Sang Raja
Jingga berdiri terpaku di area lobi gedung apartemen yang terlihat sangat mewah baginya. Keringat dingin membasahi dahi dan telapak tangan gadis cantik berambut hitam dan panjang itu.
"Ayo!" ajak pria di sebelah Jingga. "Pak Ganendra sudah menunggu."
Jingga mengangguk. Dia hanya bisa pasrah ketika pria itu setengah menyeretnya masuk ke sebuah lift pribadi.
"Nanti kalau sudah dapat bayaran dari Pak Ganendra, jangan lupa, lima persennya untuk aku, ya. Kirim langsung ke rekening pribadiku, atas nama Anton Saidi," tutur si pria bernama Anton itu.
"Iya," jawab Jingga singkat. Perasaannya makin tak karuan ketika tombol angka di atas pintu lift terus bergerak menyala dan berhenti di angka tujuh belas.
Pintu lift pun terbuka. Gadis itu terpana melihat bagian dalam ruangan yang menurutnya sangatlah luas. Dia bagaikan berada di dalam istana, lengkap dengan segala perabotan mewah.
"Ini namanya griya tawang," celetuk Anton. Dia seakan memahami sorot takjub dan terpana yang terpancar dari mata Jingga.
"Siapa pemiliknya?"
Belum sempat pertanyaan Jingga terjawab, sebuah pintu yang berada di sisi lain ruangan tiba-tiba terbuka.
Seorang pria berbadan tinggi dan tegap, keluar dari sana. Pria itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana training. Kulitnya yang putih bersih tampak mengilap, basah oleh keringat.
Jingga menelan ludah berkali-kali. Rasa takjubnya kian bertambah tatkala menyadari bahwa sosok si pria tengah berjalan ke arahnya.
Jarak mereka semakin dekat, sehingga semakin jelas pula terlihat paras rupawan sang pemilik griya tawang. Seumur hidup, Jingga tak pernah bertemu atau memandang pria setampan itu.
"Selamat sore, Pak Ganendra," sapa Anton, membuyarkan angan Jingga. "Ini gadis yang saya ceritakan tadi."
"Oh." Sebuah kata singkat terucap dari bibir pria bernama Ganendra itu. Dia mengamati Jingga lekat-lekat, sambil mengusap dagu. "Jadi, kamu benar-benar masih perawan?" tanyanya tanpa sungkan.
"Belum pernah tersentuh sedikitpun. Tadi sudah diperiksa oleh dokter Ella di kantor," sahut Anton, sebelum Jingga sempat membuka mulut.
"Perfect," ucap Ganendra singkat. "Kamu boleh pulang, Ton. Nanti kuhubungi lagi."
"Siap, Pak. Saya permisi dulu," pamit Anton.
Jingga mendadak gemetar saat Anton meninggalkan griya tawang. Praktis hanya ada dia dan Ganendra di dalam ruangan sebesar itu.
"Buka bajumu," titah Ganendra santai.
Jingga spontan menggeleng sembari meremas dada.
"Apa maksudnya ini?" Ganendra tak suka dengan reaksi Jingga. "Dengar, ya! Aku membeli kegadisanmu seharga seratus juta! Jangan sampai kamu membuatku rugi," ujarnya seraya mengarahkan ujung telunjuk lurus pada Jingga.
"Sa-saya ...." Wajah Jingga semakin memucat. Selama ini dia tak berpikir panjang atas keputusannya untuk menjual keperawanan. Jingga lupa mempersiapkan segala risikonya.
"Buka bajumu sekarang," ulang Ganendra penuh penekanan. "Atau aku yang akan merobek pakaianmu."
"Tidak jadi!" pekik Jingga. "Saya tidak jadi menjual diri! Lagipula, uangnya juga belum saya terima!"
"Kamu berani bermain-main denganku rupanya." Ganendra memicingkan mata seraya mendekati Jingga.
Tak ada lagi jarak antara dua anak manusia itu. Ganendra menyentuh dagu Jingga dan mengangkat wajahnya. Dengan begitu, Ganendra dapat menikmati paras itu dengan leluasa. Kulit kuning langsat, hidung mancung dan mungil serta mata bulat menggemaskan, cukup menarik perhatian Ganendra.
"Cantik juga kamu, tapi aku tidak suka bajumu. Jelek dan murahan," ejek Ganendra. Tanpa aba-aba, dia menyobek kemeja Jingga, hingga kancingnya terlepas.
