Ringkasan
Sebuah kisah nyata yang berlatar di daerah maluku utara pada tahun 2013.Sekelompok pemuda yang bekerja sebagai sales marketing, bermaksud untuk berjualan di salah satu pulau di daerah maluku utara. Namun siapa yang menyangka, ternyata kelima pemuda tersebut malah diarahkan untuk menginap di sebuah rumah terkutuk yang selalu meminta tumbal nyawa bagi siapapun yang mendiaminya. Bisakah mereka berlima bertahan dan selamat dan selamat dari semua ancaman yang membahayakan mereka selama berada di sana?
Bab 1 - Gangguan awal
Siang hari itu, di indekos berlantai dua. Terletak di Pulau Bacan, Halmahera, Maluku Utara.
Aku dan empat teman, tengah sibuk mengemas seluruh barang yang akan kami bawa.
Namaku Andre, berasal dari Bandung, Jawa Barat.
Empat temanku yang lain di antaranya Shelly, yang juga berasal dari Jawa Barat. Hanya saja dia Cirebon.
Asih, asal Flores, Nusa Tenggara Timur. Dia yang paling tua di antara kami berlima sekaligus terpendek dalam tim.
Ina, wanita berkulit kuning langsat kelahiran Manado. Terakhir Rafli, suami Ina. Kelahiran Poso, Sulawesi Tengah.
Rafli paling muda di antara kami dan mempunyai wajah paling tampan.
Kami hendak pergi ke sebuah pulau.
Menurut info yang didapat, pulau tersebut sedang musim panen cengkih dan buah pala.
Di sana ada banyak sumber penghasilan masyarakat yang bisa menguntungkan kami sebagai sales marketing independen.
***
Sampai di pelabuhan, kami langsung berbagi tugas. Dua orang mencari info rumah yang bisa kami kontrak, sedangkan sisanya menjaga barang.
"Asih, kamu sama Ina di sini aja ya, jagain barang. Saya sama Rafli mau cari rumah atau tempat kos yang bisa ditempatin buat semingguan," pinta Shelly.
Asih hanya menjawab dengan anggukan kepala.
"Mak, saya tunggu bareng Ina sama Asih aja, ya. Ombak barusan bikin isi perut serasa mau keluar semua. Sumpah!" pintaku pada Shelly.
"Ya udah, saya sama Rafli mau coba cari info. Tungguin, ya," jawab Shelly sembari beranjak pergi meninggalkan kami di pinggiran pelabuhan.
Seperti biasa, aku selalu memanggil Shelly dengan panggilan akrab "Mak" karena dia adalah leader-ku dalam pekerjaan ini.
Di kejauhan, masih terlihat Shelly dan Rafli sedang mengobrol dengan dua orang lelaki paruh baya.
Sepertinya, mereka sedang terlibat obrolan serius dengan kedua bapak itu.
Tak lama, Shelly dan Rafli kembali menghampiri kami, disusul dengan kedua bapak yang tadi kulihat.
"Yuk, bawa barang-barang kita," ajak Shelly pada kami.
"Kita sudah dapat rumah, nih, untuk dikontrak dan yang pasti muraaahhh!" ucap Shelly dengan gaya lebay yang khas, sambil menggoyangkan tangan kiri di hadapan kami.
"Emangnya berapa, Mak?" tanyaku pada Shelly sembari mengangkat barang bawaan.
"Cuma seratus lima puluh ribuan aja. Katanya, ada rumah saudaranya yang baru sebulanan kosong, jadi kita disuruh nempatin rumah itu kalau untuk semingguan," jelas Shelly selama kami dalam perjalanan.
Tak butuh waktu lama, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki, kami sampai di tempat yang dituju.
Rumah dengan aksen khas rumah Belanda zaman dahulu.
Rumah lumayan besar, halaman juga luas dan adem. Ada beberapa pohon sirsak di halaman depan dan pohon mangga di samping rumah.
Saat kami mulai memasuki halaman, kedua bapak tadi menjelaskan agar rumah ini dibersihkan terlebih dahulu, supaya nyaman tinggal di sini.
"Nanti kalian sapu, lalu pel. Biar nyaman kalau rumahnya bersih," katanya sembari membuka kunci pintu depan.
Setelah pintu terbuka dan kami memasuki rumah itu, ada perasaan aneh yang membuat bulu kudukku meremang.
(Hawa rumah ini terasa berbeda)
Namun, aku tak terlalu memperlihatkan kepada keempat temanku, karena tahu pasti mereka semua penakut.
