Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1. KALIAN PENGKHIANAT

"Saya nikahkan dan kawinkan, Ananda Anita Apsari binti Almarhum Sueb, dengan Angga Wijaya dengan maskawin emas seberat satu kilogram, uang sepuluh juta, satu unit rumah dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"

"Saya terima nikahnya, Anita Apsari binti Almarhum Sueb dengan maskawin dibayar ... Tunai!" tegas pria itu dalam sekali tarikan napas.

"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya Ketua Pengulu yang bertugas sambil melihat kiri dan kanannya.

"Sah!" ucap seorang pria yang duduk di sebelah kanan.

"Sah!" ucap yang lainnya di sisi kiri.

Setelah para saksi menyatakan 'Sah!' Ketua Penghulu itu, segera memimpin doa bersama. Kedua insan yang kini telah sah menjadi suami istri secara agama itu, ikut mengaminkan doa tersebut.

"Ayah, kenapa di luar banyak ..." Kalimat itu tergantung di ujung tenggorokan bersamaan dengan sorot matanya yang menatap lurus ke sudut ruangan.

Suara itu seketika memecah keheningan di sana. Seorang pemuda, memasuki ruangan dengan langkah cepat dan raut wajah keheranan. Namun, ayunan kakinya terhenti beberapa langkah dari bibir pintu.

Seluruh pasang mata tertuju padanya. Seketika itu juga, mimik wajah pemuda itu berubah menjadi tegang dan rasa tidak percaya.

"Ada apa ini?" tanyanya terdengar sangat pelan sambil berjalan mendekati mereka yang telah mengisi ruangan tersebut.

Pria setengah baya yang memiliki nama lengkap Angga Wijaya itu, beranjak bangun dari tempatnya. Di waktu yang hampir bersamaan, wanita yang baru saja sah menjadi istrinya itu, ikut bangun dari duduknya.

"Apa yang terjadi di sini, Yah? Jelaskan kepadaku? Kenapa Ayah memakai baju pengantin dan Anita ..."

Ia seolah tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Sebelumnya tidak ada pemberitahuan akan ada acara kumpul-kumpul seperti ini.

"Kenapa Anita memakai baju pengantin juga? Apa kalian ...?"

Ditatapnya kedua orang itu bergantian, penuh tanda tanya.

"Ayah akan jelaskan semua ini. Kamu tenangkan diri dulu ya," ucap Angga Wijaya penuh kehati-hatian.

***

Setengah jam kemudian. Suasana ruangan sudah sepi, hanya ada tiga orang saja di sana.

Angga Wijaya, Anita dan pemuda dua puluh lima tahun, yang tidak lain adalah putra satu-satunya Angga Wijaya.

"Jelaskan padaku, Yah. Kenapa kalian menikah? Anita adalah kekasihku, Yah. Dia itu calon membantumu, bukan seseorang yang seenaknya kau jadikan istri!" Suaranya begitu bergetar.

Gema Dirgantara, tidak mampu menyembunyikan kekecewaannya di hadapan sang ayah dan wanita yang selama ini telah mengisi relung hatinya.

"Aku sangat mencintai, Anita, Yah! Aku berniat untuk menikahi Anita dalam waktu dekat, tapi apa yang Ayah perbuat hari ini? Aku kecewa banget, Yah!"

Angga Wijaya masih diam tanpa kata. Begitu juga dengan Anita. Keduanya masih mengenakan pakaian pengantin. Kebaya putih untuk wanita dan setelan jas hitam untuk sang pria.

Gema memijat keningnya yang mulai terasa sakit. Selama sebulan terakhir ia berada di luar kota, untuk urusan bisnis, tapi mengapa setelah ia kembali, sesuatu telah terjadi di dalam keluarga ini. Hal, yang sama sekali bahkan tidak pernah sedikitpun terlintas dalam pikirannya.

Bagaimana bisa, sosok yang selama ini ia hormati dan banggakan, malah menikungnya seperti ini. Menikahi wanita, yang sangat ia cintai, tanpa sepengetahuan ia sebelumnya?

"Kenapa Ayah diam saja? Jawab aku, Yah! Aku butuh jawaban dari Ayah! Kenapa Ayah menikah dengan wanita, yang jelas-jelas Ayah tahu, kalau aku sangat mencintainya! Apa Ayah ingin aku mati secara perlahan-lahan?"

"Jawab aku, Yah!!!" teriak pemuda itu, dengan wajah yang sudah merah padam karena emosi memuncak.

Angga Wijaya mengangkat pandanganya. Setelah diam untuk waktu yang lama, akhirnya ia baru bisa menatap kedua mata sang putra.