Saking kuatnya tenaga Ganendra, sampai-sampai penutup dada gadis itu ikut terkoyak.
Tak hanya itu, Ganendra bahkan menarik rok bawahan Jingga. Dia tak berhenti hingga tak ada sehelai benangpun yang menempel di tubuh molek itu.
Jingga memekik kencang. Kedua tangannya bergerak tak beraturan. Dia terlalu bingung untuk menutupi bagian mana dari badannya yang seluruhnya terbuka.
Sementara Ganendra hanya bisa terpaku. Semua yang ada pada Jingga tampak begitu segar, indah dan membuatnya sangat bergairah.
"Ampun, Pak. Jangan sakiti saya," isak Jingga.
"Mana mungkin aku menyakitimu," sahut Ganendra. "Kalau perlu, akan kubayar dua kali lipat untuk menikmatimu sepuasnya." Pria tampan itu tersenyum samar sembari meraih helaian rambut Jingga yang hitam dan panjang, lalu menghirup aromanya dalam-dalam.
Jingga mulai bimbang. Hatinya goyah saat mendengar nominal dua ratus juta. "A-apa bapak yakin?" tanyanya lirih.
"Kenapa harus ragu? Zaman sekarang, gadis sepertimu sangatlah jarang. Satu dibanding seribu," jawab Ganendra yang tak jua melepaskan tatapannya dari Jingga.
"I-itu banyak sekali," timpal Jingga.
"Itu penghasilan bersihku dalam sehari." Ganendra menyeringai puas saat menangkap sorot kagum dari mata lugu Jingga.
"Saya ...." Jingga menggigit bibir. Terbayang uang sebanyak itu dapat melunasi separuh tunggakan utang kepada pihak bank. Namun dia tak yakin apakah hal itu dapat membatalkan penyitaan rumahnya.
Pikiran Jingga kembali kusut. Dia gamang antara menerima tawaran Ganendra ataukah melarikan diri keluar dari tempat itu. "Lari?" gumam Jingga tanpa sadar. Dia terkekeh pelan saat teringat akan kondisinya yang tanpa busana.
"Apa yang kamu pikirkan? Hm?" Pertanyaan Ganendra membuat Jingga terkesiap. Dia sampai melupakan sosok pria yang sedari tadi terus memperhatikannya itu.
"Dua ratus juta, dan kamu bisa menikmati segala fasilitas tempat ini selama seminggu," tawar Ganendra.
"Di sini?" ulang Jingga tak mengerti.
"Iya, kamu menemaniku di sini selama seminggu. Terhitung tujuh hari dari sekarang, aku akan menransfer semuanya ke rekeningmu." Ganendra semakin gemas melihat mimik wajah Jingga. Tak sabar, dia langsung menangkup paras cantik gadis itu dan melumat bibirnya kasar.
Cukup lama Ganendra menikmati bibir ranum yang belum pernah terjamah oleh siapapun. "Layani aku di kamar mandi. Aku tidak terbiasa bercinta dengan badan yang kotor," ujarnya sesaat setelah melepaskan tautan. Napasnya terengah, hangat menyapu wajah Jingga.
Bagaikan terhipnotis, Jingga mengangguk dan mengikuti langkah Ganendra. Telapak tangan pria itu terlihat begitu besar saat menggandeng jemari Jingga yang mungil.
Lagi-lagi Jingga terpana saat menyaksikan kamar mandi Ganendra yang jauh lebih luas dari halaman belakang rumahnya. "Pijit pundakku," titah Ganendra seraya masuk ke dalam bath up yang sudah berisi air penuh busa.
Jingga ragu bersimpuh di belakang bath up. Dia mulai terbiasa memperlihatkan setiap inci tubuhnya pada Ganendra. Tangannya hati-hati memijit dan mengusap pundak lebar pria yang sudah membeli tubuhnya itu.
Berkali-kali Ganendra menghela napas panjang saat merasakan lembutnya perlakuan Jingga. Dia tak tahan lagi. Ganendra tiba-tiba berbalik menghadap Jingga lalu menarik tubuh molek itu masuk ke dalam bath up berukuran besar.
"Aw!" Jingga yang terkejut, memekik sekencang-kencangnya. Namun, Ganendra segera membungkamnya dengan ciuman dan serangan mematikan.
Sore itu, di dalam bath up mewah bersepuh emas, Jingga kehilangan hartanya yang paling berharga. Kesucian yang dia jaga selama ini, harus dia relakan, direnggut oleh Ganendra.