Bab 1. Pertemuan
Langkah kaki seorang pria memasuki sebuah restoran bintang tujuh. Restoran mewah dengan pelayanan bak istana. Pria tampan yang hendak memasuki usia empat puluh tahun itu mencuri perhatian para pelanggan yang berada di sana.
Tubuhnya yang tegap dengan porposi yang sempurna. Hidung mancung, bibir tipis dengan sedikit bulu halus memenuhi dagu dan sekitar lehernya. Menambah maskulin yang dia tampilkan. Rambut hitam yang tertata rapi, Bryan duduk di salah satu meja yang sudah direservasi sebelumnya.
“Kau datang terlambat.”
Terdengar suara seorang wanita yang tak jauh berbeda usianya dengannya. Ibu tiri yang terpaut hanya lima tahun darinya. Wanita bernama Jennifer Rose itu baru saja menerima status janda karena kematian suaminya, alias ayah Bryan seminggu yang lalu. Tepat di sampingnya seorang wanita muda yang terus menatap Bryan tanpa kedip sejak kedatangannya.
“Aku sibuk, kau tahu? Mengurus perusahaan yang ditinggal oleh Papa sangat membuatku lelah,” ucap Bryan terdengar sinis. Terlihat dia sama sekali tidak menyukai ibu tirinya itu yang sudah menikahi ayahnya selama lima tahun.
Nyonya Rose mendelik kesal, dia pun sama tak sukanya dengan Bryan. Namun, status di antara keduanya membuat Nyonya Rose memendam amarahnya itu.
“Kau tahu, usiamu sudah tak lagi muda. Dan aku pun sangat tidak mungkin melahirkan adik untukmu. Terlebih semenjak kepergian ayahmu, aku sangat kesepian,” ucap Nyonya Rose dengan nada dibuat sangat manis.
Bryan menyunggingkan bibirnya, dia tahu ucapan ibu tirinya itu hanyalah sebuah kebohongan yang sengaja dia buat.
“Dan aku sama sekali tidak mengharapkan seorang adik darimu.”
“Kau selalu bersikap tidak sopan kepadaku.”
“Haruskah?”
Nyonya Rose kembali menahan napas, dia tahu belum saatnya untuk marah pada anak tirinya itu. Dia melebarkan senyumnya dan menatap ke arah gadis di sampingnya.
“Kenalkan, dia Lucy Mariel. Lulusan Magister di London jurusan hukum. Dan saat ini sedang membangun perusahaan firmanya sendiri.”
“Hai, salam kenal. Aku Lucy, aku ... sangat menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu,” ucap Lucy tanpa sungkan.
“Apa ... kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Bryan heran.
“Ya, saat peringatan ulang tahun perusahaanmu yang ke lima puluh tahun. Kita bahkan sempat berbincang sebentar,” ucap Lucy tersenyum malu-malu.
“Ahh, begitu rupanya. Lalu?”
“Aku berencana untuk membuat kalian tunangan –ah bukan tetapi membuat pesta tunangan kalian berdua lalu pesta pernikahan yang meriah pastinya.”
“Apa?”
“Kau tahu Bryan, kita tidak pernah tahu akan hidup sampai kapan bukan? Karena itu, kau harus meneruskan garis keturunan papamu. Aku tidak bisa memberikan adik untukmu, jadi mengapa tidak kau yang memberikan aku seorang cucu? Meskipun aku terlalu muda untuk menjadi seorang nenek. tetapi, akan aku pastikan untuk menjadi nenek yang penyayang untuk anakmu,” tutur Nyonya Rose dengan senyuman penuh kemenangan.
Nyonya Rose tahu jika Bryan sama sekali tidak bisa menolak pertunangan yang akan dia lakukan. Bryan tak punya alasan, karena dia pun tak memiliki pacar. Terlebih banyak gosip yang beredar bahwa Bryan sama sekali tidak tertarik dengan seorang wanita.
Karena itu, ini menjadi peluang yang sangat besar untuk menguasai ahli waris yang akan Bryan lahirkan. Dari gadis yang sebenarnya masih satu kerabat dengan Nyonya Rose. Akan dia pastikan semua harta kekayaan suaminya itu jatuh kepada tangannya. Bryan hanya terdiam dengan meminum wine yang sudah tersaji di atas meja. Tanpa kata, malam itu pun berlangsung dengan damai dan kemenangan Nyonya Rose.
