2. Selamat Berbahagia di Atas Luka Seseorang
***
Aku ingin bertemu denganmu di cafe milik Intan. Aku tunggu besok jam 11 siang, jangan ngajak siapapun. Aku hanya ingin bicara berdua dengan kamu.
Pesan yang Gadis baca adalah pesan pertama yang dikirim oleh Devano. Ia menatap ragu apa yang ia baca ratusan kali itu, pesan yang ia baca dari semalam. Apa benar Devano ingin bertemu dengannya? Apa Devano ingin menjelaskan semuanya? Apa lelaki itu mau meluruskan semua masalah yang mereka hadapi? Apa benar kalau Dhea saat ini mengandung buah cinta dari suaminya?
Gadis menghela napas pendek, ia lantas mematut diri di depan cermin, ia poles bibirnya dengan lipstik warna merah dan ia pulas wajahnya dengan bedak. Hari ini ia harus tampil cantik di depan suaminya itu, ia ingin Devano menyesal karena tanpa sebab telah menalaknya.
Gadis melihat Devano duduk di pojok cafe milik Intan. Intan adalah teman akrab dari Devano sejak dulu, mereka memang sudah saling mengenal sejak kecil.
Gadis duduk dan Devano menatapnya dengan datar.
"Apa kamu sudah menandatangani berkas perceraian kita?" tanya Devano tanpa perasaan.
Gadis tercengang, ia baru datang dan duduk. Lelaki itu mengatakannya tanpa basa-basi. "Kenapa kamu tidak sabaran? Kalian takut enggak bisa menikah karena perut perempuan gatal itu membesar, kan? Kamu takut kalau anak itu disebut anak haram?" sindirnya, menatap tajam Devano.
Devano terkejut, ia tak tahu kenapa Gadis bisa tahu rahasianya. "Kamu tahu dari dulu kalau Dhea hamil? Jadi, kamu sengaja mengulur perceraian kita untuk mempermalukan Dhea? Kamu itu benar-benar enggak punya hati!"
Gadis tertawa. "Aku tak punya hati? Kalau aku yang dikhianati dan kalian sakiti tak punya hati. Lantas kamu dan Dhea disebut apa? Iblis berwajah manusia, kah?"
"Aku bertemu denganmu hanya ingin meluruskan agar kita cepat bercerai! Jangan banyak drama yang kamu mainkan. Drama yang kamu buat kemarin di mal itu sukses membuatku malu dan kamu tahu saat ini Dhea hanya bisa menangis dan dia tak berani ke luar rumah karena ulah kamu!"
"Bukan ulahku! Kamu itu bodoh ya! Sanksi sosial belum cukup pantas untuk kalian dapatkan! Kamu dan dia itu sampah! Kalian menodai ikrar suci pernikahan. Kamu kenapa melakukan ini semua padaku? Kalau kamu memang tidak mau menikah denganku, harusnya dari awal kamu membatalkan pernikahan kita! Kamu malah tega memberiku label janda!" teriak Gadis.
"Aku hanya kasihan denganmu dan keluargamu karena berharap aku menjadi bagian dari keluargamu. Aku baru sadar setelah menikah bahwa kita ternyata tidak cocok bersama. Kamu lebih mementingkan study-mu dan sibuk mengejar S2-mu. Aku hanya ingin seorang istri yang mempunyai waktu banyak hanya untukku saja! Dan kamu harus tahu, aku tersiksa berpacaran denganmu, setahun terakhir ini kamu membuat aku kehilangan jati diriku sendiri! Kamu disentuh denganku pun tak mau, kenapa? Apa kamu mau jadi sok alim!"
Gadis tercengang mendengar penuturan dari Devano, beberapa detik kemudian ia tertawa. "Bukankah dari awal kita sudah berkomitmen kalau kamu mengizinkan aku untuk melanjutkan magister? Bahkan kamu sangat mendukungku! Kamu tersiksa berpacaran denganku? Apa aku itu seorang monster yang suka minum darah manusia?" Gadis meghela napas pendek. "Masalah aku tak mau disentuh denganmu karena kita belum sah jadi suami istri. Bukan aku yang sok alim, tapi aku ingat pesan ayahku! Jadilah wanita kuat, berprinsip dan menjunjung kehormatannya. Aku hanya ingin menyerahkan segala yang kupunya, yang berharga hanya untuk suami. Kamu selingkuh hanya karena alasan bodoh itu?"
