BAB 7
***
Raja menatap gedung hotel Mulia yang di dominasi warna putih menjadi tempat tujuannya. Hotel ini salah satu hotel mewah di Jakarta. Di desain klasik dan luxury. Pilar-pilar tinggi menghiasi ruangan. Ruangan luas ditempati kursi-kursi klasik berwarna emas dan coklat keemasan. Lobby terdapat mezzanine yang dipakai buat memasan minuman yang sangat baik. Ia memantap para receptionis dengan sepenuh hati melayani tamu.
Pemandangan lobby di hotel inj begitu mewah, pencahayaan yang sangat bagus. Di dekat elevator terdapat karangan ucapan selamat atas reuni fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Mili menatap security yang tersenyum menyambut kehadiran para tamu, tidak lupa security itu mengucapkan selamat datang kepada setiap pengunjung, mengarahkannya menuju elevator untuk naik menuju ballroom.
Mili mengikuti langkah Raja, lalu memasuki lift, bersama pengunjung lainnya. Ada beberapa wanita yang terus memandangnya. Mili menelan ludah, tanpa Mili sadari jemari Raja sudah menggenggam erat. Raja menatap dan Mili membalas tatapan itu. Jantung Mili seketika maraton, dan ia berusaha menahan debaran jantungnya.
Elevator pun terbuka menyadarkan lamunan Mili, mereka melangkah menuju ballroom. Raja hanya menyungging senyum. Menarik Mili, jemari lentik itu masih berada dalam genggamanya. Raja menatap para pengunjung mulai masuk ke dalam ruangan. Suasana ballroom sudah terlihat penuh.
Mili menari nafas, jujur ia tidak mengenal satupun orang yang berada disini kecuali Raja. Mili bersyukur ia tidak salah kostum. Ia memang pantas mengenakan gaun hitam di acara ini. Bahkan ia terlihat sangat sexy dibanding lainnya. Ah ya, rancangan dress Dara memang selalu membuat orang terpana.
Sementara Raja memandang beberapa pria di salah satu meja di dekat pilar. Pria-pria itu menyadari kehadirannya lalu melambaikan tangan. Di sana ada Dimas, Satria, dan Raka. Mereka semua adalah teman-temannya dulu. Sekian lama tidak bertemu, akhirnya mereka dipertemukan lagi disini.
"Itu teman-teman ku," gumam Raja, ia menarik jemari Mili. Mili yang mengikuti langkah Raja menemui para pria itu.
Mili menatap tiga orang laki-laki yang tidak kalah kerennya seperti Raja. Mereka memiliki selera fashion yang bagus dan begitu rapi. Mereka terlihat seperti seorang model dari pada dokter spesialis. Image dokter kutu buku, menggunakan kaca mata dan membaca buku tebal hilang sudah. Lihatlah mereka semua pria-pria tampan. Hidup mereka nyaris sempurna, tampan dan kaya.
"Hai men, apa kabar lo," Raja memeluk tubuh Dimas, lalu menepuk bahu itu. Diantara mereka Dimas lah yang paling sempurna. Dimas dengan nekat menikahi salah satu putri pemilik hotel ini.
"Ya baik lah, lo gimana di Jerman? Nggak bosen disana?"
"Lumayan lah," Raja tertawa.
Dimas memandang seorang wanita tepatnya disamling Raja. Ia yakin itu wanita itu kekasih Raja terbaru. Ia melirik Risa yang duduk tidak dikursi dekat Raka, wanita itu adalah mantan kekasih Raja. Ah, padahal ia tahu bahwa Risa mengharapkan Raja kembali padanya
Tapi lihatlah Raja terlihat biasa saja, bahkan menggandeng wanita lain dengan bangganya. Sebagai pria ia akui bahwa wanita yang digandeng Raja tak kalah cantiknya seperti Risa, memiliti tubuh ideal dan wajahnya mengingatkannya kepada salah satu artis Indonesia. Rambut coklatnya bergelombang hingga sebahu menggambarkan wanita masa kini. Wanita itu terlihat dewasa dan bajunya terlihat lebih sexy, kulitnya berkilau. Wanita itu terlihat seperti seorang model.
