Bab 02 || Pernikahan & Duka
Di dalam kamar yang dihiasi dengan pernak-pernik dekorasi yang indah, terdapat seorang wanita muda yang tengah menatap nanar diri-nya dari pantulan cermin rias yang berada di hadapan-nya. Semerbak aroma kelopak bunga yang bertaburan menyeruak di indra penciuman, berhasil memberikan kesan rileks bagi siapa saja yang berada di sana.
Kemelut rasa melanda bersama dengan sampainya kabar duka mengenai kecelakan yang menimpa Alex. Perlahan, cairan bening menetes dari kedua sudut mata yang dinaungi bulu-bulu lentik. Bayangan akan kesungguhan Alex dalam melamarnya terus menari-nari di benak Amera. Butuh waktu yang cukup panjang, bagi mereka untuk bisa sampai di tahap ini. Lalu, dalam sekejap semua harapan itu pupus tak bersisa.
Sungguh, tidak pernah terbayangkan oleh Ameera bahwa pernikahan indah yang dia impikan harus berakhir bersama dengan duka mendalam. Dalam perjalanan menuju tempat resepsi, sebuah truk besar menabrak mobil yang dikendarai oleh Alex beserta seorang kepercayaannya, Owen. Naasnya, pria yang menjadi calon pengantin itu justru dikabarkan meninggal dunia saat dalam perjalanan ke rumah sakit.
Balutan gaun pengantin berenda berwarna putih bersih, nampak pas membalut tubuh ramping. Sebuah mahkota dengan satu permata di tengah, terpasang indah membingkai kerudung persegi dengan corak warna senada dengan gaun yang di kenakan. Wanita itu, benar-benar terlihat sangat cantik dan anggun.
"Maa syaa Allah, anak Ibu cantik sekali." Ameera tersenyum getir mendengar pujian yang diberikan oleh Via. Sebelah tangan-nya, tergerak untuk memasang kembali cadar yang sempat ia lepas tadi. Tentu saja, dia tidak ingin ibunya itu mengetahui dirinya baru saja menangis.
Dari pantulan cermin, Ameera bisa melihat wanita paruh baya yang baru saja masuk ke dalam kamar. Setelah menutup pintu, lalu berjalan menghampirinya. "Apa yang sedang kamu lakukan, Nak?" tanya Via begitu sampai di sebelah Ameera.
Menoleh ke samping, perempuan dalam balutan gaun pengantin itu menggeleng pelan. "Aku masih tidak percaya kalau mas Alex ... mas Alex sudah tidak ada." Suara lembut Ameera, terdengar tercekat dan bergetar, sementara sorot matanya menyiratkan selaksa duka yang begitu besar.
"Oh, putriku tersayang." Via tidak kuasa hanya berdiam diri dan segera memeluk tubuh ramping Ameera. "Ikhaskan, kepergian Alex, Ameera. Ibu, Ayah dan semua orang juga sama-sama merasa kehilangan. Tapi, percayalah bahwa sepahit apa pun yang terjadi itu adalah ketentuan terbaik dari Allah." Dengan sebelah tangan mengusap punggung Ameera, wanita dengan hiasan melati yang terpasang cantik di kepala berbalut hijab dan mencoba menenangkan.
"Tapi, Bu. Aku tidak bisa menikah dengan laki-laki itu. Kami tidak saling mengenal."
Melerai pelukannya, sebelah tangan wanita paruh baya itu terulur untuk membelai pipi Ameera yang tertutup kain cadar. Dia tahu betul jika putrinya masih tidak rela dengan kepergian Alex. Terlebih harus menikah tiba-tiba dengan pria yang seharusnya menjadi calon kakak iparnya sendiri. Via bisa mengerti dengan keterkejutan Ameera dan ketidak relaannya atas takdir yang berlaku.
Via tersenyum simpul. "Ibu tahu, Ameera. Meski begitu, semua ini sudah diputuskan Tuan David. Kita tidak bisa menolak. Apalagi, semua tamu undangan tengah menunggu di luar, kita tidak memiliki pilihan. Keluarga besar David Septihan tidak akan membiarkan nama baik mereka tercoreng apa pun alasannya." Wanita paruh baya itu mencoba memberi pengertian.
