat gue. Terus ‘kan kalo punya sahabat cowok pasti selalu ngerasa aman karena ada yang jagain. Apalagi kalo sahabat gue kayak Kak Rheyner gitu. Udah pinter, ganteng, jago basket, karateka terbaik, dan suaranya bagus lagi. Ugh…idaman banget deh,” cerocos Putri.
“Idaman buat dijadiin sahabat atau pacar?” goda Nadira.
“Hehe.. pacar sih.” Putri hanya nyengir. “Eh, by the way, lo ‘kan dulu pernah bilang sempat ragu sama Kak Rheyner tuh. Ceritain dong.”
“Iya, jadi dulu aku pernah merasa kalo Rheyner itu nggak tulus berteman sama aku. Menurutku, dia mau jagain aku karena itu adalah satu kewajiban dari orang tuanya. Aku pernah liat orang tua Rheyner marahin dia cuma gara-gara dia pulang duluan dari sekolah. Setelah itu Rheyner jagain aku terus ke mana pun aku pergi.” Nadira menarik Putri untuk duduk di bangku tribune.
“Emang kejadian itu kapan?” tanya Putri.
“Waktu aku kelas 5 SD kalo nggak salah.”
“Terus lo mulai yakin kalo Kak Rheyner benaran tulus berteman sama lo kapan?”
“Waktu SMP. Ya, di SMP ‘kan udah bisa berpikir lebih dewasa. Aku mulai yakin kalo dia berteman sama aku ya karena dia pengin, bukan karena paksaan orang tuanya. Apalagi waktu kejadian aku dikunciin kakak kelas. Dia benar-benar keliatan marah sama kakak kelas aku.”
“Kok lo bisa dikunciin kakak kelas lo sih? Duh, gue kepo banget ya?”
Nadira tersenyum dan menggeleng. “Di SMP aku selalu barengan sama Rheyner. Kapan pun dan di mana pun. Di mana ada Rheyner pasti ada aku. Orang-orang mikirnya aku yang ngintilin Rheyner terus. Kenyataannya Rheyner yang maksa aku buat selalu ikut sama dia. Rheyner adalah salah satu cowok populer di SMP aku dulu, seperti saat ini. Waktu SMP ‘kan dia lagi aktif-aktifnya ikut lomba karate dan selalu menang.” Nadira berhenti sejenak untuk mengambil napas.
“Kakak kelas yang ngunciin aku adalah teman sekelas Rheyner yang naksir banget sama dia. Cewek itu nekat ngunciin aku di kamar mandi setelah marah-marahin aku. Untung Rheyner bisa nemuin aku padahal waktu itu udah hampir malam. Dia ngelilingin satu sekolah sendirian buat nyari aku. Dia khawatir banget. Dari situ aku percaya kalo Rheyner emang tulus sahabatan sama aku dan menganggap aku adik seperti yang selalu dia ucapin.”
Nadira mengingat setiap momen yang ia lalui bersama Rheyner. Semuanya menyenangkan. Rheyner selalu memedulikan dan menjaganya, yang jelas Rheyner selalu ada untuknya. Selama ini mereka juga bersahabat secara wajar bukan seperti sebuah paksaan. Mereka saling berbagi cerita tentang apa pun, mereka sudah mengetahui pribadi masing-masing secara mendalam. Nadira menikmati semua waktu yang ia lewati bersama Rheyner dan Rheyner pun sepertinya begitu. Lalu apa yang membuatku dulu meragukan Rheyner? Dira merutuk kebodohannya dalam hati.
“Ya ampun, so sweet banget nggak sih Kak Rheyner. Oh ya, terus cewek itu gimana?” pertanyaan Putri mengembalikan pikiran Nadira pada alam sadar.
“Aku nggak tahu pastinya, tapi aku yakin Rheyner melakukan sesuatu ke cewek itu. Setelah kejadian itu nggak ada yang berani gangguin aku meskipun Rheyner udah lulus.”
“Iyalah secara lo ‘kan jadi senior dan mereka juga takut kali sama Kak Rheyner. Jago karate gitu.”