"Ini pacar lo?," Tanya Dimas penasaran.
"Iya," Raja tersenyum.
"Dokter mana,"
"Bukan dokter tapi entrepreneur,"
"Keren dong,"
Raja tersenyum dan menarik pinggang ramping Mili agar merapat ketubuhnya. Raja melirik wanita berpakaian dress putih dengan tali spaghetti, duduk di samping Raka. Ia masih teringat jelas bahwa wanita itu adalah Risa mantan kekasihnya dulu. Dia tidak berubah, masih tetap cantik. Raja hanya bisa menyungging senyum.
"Mili kenalin ini teman aku namanya Dimas," ucap Raja tenang.
Alis Dimas terangkat bahwa wanita itu bukan seorang dokter. Karena yang ia ketahui bahwa Raja selalu memacari wanita profesi yang sama seja dulu.
"Tumben banget, bukan dokter,"
Raja lalu tertawa, "Keluar dari zona nyaman lah," Raja menatap iris mata bening itu, lalu merangkul bahu Mili.
Mili berusaha tersenyum ia mengulurkan tangan kepada Dimas, "Mili,"
"Dimas," Dimas membalas uluran tangan itu. Lalu melirik Raka yang berjalan mendekatinya.
"Hai saya Raka," Raka mengulurkan tangan kepada Mili.
"Mili," Mili menelan ludah, ia menatap Raka.
OMG !, pria bernama Raka sangat tampan, ia yakin banyak wanita yang tergila-gila dengannya. Ia sudah menduga bahwa disini banyak berkeliaran pria tampan dan berkelas.
"Pacar Raja ?,"
"Hemmm,"
"Iya," sahut Raja.
Mili mendengar itu lalu menoleh menatap Raja, ia tidak menyangka bahwa Raja mengakui bahwa dirinya adalah sebagai kekasih. Mili mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, memandang beberapa wanita yang kini menatapnya. Terutama wanita yang tidak jauh darinya lalu menatapnya dengan sinis seakan ingin membunuhnya.
"Yang keberapa?," Raka seketika tertawa.
"Nggak kehitunglah," sahut Dimas.
Pasalnya Raka dan Dimas bukanlah jenis pria yang senang bergonta ganti pasangan seperti Raja. Dulu di kampus, hampir semua wanita cantik pernah dipacari oleh Raja.
"Kemarin bukannya, sama dokter Kirana? Dokter Dewi? Dokter Risa?," sahut Satria.
"Dokter Fey,"
Raja hanya tertawa.
"Eh siapa lagi, dulu perawat yang lagi magang siapa? Elis, Dona," ucap Dimas.
"Jangan gitu lah men,"
"Tapi bener kan,"
"Ya jangan bongkar aib gue. Entar Mili takut lagi sama gue,"
Tawa Satria, Dimas, dan Raka lalu pecah. Raja juga ijut tertawa. Mili mengerutkan dahi setelah mendengar percakapan Satria, Dimas dan Raja. Raja masih merangkul bahunya, dan mempersilahkan Mili duduk di kursi. Raja juga duduk disampingnya mengelus punggung tangannya.
"Kamu jangan dengerin omongan mereka ya sayang. Mereka emang gitu, becandanya suka kelewatan,"
Mili bergidik ngeri, tidak heran bahwa Raja seperti itu, melihat tingkah laku Raja membuatnya hampir gila. Mili melirik Raja yang sedang asyik berbicara dengan temannya. Untuk menghilangkan rasa takutnya Mili mengambil beberapa cake di atas meja. Ia makan dalam diam. Ia menatap Raja mendekati kepala ditelinganya. Sepertinya dia asyik dengan pembicaraanya.
"Aku pergi sebentar ke depan, ada dosen,"
Mili mengangguk, "Iya," Mili menatap punggung Raja menjauhinya.