"Kamu selalu tak pernah mau mengalah kalau kita berbeda pendapat! Beruntung, aku dan kamu tak hidup lama dalam bahtera rumah tangga," ujar Devano. "Aku hanya ingin kita cepat bercerai secara hukum dan jangan ganggu hidupku dan Dhea lagi. Aku harap kita bahagia dengan jalannya masing-masing."
Gadis tersenyum, ia beranjak dari kursinya dan detik itu pula ia menyiram kepala Devano dengan segelas air putih yang ada di atas meja. "Selamat berbahagia di atas luka seseorang, semoga bahagiamu saat ini tak menuai duka yang panjang."
***
Setelah beberapa hari kemarin terakhir bertemu dengan Devano. Hari ini ia resmi bercerai dengan lelaki itu. Seperti yang ia duga, lelaki itu tak datang menghadiri sidang perceraian mereka di pengadilan. Gadis hanya tersenyum saat orang-orang menatap iba padanya. Menatap dirinya yang hanya merasakan manis pernikahan dalam hitungan hari. Mereka menatap iba padanya karena ditalak tiga dan diselingkuhi.
Gadis masuk ke kamarnya, ia merebahkan diri di atas kasur dan air matanya yang ia tahan dari sidang dimulai akhirnya pecah juga.
"Kamu jahat, Devano! Bukankah kita berjanji akan pergi ke Jepang bersama. Bukankah mimpi kita dari dulu untuk pergi ke sana berdua?" lirihnya terluka.
Gadis kembali mengingat kenangan manis saat bersama Devano, dua hari sebelum lelaki itu memintanya menjadi istri.
"Kita sudah pacaran lama ya, Dev. Padahal teman-teman kita sudah beberapa kali ganti pasangan. Kita awet sekali," ucap Gadis.
"Iya. Mereka iri karena kita setia satu sama lainnya," jawab Devano.
"Kamu bosan enggak denganku?" tanya Gadis.
"Memikirkan namamu saja aku enggak bosan. Menatapmu itu membuatku candu," balas Devano.
Gadis tertawa bahagia. "Kamu dari dulu kenapa sih pintar banget ngegombalnya."
"Hanya ke kamu saja kok. Kamu yang pantas mendapatkan ucapan manis dariku," balas Devano terkekeh.
"Masa? Masa enggak ada gadis lain yang bisa buat kamu tertarik. Banyak lho gadis yang cantik di kampus kita."
Devano tertawa. "Yang cantik memang banyak, tapi yang pintar dan menyenangkan hanya kamu saja."
Gadis tersipu malu dibuatnya, Devano memang paling pintar membuat wajahnya bersemu merah.
"Kalian! Bisa enggak jangan sok romantis gitu! Bikin iri yang lihat saja!" timpal Dhea menghampiri keduanya yang sedang saling menatap.
"Iri saja, kamu kaum jomlo!" balas Gadis.
"Iyalah iri! Kalian itu bucin banget dan terkenal sebagai pasangan teromantis di kampus," ucap Dhea. "Awas lho, nanti pacarmu itu bisa direbut sama perempuan lain."
"Enggak! Devano mana mau sama perempuan lain," timpal Gadis. "Iya, kan, Dev?" tanyanya minta persetujuan dari lelaki itu.
"Iya, Sayang. Hatiku sudah dikunci sama kamu. Kalau kamu takut kalau hubungan kita ada yang ganggu, gimana kalau habis wisuda, kita nikah?"
"Apa??" Pekik Gadis dan Dhea berbarengan.
Devano tersenyum, ia langsung menggenggam tangan Gadis. "Dhea, kamu jadi saksinya ya! Kalau aku hanya ingin menikah dengan Gadis!" pintanya pada Dhea.
"Apaan sih kamu," ucap Gadis malu-malu. Wajahnya pun berubah memerah.
"Jangan malu, Sayang. Kan aku memang niat mau menikah denganmu," tukas Devano.
Dhea tersenyum, senyum yang akhirnya membuat hubungan anak manusia harus berakhir.
***