Nadira mengangguk. “Eh, kok aku jadi kayak curhat gini sih?”
“Ya ampun nggak papa kali, gue malah senang banget bisa dengar cerita lo sama Kak Rheyner.” Putri tertawa renyah. “Oh iya, maksud lo nggak mau membebani Kak Rheyner tuh karena lo takut kejadian dulu terulang lagi gitu?”
Nadira mengangguk. “Terkadang Rheyner bisa jadi orang yang nyeremin kalo marah. Aku nggak mau bikin image Rheyner jadi buruk kalo sampai kejadian dulu terulang lagi.”
“Lo trauma?”
Nadira mengangguk lemah. “Sedikit.”
“Apa pun yang terjadi pasti Kak Rheyner akan lindungin lo.”
“I know.”
Nadira merasa ponselnya bergetar. Nadira buru-buru mengeluarkan ponsel tersebut dari saku roknya. Sebuah pesan dari Rheyner.
Rheyn
Thx minumnya. 10 menit lagi
gw keluar.
Tunggu di tmpt biasa.
Nadira memasukkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan dari Rheyner. Ia kemudian menoleh ke arah Putri.
“Kenapa?” tanya Putri bingung.
“Rheyner udah ngajak pulang.”
“Tumben, nggak ada party dulu?” Nadira hanya mengangkat bahu. “Ya udah kalo gitu kita keluar bareng, jemputan gue juga pasti udah on the way.” Lalu keduanya pun berjalan bersama menuju gerbang sekolah.
Putri berhenti di depan pintu gerbang untuk menunggu jemputannya, sementara Nadira masih harus melangkahkan kaki sampai ujung jalan sekolah. Ia biasa untuk menunggu Rheyner di sana. Tempat tersebut memang strategis untuk bersembunyi dari anak-anak sekolah Nadira.
Matahari bersinar begitu terik membuat Nadira kepanasan. Nadira sudah berdiri di bawah pohon yang cukup rindang, tetapi panasnya masih terasa. Sudah hampir 15 menit ia menunggu Rheyner, tetapi yang ditunggu belum menampakkan batang hidungnya. Seharusnya Rheyner sudah ada di sana 10 menit yang lalu jika ditilik dari pesan yang Rheyner kirim. Nadira sudah mengirimkan pesan untuk Rheyner. Namun, cowok itu tidak kunjung membalasnya. Biasanya Rheyner akan memberi kabar pada Nadira kalau dia terlambat, tidak seperti sekarang.
Nadira baru akan mengirimkan pesan yang ketiga kalinya pada Rheyner saat ia mendengar suara motor—yang dihafal di luar kepala— mendekat. Beberapa detik setelahnya Rheyner sudah ada di hadapan Nadira dengan motor sportnya. Rheyner mematikan mesin motor dan melepas helm.
“Katanya 10 menit,” rajuk Nadira. Rheyner memperlihatkan senyum yang tercetak di wajah tampannya.
“Sorry deh, Nad. Sekarang ikut gue aja yuk.”
“Lha, emang mau ikut kamu ‘kan? Ngapain coba aku nungguin lama di sini kalo nggak ikut kamu,” kata Nadira heran.
“Maksud gue ikut makan-makan sama anak basket. Itung-itung ngerayain kemenangan barusan. Gue ‘kan kapten jadi mau nggak mau harus ikut.”
“Nggak ah, Rheyn. Aku kan nggak kenal sama mereka,” tolak Nadira.
“Makanya ikut biar kenal. Lagian lo nggak kasihan sama gue yang harus ngantarin lo dulu terus balik lagi ke daerah sini?”
“Ya udah, aku pulang sendiri aja. Nggak papa kok, sana kamu cepetan balik ke teman-teman kamu lagi.” Nadira tersenyum meyakinkan.
“Nggak-nggak, lo tetap pulang sama gue. Mending nggak ikut mereka daripada biarin lo pulang sendiri. Cepetan naik!” tukas Rheyner cepat.
***