Ringkasan
Ayuna : Kehilangan kedua orang tua saat umur masih 17 tahun, itu adalah sesuatu yang membuat semangat hidup mati. Terlebih, harus menikah dengan lelaki yang sudah membuat kedua orangtuaku meninggal. Double sial! Pangeran : Sekali lagi, gue bukan pembunuh! semua terjadi karna gue ngantuk.
Bab 1
Ayuna seorang gadis desa berumur 17 tahun. Kulitnya tan, wajahnya oval, mempunyai dua lesung pipit. Sangat manis dan pintar. Anak tunggal dari pasangan Sarto dan Narti.
Yuna tinggal di kampung dekat pantai parangtritis. Sepulang sekolah, pasti membantu ibunya bekerja. Yaitu berjualan asesoris keliling pantai.
Hari ini hari sabtu, karna sekolah libur, Yuna membantu ibunya jualan dari pagi hingga sore. Tepat pukul 7 malam, kedua orang tua Yuna mengajaknya makan malam diluar. Cukup sederhana, hanya makan pecel lele di lesehan pinggir jalan.
“Tumben Bapak ngajakin makan diluar?” tanya Yuna.
“Kamu lupa ya Na?” ibuk balik nanya.
Yuna mengerutkan keningnya. “Lupa apa Buk?”
“Hari ini kan hari ulangtahunmu,” sahut Bapak.
Yuna menutup mulutnya yang membulat. Matanya mengembun. Ia sama sekali tak ingat jika tepat dihari ini, umurnya genap 17 tahun.
Bapak mencium kening Yuna dengan penuh kasih sayang. “Selamat ulangtahun ya sayang. Maafin Bapak yang belum bisa membahagiakanmu.”
Yuna memeluk Bapak, keluarlah bulir bening yang ia tahan sedari tadi. “Yuna bahagia Pak. Yuna merasa sangat beruntung mempunyai Bapak dan Ibuk.”
Mereka bertiga saling berpelukan erat.
“Pak, Buk, pesanannya.” Mas penjual pecel lele datang membawakan tiga piring lele, lengkap dengan nasi dan minumannya.
“Ah, iya mas. Terima kasih,” ucap Ibuk.
“Sekarang kita makan dulu ya.”
Mereka bertiga makan dengan binar bahagia. Memang bukan keluarga yang berkecukupan. Bahkan penghasilan Bapak dan Ibuk Yuna hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Yuna bisa tetap meneruskan sekolah SMA karna mendapat beasiswa. Ia selalu mendapat peringkat 1 di sekolahnya.
“Sudah selesai, ayo kita pulang.” Ajak Bapak setelah membayar tagihan.
Mereka bertiga pulang berjalan kaki, karna memang tidak mempunyai kendaraan pribadi. Yuna menuntun sepeda bututnya agar bisa tetap pulang bareng Bapak dan Ibuk.
“Naiki sepedamu, Na. Kamu nanti capek kalo ikutan jalan kaki. Tadi seharian sudah kerja.” Pinta Bapak.
“Yuna kan pengen pulangnya bareng sama Bapak dan Ibuk.” Tolak Yuna.
“Udah naiki aja Na. Kamu pulang duluan, lampu yang menerangi jalan dihidupkan. Pasti gelap banget rumah kita.” Timpal ibuk.
“Ya udah, Yuna pulang duluan.” Akhirnya nurut.
Yuna menaiki sepeda, mendahului kedua orangtuanya yang jalan bergandengan. Terukir senyum bahagia dibibir keduanya. Melihat putri semata wayang sudah tumbuh besar dan sangat cantik, tentu sangat bahagia. Apalagi Yuna sangat berprestasi dan disenangi semua guru di sekolahan.
Tin! Tin! Tin!
Braak!
Yuna yang sudah bersepeda sekitar 300 meter itu menoleh. Menghentikan sepeda, membuangnya.
“Bapak! Ibuk!” teriaknya.
Berlari sekuat tenaga kearah Bapak dan Ibuknya yang sudah tergeletak dijalan raya. Sebuah mobil sport warna hitam menabrak kedua orangtua Yuna. Darah memenuhi aspal hitam. Orang-orang berkerumunan menolong korban. Seketika, jalanan macet total. Melihat wajah kedua orangtua yang tak lagi terlihat karna tertutup darah, pandangan Yuna kabur. Dia ikut pingsan.
Warga setempat menolong Yuna, membopongnya diteras salah satu rumah yang terletak dipinggir jalan. 15 menit, polisi datang mengamankan pengendara mobil. Tubuh Bapak dan Ibuk Yuna dibawa ke rumah sakit terdekat. Ibuk Yuna sudah meninggal ditempat kejadian, kepalanya terbentur pembatas jalan dan dadanya terkena batu. Bapaknya kritis dan perlu mendapatkan penanganan khusus.
Yuna menangis tanpa henti didepan ruang ICU. Untung ada jaminan kesehatan dari negara, jika tidak, dia tak tau lagi harus membayar biaya dengan apa. Polisi datang meminta keterangan, tak lama, para tetangga juga datang untuk menguatkan Yuna.