Sedangkan aku, memang sedari kecil sudah sangat akrab dengan hal-hal mistis, jadi sudah tahu hanya dengan merasakan hawa.
Sepertinya, penghuni rumah ini memiliki pengaruh kuat, hingga meskipun aku sudah berpengalaman dalam hal mistis, masih tetap merasakan hawanya.
"Nah, ini ruangan depan. Ada tiga kamar di rumah ini, terserah kalian mau ambil kamar yang mana. Kalau mau ambil alat untuk bersih-bersih, semuanya ada di gudang sebelah dapur belakang," ujar salah satu bapak yang mengantarkan kami tadi.
Penjelasan dari beliau membuatku sedikit kaget karena sedari tadi, terlalu terbawa suasana di dalam rumah yang sangat hening.
(Kesan angkernya sangat kuat)
"Kita bagi-bagi tugas kalau begitu. Rafli dan Mas Andre bagian menyapu, sedangkan Asih, Mbak Shelly, dan saya bagian mengepel, supaya cepat," usul Ina sambil berlalu ke belakang diikuti oleh Rafli.
Aku pun ikut membantu membereskan barang-barang sebelum rumah ini dibersihkan.
Sedangkan Shelly dan Asih, malah asyik memilih kamar.
Tak lama kemudian, Rafli muncul membawa dua sapu.
Sedangkan Ina ditinggalkan sendirian di dapur, karena masih sibuk mencari kain pel.
"Ina di mana, Fli?" tanyaku pada Rafli.
"Ada tuh, di belakang. Nyari pel, katanya," sahut Rafli.
Setelah itu, terdengar suara Ina memanggil Rafli dari ruangan belakang.
"Fli! Coba kamu ke sini dulu, bantuin aku nyari pel!" teriak Ina pada Rafli.
Namun, belum sempat Rafli menghampiri Ina, wanita itu sudah berlari dan langsung memeluk suaminya.
Kami jadi terheran-heran dengan sikap Ina yang tiba-tiba seperti itu.
"Kamu kenapa?" tanya Rafli pada Ina yang masih memeluknya.
"Di dapur ada yang melempar kain. Ada juga suara perempuan, seperti berbisik. Saya kira itu Asih, tapi saya lihat sekeliling dapur, tidak ada siapa pun!" rengek Ina sambil tetap memeluk Rafli.
Betul kan dugaanku, pasti ada yang tidak beres dengan rumah ini, kataku dalam hati.
Lalu, aku bergegas menuju dapur sendirian, meninggalkan mereka di ruangan depan yang masih sibuk menenangkan Ina yang ketakutan.
Aku memperhatikan sekeliling dapur, melihat setiap sudut ruangan di belakang rumah.
Di dekat dapur, ada jalan masuk sejenis gang kecil yang mengarah ke kamar mandi.
Aku mengecek semuanya, tetapi tak menemukan apa pun selain bulu kuduk yang makin meremang.
(Di sini justru hawanya makin terasa)
Saat sedang fokus memeriksa ruangan, tak berselang lama, aku merasa seperti ada seseorang yang meniup telinga dari belakang.
Kubalikkan badan dan tepat di depan pintu kamar mandi, akhirnya bisa melihat siapa sesungguhnya penghuni rumah ini!
Kuperhatikan sosok itu dengan saksama tanpa mengedipkan mata.
Wanita menggunakan baju kemeja dengan motif bunga dan rok panjang. Rambutnya sebahu.
Dia menyeringai di hadapanku.
Kepalanya miring ke kanan, seakan-akan lehernya patah.
Aku mulai gemetar, tetapi alam bawah sadarku berkata,
(Aku pasti bisa, jangan lemah! Hal seperti ini sudah sering kali terjadi!)
Kemudian, sosok itu berkata,
"Ini rumahku. Aku tak sudi jika kalian ada di sini. Pergi!"
Sosok itu kembali mengulang perkataannya.
"Pergi dari rumahku!"
Sampai akhirnya, Rafli dan Shelly menghampiriku. Barulah aku tersadar dan sosok itu menghilang dari pandangan.
(Siapakah sesungguhnya sosok yang kulihat tadi? Lalu mengapa Ina ketakutan hingga menjerir histeris seperti itu? Pasti ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini)
(Sebaiknya aku harus mencari tahu kebenaran tentang rumah ini, semoga saja tidak akan membahayakan jiwa kami berlima selama berada di sini)
(Kami hanya ingin menetap sementara di rumah ini dengan tenang. Tanpa harus ada gangguan yang bisa membahayakan jiwa kami selama berada di sini)