"Pacar barunya Raja?,"
Mili lalu menoleh ke arah sumber suara, ia memandang seorang wanita dengan dress berwarna nude dengan rambut hitam bergelombang. Mili memperhatikan struktur wajah wanita itu. Ia akui wanita itu sangat cantik, kulitnya putih bersih yang disukai oleh wanita Indonesia. Berbeda sekali dengan dirinya yang selalu membanggakan kulit sawo matangnya yang berkilau. Yakinlah, cantik itu tidak harus putih.
Bagi orang Indonesia bahwa kulit bersawo matang merupakan masalah besar. Konsep cantik sudah mengakar seperti budaya. Di negaranya memiliki kulit putih, hidung mancung, langsing dan rambut lurus. Bahkan banyak berlomba-lomba ingin putih, dengan segala cara menjadi putih.
Yakinlah ia pernah berfoto dengan bule-bule di Bali. Mereka merasa insecure jika setiap berfoto bersama. Hingga mengatakan bahwa mereka putih seperti babi dan ingin kulit coklat seperti dirinya. Karena bagi mereka kulit coklat itu mahal. Mereka merogoh uang hanya untuk mencoklatkan kulit seperti dirinya.
"Kenapa?," Kata-kata itulah yang meluncur begitu saja. Ia tidak menjawab malah menanyakan kenapa. Betapa bodohnya ia menanya balik.
"Pengin tau aja sih,"
Mili mengedikan bahu, "Owh," Mili mengambil gelas dan minum secara perlahan. Ia melihat sekilas ada perasaan tidak suka memandang wanita itu.
"Udah lama pacaran sama Raja?," Tanyanya lagi.
"Iya, kenapa?," Ucap Mili sakartis, ia tidak suka jika ada seseorang yang mengusik kehidupannya.
"Suka?,"
"Iyalah, suka banget, seru !," Mili yakin Raja mendengar ini, tertawa bahagia.
"Lo siapa?," Mili mencoba menyelidiki, ada tatapan panas membara pada wajah itu.
"Mantan Raja,"
Mili tertawa, mendengar kata mantan, ia yakin mantan-mantan Raja ingin mencari perkara kepadanya.
"Yah berarti lo tau lah, betapa asyiknya pacaran sama Raja. Pasti seru kan ! apalagi Raja romantis dan loyal banget," Mili tersenyum sinis. Ia memandang ada seorang wanita berdress putih tulang berdiri di samping wanita itu. Wanita-wanita disini sangat berkelas lihatlah tas yang dipegangnya dengan brand ternama.
"Lo tahan sama Raja?,"
Alis Mili terangkat, "Kenapa?,"
"Dia kan tukang selingkuh, playboy abis,"
Mili tertawa sumbang, dengan percaya diri ia lalu mengatakan, "Ya sama kalian aja sih, sama gue nggak !,"
"Terus lo tahan sama dia? Dia lama banget loh kalau main,"
"Iyalah, lama itu yang asyik," ucap Mili asal dan tambah ngawur.
"Tahan lo?,"
"Tahan lah,"
"Pantas sih, lo bisa nyeimbangi dia. Kalau gue sih minta putus, karena sempat nangis juga, mainnya agak gimana gitu," kedua wanita itu saling berpandangan.
"Agak kasar, terus suka selingkuh juga," sahut wanita disebelahnya.
"Kita sih kasihan aja sama lo, karena pacaran sama si buaya,"
"Iya, Raja tuh buaya !,"
"Lo tau nggak? Mantannya Raja si Lili anaknya sekarang namanya Raja juga. Curiga gue, itu anaknya Raja. Rajanya nggak tanggung jawab,"
"Iya bener, gue juga mikirnya gitu,"
"Mantannya Raja, si Laras dulu sampe depresi gara-gara si Raja,"
"Si buaya !,"
Alis Mili terangkat, dan kini bergidik ngeri mengetahui bahwa Raja memiliki catatan kriminal yang tinggi, oleh para mantannya,
"Depresi kenapa?," Mili kini mulai tidak percaya diri menjadi kekasih Raja. Inginnya bersekongkol dengan kedua mantan Raja yang cantik jelita itu. Ia ingin menjadi bagian dari mereka.