Di tempat lain, seorang wanita berambut panjang berlarian dengan penuh kekuatan. Sepatu kets yang sudah kusam dan tak layak pakai membungkus kaki mungilnya. Dalam pelariannya, Angeline terus melihat jam di tangannya dan terus berlari memasuki pusat pembelanjaan yang sedang ramai.
Satu tangannya membawa sekantong paper bag yang berisi sebuah gaun mahal yang dia dapatkan dari salah satu butik ternama. Angeline tak peduli dengan pandangan orang-orang yang terganggu akan kehadirannya yang terlihat rusuh dan tak mau mengalah.
Wajahnya sudah penuh dengan bulir keringat, tetapi Angeline tak kunjung berhenti. Hingga di salah satu tempat pertunjukkan terlihat beberapa orang yang sedang menunggu dengan gelisah. Angeline menambah kekuatannya dan menghampiri orang tersebut.
“Mengapa lama sekali? Apa kau tahu acaranya akan mulai sebentar lagi!” omel wanita itu yang memakai jasa Angeline untuk mengambilkan gaunnya tepat sepuluh menit sebelum acaranya dimulai.
“Aku ... sudah belari secepat mungkin. Kalau kau, memintaku mengambil gaunmu lima menit lebih awal mungkin aku bisa datang lebih cepat,” ucap Angeline dengan napas yang tersenggal.
“Aku gak peduli! Aku sudah bayar pakai ewallet yaa,” ucapnya dan masuk tanpa mengucapkan terima kasih.
Angeline mengecek ponselnya dan tersenyum karena pembayarannya sudah masuk. Dia berjalan lunglai menuju kursi taman tak jauh dari tempatnya berada. Dia mengeluarkan sebotol air meneral dan meminumnya langsung habis dalam sekali teguk.
Angeline menatap orang-orang yang datang ke tempatnya berada. Memakai gaun yang cantik dan riasan yang cukup menor. Di beberapa sisi terdapat banner pemberitahuan tentang pertunjukan fanmeeting salah satu boyband Korea yang datang ke sana.
“Mengapa ... wajah mereka sama semua?” tanya Angeline yang sama sekali tidak tahu dunia hiburan karena sibuk bekerja sejak dia sekolah.
Sudah tiga bulan Angeline bekerja serabutan semenjak dirinya dipecat dari tempatnya bekerja dahulu. Salah satu rekan kerjanya memfitnah Angeline hingga dirinya dipecat tanpa pesangon oleh bosnya.
Hal ini membuat Angeline yang menjadi seorang tulang punggung harus bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan keluarganya dan membayar biaya rumah sakit sang ibu yang menderita gagal ginjal dan mengharuskan cuci darah seminggu sekali.
Ditambah seorang adik yang masih sekolah di bangku kelas tiga SMA. Angeline bersedia bekerja apa saja asalkan mendapatkan penghasilan yang sepadan. Bahkan dia pernah menjadi badut di carnaval seharian.
Ponsel Angeline berdering, dia pun melihatnya dan sebuah pesanan masuk.
“Sopir pengganti?” gumam Angeline sembari bangkit dari tempatnya duduk. Tak berapa lama, Angeline tiba di parkiran restoran mewah. Seorang sopir menghampiri Angeline yang terlihat tampak pucat.
“Aku harus pergi dan tidak bisa mengantar tuanku, apa kau bisa mengantarnya sampai rumah?” ucap sopir tersebut.
“Tentu saja, aku punya surat izin mengemudi.”
“Baiklah, aku sudah membayarmu di awal. Jadi, pastikan untuk mengantarnya dengan selamat.”
Satu jam menunggu di dalam mobil, seorang pria datang mendekat dan mengetuk jendela mobil. Angeline langsung keluar dan dengan sigap membukakan pintu belakang.
“Siapa kau?” tanya Bryan yang rupanya bos dari sopir yang digantikan oleh Angeline.
“Halo, aku sopir pengganti yang akan mengantarkan Anda sampai rumah. Silakan masuk!” ucap Angeline dengan suara yang lemah.
Bryan memandangnya dengan tatapan tidak suka, terlebih wajah Angeline yang tampak pucat membuat Bryan ragu.
“Pulanglah, biar aku yang membawa mobilnya,” usir Bryan dan menutup pintu yang dibukakan oleh Angeline.
Angeline terkejut dan terdiam tanpa bergerak sedikit pun.
“Tapi, sopirmu telah membayarku. Akun akan ...”
Belum selesai Angeline bicara, Bryan memotongnya dengan ucapan ketus.
“Tidak perlu, aku bisa sendiri!”