"Oh, kenapa semua ini harus terjadi ...." Ameera menangkupkan wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Dapat Via rasakan, bagaimana putri-nya itu terlihat begitu frustrasi atas apa yang tengah terjadi. "Ini terlalu menyakitkan untuk-ku, Bu," lirihnya terluka.
Benar, baru satu jam yang lalu mereka mendapat kabar duka mengenai Alex, calon mempelai yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Alih-alih membatalkan, pernikahan yang telah dipersiapkan dengan matang, harus tetap dilaksanakan berkat perintah langsung dari David, kakek Alex. Sesepuh di keluarga Septihan itu, secara lantang meminta Alvan untuk menggantikan posisi adiknya dan menikahi Ameera.
Tak memiliki kuasa menolak, Ameera dan keluarga hanya bisa pasrah atas apa yang telah diputuskan. Meski tidak ingin, keluarga David Septihan tidak akan membiarkan reputasi keluarga mereka tercoreng. Terlebih lagi, semua ini berkaitan dengan keputusan Alex dalam menikahi seorang gadis biasa seperti Ameera. Kelak, akan ada banyak rumor tidak sedap yang beredar jika sampai pernikahan ini dibatalkan. Oleh sebab itu, David memutuskan untuk menutup kabar duka yang terjadi dengan menikahkan Alvan dengan Ameera.
"Semua-nya akan baik-baik saja, Ameera. Percaya sama Ibu." Wanita paruh baya itu mengepuk-nepuk pelan pundak kurus Ameera. Ada secebis kekhawatiran yang terpampang jelas di raut wajah-nya yang sudah mulai mengeriput, melihat kondisi putri-nya yang begitu memprihatinkan.
Tok ... tok ... tok ....
Selagi larut dalam suasana, ketukan pintu yang terdengar berhasil mengalihkan perhatian. Menghentikan tepukan pelannya di bahu Ameera, Via menoleh ke arah daun pintu yang masih tertutup. "Siapa?" tanyanya pada seseorang di balik pintu.
"Maaf, Bu. Saya Dinda. Acara sudah mau dimulai. Bapak bilang sudah waktunya bagi pengantin wanita untuk keluar," ujar wanita bernama Dinda itu dari sebalik pintu, memberitahu.
Mendongakkan kepalanya, Ameera menatap sang ibu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ibu ...." Ia tidak kuasa berkata-kata. Ada banyak sekali keraguan yang tengah ia rasakan.
Seakan mengerti dengan kekhawatiran Ameera, Via meraih telapak tangan perempuan itu kemudian mengusap-nya lembut. "Kita sudah harus keluar, Sayang." Ia mencoba berbicara dari hati ke hati.
"Ameera ... takut, Bu."
Via tersenyum simpul. "Tenanglah Ameera. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Meskipun pernikahanmu dengan Alvan di mulai karena sebuah keterpaksaan, Ibu percaya kalau kalian memang ditakdirkan untuk bersama." Wanita paruh baya itu berusaha meyakinkan.
Setelah sempat tertegun selama beberapa saat, ragu-ragu Ameera mengangguk. "Baik, Bu. Aku berharap, ini yang terbaik," ucap Ameera dengan suara bergetar. Air mata-nya perlahan luruh dan jatuh membasahi kain cadar yang dikenakan.
"Sudahlah jangan nangis lagi. Make-up kamu bisa rusak sebelum acara, eh?" kata Via seraya menghapus air mata Ameera dengan penuh kasih sayang.
Perempuan pemilik sepasang mata coklat terang yang indah itu mengangguk patuh. "Eumm. Maaf, Bu. Aku terbawa suasana." Ameera tidak enakan karena telah membuat sang ibu khawatir.
Kembali, wanita paruh baya itu tersenyum. "Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kita segera bersiap-siap. Semua orang sudah menunggu di depan. Kita harus segera bergegas," tandas Via kemudian segera membantu Ameera bersiap-siap.
Sungguh, Ameera merasa begitu beruntung karena bisa dipertemukan dengan wanita berhati malaikat seperti Via. Meskipun mereka bukan-lah sepasang orang tua kandungnya, Via dan Sulistyo selalu memperlakukan dan menyayanginya dengan sepenuh hati. Seandainya saja, dia tidak memutuskan menikah. Mungkin, hal seperti ini tidak akan terjadi?
'Astaghfirullahal 'adzim, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Ayolah, semua ini sudah takdir. Qodarullah, tidak boleh berandai-andai,' batin Ameera mencoba mengingatkan dirinya agar bersikap menerima takdir yang telah digariskan untuknya.