"Kami saling mencintai," ucap Angga Wijaya serius tanpa berkedip. Satu kalimat langsung menjawab semuanya.

Gema menahan napasnya. Rasa tidak percaya semakin memberontak di dalam raganya. Sorot matanya sudah tak setajam sebelumnya. Hanya saja, tubuhnya seperti mati rasa sekarang.

"Bohong!"

"Ayah, pasti berbohong padaku! Anita tidak mungkin mencintai Ayah. Dia hanya mencintaiku. Ya, kan Anita?"

Demi menjawab rasa ketidakpercayaannya itu, Gema langsung menarik tangan Anita, yang sekarang telah berstatus ibu di atas kertas baginya.

Gema menatap Anita penuh haram. Berharap, apa yang barusan ia dengar, tidaklah benar. Semua ini sekedar mimpi. Wajahnya sudah sangat berkeringat, menanti jawaban dari sang pujaan hati.

"Jawab pertanyaanku, Anita. Apa kamu mencintai Ayahku?"

Pertanyaan itu, langsung mendapat anggukan kepala dari Anita. "Iya, aku mencintai Mas Angga." Dia mempertegas pengakuannya dengan sebuah kalimat disertai tatapan teduh, yang memiliki banyak arti.

"Kamu pasti berbohong padaku, Anita!"

Gema sudah mengangkat sebelah tangannya, siap melayangkan sebuah pukulan. Namun, diwaktu bersamaan, Angga Wijaya langsung menggenggam pergelangan tangan putranya itu.

"Jangan pernah, kau main tangan kepada Ibumu! Sekarang, dia adalah Ibumu! Kau harus menghormatinya, sebagaimana bakti seorang anak terhadap orang tuanya!" tegas Angga Wijaya dalam satu tarikan napas.

Gema menarik tangannya kasar. "Aku tidak akan pernah menganggap dia sebagai ibuku! Sampai kapanpun juga, dia bukanlah Ibuku! Aku sangat mencintai Anita. Ayah tidak bisa mengubah hal tersebut!" sungutnya, yang nada suaranya tidak kalah tinggi dari sang ayah.

PLAAAKKKKKK!

Tamparan keras mendarat di pipi Gema. Saking kencangnya tamparan, hingga meninggalkan bekas merah di pipi. Tubuh pemuda itu sedikit terhuyung. Namun, ia masih bisa berdiri.

"Ayah, menamparku, demi wanita itu?" ucap Gema terdengar lirih sambil menyentuh pipinya yang masih terasa nyeri itu.

Rasa sakitnya tak seberapa, jika dibandingkan dengan pengkhianat yang dilakukan Anita sang ayah di belakangnya.

"Selama ini, Ayah kasar padaku karena aku melakukan kesalahan, tapi sekarang ... Ayah menamparku karena aku tidak ingin menganggapnya sebagai Ibu!"

Dia menunjuk wajah Anita penuh kemarahan. Gema tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya dari wanita yang sangat ia cintai itu.

"Aku tidak akan sudi, menjadikan wanita murahan seperti dia, sebagai ibuku!" tegasnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Anita.

Angga Wijaya menarik kerah baju sang putra tanpa ragu.

PLAAAKKKKKK!

Satu lagi tamparan keras mendarat di wajah pemuda dua puluh lima tahun itu. Emosinya telah di ubun-ubun. Angga Wijaya paling tidak suka, jika seorang wanita mendapat penghinaan di depan matanya.

Kali ini Gema tidak memegangi pipinya. Dia sedikit mendongak, kemudian tertawa keras.

"Kenapa kamu, Anak Durhaka?!" seru Angga Wijaya yang mulai menipis kesabarannya.

Mendengar kalimat tersebut, Gema pun mengalihkan pandangannya. "Ouh. Jadi, sekarang Ayah menganggap aku sebagai anak durhaka?" Dia mengangguk-anggukkan kepalanya disertai senyuman kepalsuan.

"Belum satu jam, wanita ini menjadi bagian keluarga ini dan seketika, semuanya berubah. Ayah menganggapku anak durhaka. Lantas, kau Tuan Angga Wijaya ... Seperti apa diri Anda sekarang? Pria yang merebut kekasih putranya, demi kepuasannya sendiri?" sungut Gema sampai wajahnya mendongak. Menjatuhkan tatapan tajam seperti orang yang ingin mengajak tawuran.

"DIRGANTARA!!!" teriak Angga Wijaya sangat kencang dan sebelah tangannya sudah terangkat ke atas

"CUKUP, MAS!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel