Ringkasan
Terlahir sebagai anak yatim dan Ibunya seorang babu di sebuah Kerajaan, Arya Mandu akhirnya menjadi sosok Pendekar tanpa tanding setelah diasuh dan digembleng oleh Eyang Pandan Suri yang berjuluk Nyi Konde Perak. Sang Guru memberikan julukan padanya Rajawali Dari Andalas dan memintanya turun gunung setelah menguasai seluruh ilmu yang ia wariskan, selain diberi amanah untuk selalu menegakan kebenaran di manapun ia berada Arya Mandu juga ingin mencari keberadaan Ibunya. Berhasilkan Arya menemukan Ibu Kandungnya? Dan mampukah Arya menjadi Pendekar yang terkuat dan terhebat mengalahkan lawan-lawannya yang kerap menebar kejahatan di Bumi Nusantara?
Bab 1. Turun Gunung
Puncak Gunung Sumbing pagi itu nampak berkabut akibat hujan yang turun cukup lebat tadi malam. Hampir keseluruhan dedaunan pepohonan di gunung itu masih tampak basah dan berembun.
Arya yang tengah asyik berlatih, lantas berhenti lalu melangkah ke arah pondok begitu mendapat panggilan sang guru.
Pondok itu berukuran tidak terlalu besar, tetapi memiliki anak tangga yang tingginya sekitar 5 kaki. Arya pun menaiki tangga itu di mana di dalam pondok Nyi Konde Perak tengah duduk bersila.
Setiba di atas pondok itu Arya pun ikut duduk bersila di depan Nyi Konde Perak, tak lama kedua mata perempuan tua di depannya terbuka setelah beberapa saat yang lalu ia picingkan.
“Kenapa tiba-tiba saja Eyang memanggil saya? Padahal saya belum selesai berlatih pagi ini,” tanya Arya.
“Saya rasa sudah cukup kamu berlatih, semua ilmu yang saya wariskan sepertinya telah kau kuasai dengan baik. Saya memanggilmu ingin memberi tahu bahwasanya sudah waktunya kamu untuk turun gunung muridku,” tutur Nyi Konde Perak yang ternyata guru dari Arya.
“Lantas apa tugas yang akan saya lakukan karena Eyang memintaku segera turun gunung? Apakah saya ke Pulau Andalas dulu mencari keberadaan Ibu Saya itu?” Arya bertanya kembali.
“Hemmm, tentu saja tidak harus terlebih dahulu mencari Ibumu ke Pulau Andalas sana. Di Tanah Jawa ini banyak sekali permasalahan yang terjadi, perampokan, penindasan serta pemerkosaan yang dilakukan para manusia bejad. Pertempuran di mana-mana berebut kekuasaan dan itu menyebabkan banyaknya manusia-manusia tak berdosa yang menjadi korban, kau harus bisa memilah mana yang harus kamu bela mana yang musti kamu tumpas nantinya,” tutur Nyi Konde Perak.
“Tapi saya nanti diizinkan juga untuk mencari Ibu saya di Pulau Andalas sana kan Eyang?”
“Tentu saja Arya, sebab di Pulau Andalas juga kerap terjadi kekacauan oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Mereka umumnya para pendekar-pendekar dari golongan hitam yang selalu suka berbuat kejahatan demi mencapai keinginannya, kamu harus berhati-hati mereka bukan saja tega membunuh siapa saja tapi juga pandai menyusun siasat licik.”
“Baik Eyang, nasehat dari Eyang akan selalu saya ingat.”
“Di dalam rimba persilatan sosok pendekar selalu memiliki julukan di samping nama yang melekat pada dirinya, julukan itu biasanya diberikan oleh sosok yang dihormati seperti Raja ataupun Guru. Untuk itu kamu saya beri julukan Rajawali Dari Andalas, tujuannya bukan untuk memamerkan diri karena memiliki ilmu tinggi melainkan sekedar julukan yang akan memudahkan bagi siapa saja yang pernah kamu tolong untuk mengingatmu nantinya,” tutur Nyi Konde Perak.
“Oh, seperti halnya Eyang yang dijuluki Nyi Konde Perak, begitu?” tanya Arya.
“Ya benar, tapi julukan saya ini bukan dari Guru saya melainkan dari seorang Raja yang dulu pernah saya bantu mempertahankan Kerajaannya dari serangan musuh.”
