Chapter 7
Rere pergi dan masuk ke kamarnya. Tidak berselang lama dia ke luar dengan membawa tas dan pergi dengan mengendarai mobil meninggalkan rumah.
Laras membereskan cangkir kopi dan teh meski tangannya masih terasa panas dan sakit. Laras mencuci gelas dengan air mata yang menetes di pipinya, bukan karena tidak tahan akan sakit di tangannya, tapi karena hatinya yang terasa sakit.
Setelah selesai dia berjalan menuju kamarnya dan duduk di tepi tempat tidur. Sekali lagi gadis itu menangis.
"Bunda, aku kangen sama bunda," ucapnya dalam tangis sambil memandangi foto bundanya.
"Aku mau pulang saja dan tinggal bersama bunda. Kak Rere tidak pernah menyayangiku."
Laras membaringkan tubuhnya dan memeluk foto bundanya di dada dengan erat. Air matanya masih terus menetes. Laras mengusap air matanya dan mencoba menahan tangis.
Untuk beberapa saat dia berdiam diri di dalam kamar, hingga terdengar suara berisik dari arah dapur. Laras bangkit dari tidurnya dan memfokuskan diri untuk memperjelas pendengarannya.
Setelah yakin dengan apa yang dia dengar, Laras berjalan membuka pintu dan mendekati sumber suara. Dilihatnya Bram sedang berkutat di dapur.
Laras mendekatinya mencari tau apa yang sedang dikerjakan pria itu.
"Kak Bram," panggil Laras dari belakang.
Sontak Bram menoleh ke sumber suara dengan pisau di tangannya. Laras terkejut dan mundur satu langkah.
Bram heran melihat Laras mundur dengan wajah takut.
"Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Bram tanpa menyadari bahwa tangannya memegang pisau.
"Apa Kakak mau membunuhku?" ucap Laras masih dalam ketakutan.
Bram tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Laras.
"Apa maksudmu? Kamu pikir aku pembunuh?"
"Itu," tunjuk Laras pada pisau di tangan Bram.
Bram melihat arah tangan Laras lalu melihat pada tangannya sendiri.
"Ah, maaf," ucap Bram menurunkan tangannya.
Laras merasa lega.
"Kakak kenapa di dapur malam-malam begini?"
"Perutku lapar, aku mau buat mie rebus. Apa kamu juga mau?"
"Biar aku yang membuat," ucap Laras mendekat pada Bram.
"Apa tanganmu sudah tidak sakit?" tanya Bram memperhatikan tangan Laras.
"Hanya terasa panas sedikit, tapi sudah lebih baik."
"Duduklah! Biar aku saja yang buat."
"Tapi, Kak."
"Apa aku juga harus menyiram tanganmu agar kamu menurut padaku?" Bram menatap wajah Laras tajam.
"Jangan, Kak," ucap Laras menundukkan kepalanya takut.
"Kalau begitu duduklah! Jangan membuatku marah seperti kakakmu."
"Maaf, Kak."
Laras menuruti perintah Bram dan duduk di kursi meja makan. Matanya senantiasa memperhatikan Bram yang sibuk membuat mie rebus untuk mereka berdua.
Ada rasa kasihan dan iba dalam hati Laras terhadap nasib Kakak iparnya. Dia seorang suami, tapi tidak pernah dilayani oleh istrinya bahkan selalu ditinggal pergi, seperti lelaki yang tidak mempunyai istri.
Ternyata nasibnya masih bisa dibilang beruntung karena Laras tidak pernah merasakan kesepian apalagi karna pasangan. Bagaimana mau dibilang kesepian ditinggal pasangan, lha dia saja belum pernah pacaran.
"Sudah melamunnya?" ucap Bram membuyarkan lamunan Laras.
"Kakak." Laras mengumpulkan kesadarannya.
"Nih, biar agak dingin dulu jangan sampai lidahmu terbakar seperti lidahku." Bram meletakkan mangkuk berisi mie lengkap dengan telur di atasnya lalu dia duduk di depan Laras.
"Itu khan salah Kakak sendiri, udah tau kopi panas main seruput aja."
"Ngomong-ngomong soal kopi, kenapa kopiku tidak ada lagi di meja?"
"Sudah aku beresin, aku pikir Kakak tidak mau minum lagi. Bukankah kata kak Rere, Kakak tidak suka kopi?"
"Aku memang jarang minum kopi, tapi aroma kopi buatanmu wangi sekali."
"Apa perlu aku buatkan lagi, Kak?"
"Tidak. Aku harus menghabiskan mie ini."
Bram dan Laras menikmati makan malam hanya dengan mie rebus buatan Bram.
"Apa Rere sering melakukan itu padamu?" tanya Bram di sela-sela makannya.
"Tidak. Kakak tidak pernah melakukan itu. Kalau dia marah biasanya hanya ngomel dan memakiku tapi tidak pernah menyakiti fisikku," ucap Laras sedih.
"Apa dia sering marah padamu?"
"Apapun yang aku lakukan selalu saja salah di matanya, dia terlalu membenciku dan bunda."
"Apa kamu juga membencinya?"
Laras menatap mata Bram dalam. Bram membalas tatapan Laras dengan rasa ingin tau.
"Aku tidak pernah membencinya, aku sangat menyayanginya," ucap Laras dan kembali menikmati mie.
"Kenapa kamu tidak membencinya?"
"Bunda bilang, aku harus menjadi anak yang baik tidak boleh membalas kebencian dengan kebencian juga karna hal itu bisa menyakiti diri sendiri."
"Aku yakin bundamu pasti wanita yang baik "
"Pasti. Bunda adalah wanita hebat."
Bram tersenyum melihat Laras tersenyum.
"Tapi aku kasihan sama bunda kalau ada kak Rere di rumah," wajah Laras menjadi murung.
"Kenapa?"
"Bunda selalu di marahi kak Rere bila ayah tidak di rumah, kak Rere menjadikan bunda seperti pembantu yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah bahkan semua pekerjaan kak Rere, tapi kalau ayah di rumah kak Rere bersikap manis."
Laras menghentikan ucapannya dan mengusap air mata yang jatuh di sudut matanya. Laras kembali merasakan kepedihan bila mengingat perlakuan Rere terhadap dirinya dan bunda.
Meski mendapat perlakuan yang tidak baik dari Rere, bundanya selalu menyayangi Rere seperti anaknya sendiri bahkan bunda selalu membela Rere di depan ayahnya. Bunda selalu mengutamakan Rere bila dibandingkan dirinya sendiri.
Ayahnya bukannya tidak tahu perbuatan Rere selama ini terhadap bunda dan Laras, tapi bundanya selalu melarang ayahnya untuk tidak berbuat kasar pada Rere.
Bram turut merasakan kepedihan yang Laras rasakan saat mendengar cerita gadis itu. Ternyata gadis itu tidak hanya cantik dari luar saja tetapi hatinya lebih dari sekedar cantik.
Seandainya saja Rere seperti gadis ini, harap Bram dalam hati.