***
Resepsi pernikahan berlangsung dengan lancar. Para tamu undangan telah berkumpul untuk menyaksikan momen sakral yang akan diadakan di kediaman Sulistyo. Meskipun tempat yang mereka gunakan tidak-lah semegah dan sebesar gedung-gedung di luaran sana, tuan hajat berhasil membuat acara pernikahan berjalan dengan baik dan tak kalah meriah.
Seorang penghulu menjabat tangan pria dalam stelan jas hitam yang nampak maskulin dan gagah yang ada di hadapannya. "Bisa kita mulai sekarang?" tanya pria parauh baya itu memastikan.
Bukannya menjawab, Alvan justru mengkerlingkan kedua matanya malas. "Ck, masih nanya lagi!" ketusnya dengan perasaan gerah.
Mendapati hal itu, Brian yang menemani di samping-nya segera menyenggol lengan putranya dengan sedikit keras. "Jaga ucapanmu, Alvan! Beliau penghulu yang akan menikahkan kamu," tegur Brian dengan tegas.
Pria paruh baya dalam balutan jas berwarna hitam itu kemudian tersenyum rikuh pada sang penghulu. "Maafkan anak saya, Bapak Penghulu, pak Tiyo," ucap David tidak enakan dengan sikap tidak sopan putra-nya.
Sulistyo dan pak penghulu itu balas tersenyum kemudian mengangguk kecil. "Tidak apa-apa, Tuan. Kalau begitu, kita mulai saja akad-nya," ujar Sulistyo membalas ucapan Brian.
Kembali, pria sang penghulu menjabat tangan Alvan. Kali ini, dengan situasi yang sedikit lebih serius dari sebelum-nya. "Baik-lah, kalau begitu, bisa ikuti saya, Tuan Alvan." Sang penghulu menghela napas, lalu kembali melanjutkan, "Saya nikahkan engkau Alvano Septihan dengan Ameera Rania Putri binti Alm. Hisyam dengan maskawin berupa Emas 120 gram, dan sejumlah uang tunai sebesar 250 juta rupiah, dibayar tunai."
Keheningan mendadak menyelimuti. Di tempatnya, Alvan mencoba mengendalikan diri-nya yang mendadak di serang gugup. Dengan sekali tarikan nafas, Alvan mencoba melafalkan apa yang telah diajarkan oleh sang papa beberapa saat yang lalu. "Saya terima nikah-nya, Ameera Rania Putri binti Alm. Hisyam dengan maskawin berupa emas 120 gram, dan sejumlah uang 250 juta rupiah, dibayar tunai." Tanpa sadar kalimat saklar itu berhasil diucapkan dengan sangat begitu lancar.
Tak pelak, hal tersebut membuat Brian, David dan yang lain terkejut. Pasalnya, baru beberapa menit yang lalu laki-laki itu mengatakan tidak bisa melafaldzkan kalimat sakral itu. Namun, baru saja semua orang dibuat tercengang dengan apa yang Alvan ucapkan.
"Bagaimana para saksi, Sah?" tanya sang penghulu kepada tamu undangan yang hadir di sana.
Seketika, ruangan yang berada di sana menjadi gaduh. "Sah!" Sahutan para tamu undangan terdengar secara kompak. Setelahnya, ucapan do'a dan selamat terus di ucapkan dengan penuh kekhusyukan.
Alvan tidak pernah menyangka jika pada akhirnya ia akan terjebak dalam sebuah pernikahan seperti ini. Bagaimanapun juga, semua yang dilakukan-nya semata-mata hanya karena iming-iming dari sang kakek yang hendak menyerahkan perusahaan kepada-nya. Alvan telah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat pintu hati-nya dan bertekad tidak akan mencintai wanita mana pun kecuali Katrine, sang kekasih yang saat ini masaih berada di Amerika. Sementara untuk Ameera, dia menikahi-nya hanya karena terpaksa dan kelak akan menceraikan-nya di saat dan waktu yang telah ditentukan.
Setelah proses pertukaran cincin, Ameera diminta untuk menyalami Alvan. Dengan ragu, perempuan itu mulai mengarahkan tangan-nya meraih telapak tangan pria yang kini telah menjadi suaminya itu. Sementara Alvan, dia menatap sinis wanita yang kini tengah mencium punggung tangannya dengan penuh rasa takzim. Di mana cinta dan benci tak kasat mata saling bertemu di tengah-tengah, berperang dengan tugas dan suasana.
Setelah Ameera menyalimi Alvan, kini gantian Alvan yang diminta untuk mencium kening Ameera. Awal-nya, Alvan tidak mau. Namun, Brian dan David terus membujuk-nya. Hingga akhir-nya, dengan penuh keterpaksaan, Alvan pun mendekati Ameera dan mulai mengulurkan sebelah tangan-nya ke arah perempuan itu.
Sebuah desiran hangat Ameera rasakan saat benda kenyal itu menempel sempurna pada kulit dahi, mengiringi Vincent yang mengecup-nya singkat. Bersamaan dengan itu, tepuk meriah dari para tamu undangan terdengar menyelamati proses pengantin baru tersebut. Sebenarnya acara pernikahan yang digelar hari itu cukup tertutup karena hanya di hadiri oleh keluarga serta beberapa rekan bisnis. Meski begitu, tetap saja tamu yang datang berjumlah lebih dari yang telah diperkirakan.
Semua orang terlihat begitu bergembira menyaksikan momen indah ini. Berbeda dengan Ameera, dia terus-menerus di rundung rasa takut. Entah kenapa, dia merasa jika suami-nya itu tidak menyukai-nya, dan nyaris seperti membenci-nya. Lantas, bagaimana dia akan menjalankan pernikahan tanpa cinta ini
"Bahagia, eh? Akhirnya, kamu resmi juga menjadi pengantin keluarga David Septihan. Aku tidak tahu apa yang sudah kamu perbuat sampai-sampai Alex tergila-gila dan mau menikah sama perempuan modelan kayak kamu ini. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat. Jangan berharap lebih terhadap pernikahan ini. Aku tidak mencintaimu dan tidak akan pernah jatuh cinta padamu. Mengerti!" bisik Alvan berhasil membuat Ameera yang sedang melamun tersentak.
Perlahan, perempuan bercadar itu menoleh. Ditatapnya sosok jangkung yang berdiri di sebelahnya dengan penuh keterkejutan. Tanpa membalas, ia hanya terus menatap Alvan.
Satu hal yang sekarang Ameera mengerti, bahwasan-nya laki-laki yang kini telah berstatus sebagai suaminya itu sangat membencinya. Segera, perempuan itu mengalihkan atensinya ke arah lain. Diam-diam, di bawah sana Ameera mencengkram sisi gaun yang dikenakan guna menyalurkan keresahan yang bergumul di dalam dada-nya.
"Satu lagi. Malam ini, aku tidak akan tinggal di sini. Aku tidak sudi tinggal di tempat kumuh seperti ini. Sangat jorok dan tidak nyaman." Alvan menekan setiap kata-katanya, seakan sengaja melakukan-nya agar wanita di sebelah-nya itu tertohok. "Aah, satu lagi. Jangan harap aku mau melakukan hal itu bersamamu, wanita aneh dan kolot!" kelakar Alvan lagi semakin membuat Ameera terhenyak.
Gluk
Gemuruh rasa melanda. Kedua mata indah-nya telah berkaca-kaca. Ameera merasa hati-nya tercabik-cabik mendengar penuturan Alvan. Baru saja, suami-nya itu memberi peringatan menyakitkan. Menikah tanpa cinta? Oh, apa yang harus ia lakukan?
Bersamaan dengan itu Alvan merasakan ponsel-nya bergetar. Merogoh saku celana-nya, ia terbelalak tatkala melihat sebuah pesan masuk dari layar ponsel. Lalu, setelah-nya dia segera menekan tombol panggil sambil berjalan pergi.
"Maafkan aku, Sayang. Seharian ini aku sibuk sekali jadi tidak sempat menghubungi kamu ...."
Melirik sekilas ke samping, Ameera mengernyitkan kening. Sebenarnya, dia tidak berniat menguping pembicaraan. Hanya saja, suara Alvan terlalu besar untuk tertutup dari rungu Ameera.
Perempuan pemilik manik mata murni yang indah itu menatap punggung tegap yang kini sedang berdiri membelakangi-nya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sayang?" Kedua mata Ameera membola lebar begitu menyadari sesuatu. "Jangan-jangan ...."