"Karena Raja lah,"
"Iya Raja kenapa?,"
Wanita berdress nude menarik nafas, mantap Mili, "Gini, dulu tuh Laras sama Raja pacaran setelah gue, katanya mereka habis liburan ke Bali. Gue denger mereka putus, eh si Laras depresi gitu,"
"Laras depresi karena hamil anaknya Raja. Raja nya malah ke Jerman dan Laras nya keguguran,"
"Terus,"
"Ya Laras nya ke psikolog gitu,"
"Kasihan banget si Laras,"
"Kasihan juga sama lo,"
"Sekarang giliran lo. Bentar lagi lo depresi kayak si Laras,"
"Kok gue,"
"Kan lo sekarang pacarnya Raja. Ya, lo siapin mental aja jangan sampe stress juga kayak Laras,"
"Kalau kita berdua karena minta putus karena nggak kuat sama si Raja. Kita sama-sama korban selingkuhan Raja, parah kan si Raja,"
"Makanya gue heran lo bisa betah sama Raja,"
"Raja kan buaya abis, fuckboy banget !,"
"Semua ucapannya nggak bisa dipercaya, dia nggak bisa komitmen juga,"
"Liat aja, sampe sekarang belum nikah,"
"Ngeri banget deh kalau sama dia"
"Tukang selingkuh itu kan penyakit, bakalan kambuh lagi, seumur hidup nggak bakalan berubah"
"Gue mah ogah sama buaya !,"
"Sama, dasar, Raja buaya !,"
"Berengsek,"
"Cowok kardus,"
"Terus gue gimana dong," rengek Mili mulai takut, ia ingin meminta solusi.
"Yah, lo kan pacaranya dia, jalanin aja, katanya asyik, seru !,"
"Iya, bukannya lo bilang tadi seru, enak pula !,"
"Kan gue nggak tau," Mili ingin menangis, dan meratapi penyesalan apa yang telah ia ucapkan.
"Syukurin lo pacaran sama si buaya !,"
"Gue mah trauma,"
"Ngeri !,"
"Kayak psychopath kelamin,"
"Bener banget,"
Kedua wanita itu menatap ke depan, mereka lalu terdiam, lalu berbisik, "Cowok lo datang, bye,"
Mili memandang kedua wanita itu berbaur sama tamu lainnya. Ia menoleh menatap Raja yang tersenyum menatapnya. Mili sudah menduga sejak awal, bahwa Raja benar-benar sangat mengerikan.
"Maaf ya sayang, agak lama. Kamu udah makan?,"
Mili menelan ludah, ia menatap iris mata Raja. Jujur ada perasaan takut luar biasa, inginnya menangis saja.
"Kamu kenapa sayang?," Tanya Raja mengelus punggung Mili.
"Nggak,"
"Nggak kenapa?,"
"Nggak mau,"
"Nggak mau apa?,"
"Nggak mau kamu,"
Alis Raja terangkat, ia lalu memegang pundak Mili agar menghadap ke arahnya. Wanita itu menundukan wajahnya ke ubin, enggan melihatnya.
"Kamu kenapa?," Ucap Raja.
"Nggak apa-apa,"
"Nggak apa-apa gimana?," Raja semakin bingung.
"Nggak apa-apa,"
"Nggak apa-apa gimana? Kamu coba lihat aku,"
Raja memegang dagu Mili, agar menatapnya. Ia memandang iris mata bening itu, "Kenapa?,"
Mili menarik nafas, bibirnya seketika kelu, ingin menangis saja, "Pulang," ucap Mili parau.
Raja melirik jam melingkar ditangannya, kembali memandang Mili,
"Baru datang, masa pulang,"
"Mau pulang," rengek Mili.
"Acaranya belum mulai,"
"Pulang," Mili semakin merengek, meminta pulang.
"Pulang,"
Raja menarik nafas, ia menarik pinggang Mili, lalu memeluk tubuh ramping itu. Raja mendekatkan wajahnya ketelinga Mili.
"Bisa nggak kamu bersikap kooperatif sama aku sekali ini aja,"
"Setengah jam lagi kita pulang,"
***