Seorang lelaki pengendara mobil sport itu diamankan dikantor polisi. Ada tiga orang lagi, yang juga ikut diamankan. Mereka yang berada didalam mobil itu.
Pangeran Eldesyon Erka, lelaki berumur 18 tahun si pengendara sekaligus pemilik kendaraan. Bocah kelas 11 SMA dengan posisi mengantuk saat mengendarainya.
Tampan, maco, keren dan berpenampilan menarik. Rambutnya agak panjang dan diwarnai coklat dibagian ujung. Tingginya 180cm dengan postur tubuh yang atletis. Seorang pemain basket terkemuka seantero SMA Srikandi Jakarta.
Datang untuk berlibur ke Jogja dengan tujuan Pantai Parangtritis. Nggak nyangka, belum juga masuk TPR udah nabrak orang. Itupun korban meninggal dan yang satu kritis.
Minggu pagi, kedua orangtua Pangeran sudah tiba di Jogja. Mama dan Papa Pangeran mengunjungi rumah sakit terlebih dahulu. Merasa sangat iba saat melihat gadis mungil yang duduk sendirian di kursi besi depan ruang ICU.
Berbicara sebentar untuk meminta ijin menjenguk pasien didalam. Setelah mendapatkan ijin, kedua orangtua Pangeran dipersilahkan masuk dengan seragam dari rumah sakit.
Wajah pucat seperti tanpa aliran darah itu terbaring lemah. Banyak alat yang tertancap ditubuh Pak Sarto. Dina, mama Pangeran menitikkan air mata melihat keadaan orangtua ini. Seno, papa Pangeran mengelus lengan istrinya, memberi kekuatan lewat tangan.
“Pa, kasihan nasib anaknya. Semua karna ulah anak kita.” Dina nangis.
“Papa akan menanggung hidup gadis itu, Ma.”
Tangan pak Sarto bergerak pelan, lalu matanya terbuka perlahan. Mengedarkan pandangan kesegala arah. Mungkin mencari keberadaan sang istri, atau anaknya. Melihat pasien sadar, dengan sigap pak Seno memencet bel yang ada diatas ranjang pesakitan.
“Pak, sudah sadar,” sapa Pak Seno.
Pak sarto hanya mengangguk lemah. “Dimana Yuna? Anakku.” Suaranya sangat lirih.
“Dia ada diluar, pak.” Dina yang menjawab.
“Kalian siapa?”
Belum sempat Pak Seno menjawab, Dokter dan dua orang suster datang. Meminta pak Seno dan Dina keluar ruangan.
Di luar, Yuna tak banyak bicara, ia hanya duduk diam dengan kepala menunduk. Berdoa dalam hati, agar bapaknya selamat. Ketakutan itu sudah menjalar didalam hati. Ibuknya sudah tak ada, tak akan kuat jika bapaknya pun ikut menyusul pergi. Kembali setetes air menetes dari sudut mata. Yuna mengusapnya dengan kasar. Tak menyadari jika Pak Seno memperhatikannya sedari tadi.
Ceklek!
Dokter keluar dari ruangan. “Saudara Yuna, pasien ingin bertemu dengan anda.”
Dengan cepat, Yuna berdiri dan segera masuk kedalam ruangan. Pak Seno mendekati dokter lelaki itu.
“Bagaimana perkembangan pasien Dok?”
Dokter menghembuskan nafas, resah. “Tidak bisa terlalu banyak berharap pak. Bisa jadi besok atau besoknya.” Jelas Dokter.
Dina menutup mulut yang membulat. Menangis, tak kuasa mendengar kenyataan itu.
“Kalian coba masuk saja. Mungkin masih ada kesempatan untuk meminta maaf.” Lanjut pak Dokter, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Akhirnya, Seno dan Dina masuk menemui pak Sarto. Terlihat Yuna yang menangis sesenggukan disamping bapaknya.
“Pak, maafkan anak kami yang sudah membuat bapak dan istri mengalami kecelakaan.” Ungkapan maaf dari Pak Seno.
Pak Sarto masih bisa tersenyum lebar. “Tak apa pak, saya sudah memaafkan. Mungkin memang jalan hidup saya harus begini.”
Dina hanya diam, tapi matanya sudah basah. Sungguh baik keluarga ini. Batinnya.
“Saya akan membiayai semuanya, pak. Termasuk kehidupan anak bapak.” Lanjut pak Seno.
“Saya punya satu permintaan sebelum saya benar-benar pergi, pak.” Pinta pak Sarto.
“Apa itu pak? Pasti akan saya kabulkan. Apapun itu.”
“Saya ingin menikahkan Yuna sebelum saya pergi. Itu adalah keinginan terbesar dalam hidup saya. Sebagai seorang bapak, saya merasa sangat lega jika saya sendiri yang mengucap ijab khobul untuk anak saya.” Suara pak Sarto tersendak, sangat lirih.
Yuna menangis sesenggukan. “Pak, aku mau nikah sama siapa? Aku masih sekolah.”
“Baik, pak Sarto. Pangeran, anak pertama saya, akan menikahi Yuna esok hari.” Jawab pak Seno dengan mantap.