“Lalu apakah Brahma akan saya bawa serta dalam memulai perjalanan menegakan kebenaran di muka bumi ini, Eyang?”
Pemuda itu teringat pada seekor burung rajawali yang sangat besar berwarna putih. Sejak kecil, Arya selalu bermain dan dijaga oleh burung rajawali itu saat Nyi Konde Perak berpergian sejenak meninggalkan puncak Gunung Sumbing. Saking besarnya burung rajawali itu, Brahma bahkan mampu membawa beberapa orang dewasa di punggungnya sambil terbang dan mampu pula menjinjing dua ekor induk kerbau ke udara.
Brahma juga akan dengan mudah membunuh siapa saja yang ia lihat saat terbang di udara membuat keonaran di muka bumi, meskipun dia tak pandai bicara layaknya manusia namun ia faham setiap kata-kata yang diucapkan Nyi Konde Perak dan Arya.
Nyi Konde Perak terdiam, sebelum akhirnya ia berbicara, “Hemmm, kamu tidak boleh manja. Brahma bisa saja kamu panggil kapanpun kamu mau asal dalam keadaan benar-benar terdesak seperti halnya menggunakan Pedang Rajawali Putih,” jawab Nyi Konde Perak.
Arya pun mengangguk. “Baik Eyang, saya tidak akan sembarangan menggunakan Pedang Rajawali Putih atau juga memanggil Brahma.”
“Sekarang berangkatlah muridku. Selalu ikuti kata hatimu dalam setiap menentukan arah langkah, jika kau telah melangkah jangan pernah menoleh lagi ke belakang. Ingat Arya selalulah berpegang teguh pada amanah untuk menegakan kebenaran membasmi keangkaramurkaan di muka bumi ini,” Nyi Konde memberi nasehat.
“Baik Eyang, ilmu yang Eyang wariskan ini akan saya gunakan untuk membela kebenaran. Terima kasih selama ini saya Eyang asuh dan gembleng menjadi seorang pendekar, saya tidak tahu dengan apa akan membalas budi baik Eyang ini,” ucap Arya.
“Saya tak pernah mengharapkan balas budimu Arya, dengan kamu tetap berpegang teguh menggunakan ilmu yang kau miliki di jalan yang benar itu sudah cukup membuatku senang.”
“Saya pamit Eyang,” ucap Arya seraya membungkuk dan mencium kedua tangan Gurunya, Nyi Konde Perak tersenyum lalu mengusap-usap pundak muridnya itu.
Setelah Arya turun dari pondok ia pun langsung langkahkan kakinya menuruni lereng Gunung Sumbing itu sambil bersiul-siul.
Seperti yang tadi disarankan Gurunya, Arya tak sekalipun menoleh ke belakang ke arah pondok di mana di sana Nyi Konde Perak yang masih duduk bersila memicingkan kedua matanya kembali seperti orang yang sedang bersemedi.
Yang namanya seorang pendekar berilmu tinggi tentu tidak sama cara menuruni lereng gunung dengan manusia biasa pada umumnya, tubuh Arya seperti kapas yang ringan berkelebat dari atas ujung dahan pepohonan ke ujung dahan pepohonan lainnya hingga dalam sekejab saja ia telah tiba di lembah.
*****
Tak lama, Arya pun tiba di lembah Gunung Sumbing.
Anak sungai berbatu-batu membuatnya melompat dan menjejakan kedua kakinya di batu yang satu ke batu yang lainnya Arya pun tiba di seberang.
Seakan tantangan belum berhenti, setelah menyeberangi anak sungai berbatu-batu, Arya dihadapkan dengan hutan belantara, pepopohan di hutan itu sangat rapat dan berdaun rimbun.
Anehnya, dia merasakan hawa tak mengenakan saat menyelusuri hutan belantara itu.
Perkataan sang guru untuk menegakan kebenaran di manapun ia berada tiba-tiba terlintas.
Sebagai Pendekar, ia telah berjanji untuk menyelesaikan semua tugas menumpas segala keangkaramurkaan dari orang-orang jahat atau para pendekar dari golongan hitam yang selalu membuat keonaran di Pulau Jawa. Setelahnya, ia baru akan mencari Ibunya di Pulau Andalas.
Diam-diam, pemuda itu pun berdoa dalam hati. "Semoga perjalananku selancar ketika aku menuruni Gunung Sumbing."