Part 01
—01—
Kota pinggiran bernama Geraldton menjadi pilihan kepindahan Aleandra dan kakaknya -Leanor- beserta satu sahabat mereka, sejak kecil bernama Jonathan yang akrab dipanggil Joe.
Mereka terpaksa harus berpindah tempat, karena kehamilan Leanor yang semakin membesat, akibat laki-laki brengsek itu.
Aleandra mengharuskan dirinya untuk bekerja demi membayar sewa rumah dan kebutuhan sehari-hari selama mereka berada di kota tersebut. Meskipun Leanor dan Jonathan sudah melarangnya, mengingat Aleandra yang baru sembuh dari penyakit kanker tulang yang di deritanya hampir lima tahun terakhir. Selama ia berkutat dengan pengobatan, Leanor-lah yang mendukung dan mendampinginya sampai dia sembuh. Karena itu dia ingin berganti peran dengan kakaknya. Dia merasa Leanor sudah banyak berkorban demi kesembuhannya.
Dan dari sinilah kisah hidupnya dimulai....
"Selamat datang di kedai ice chocoloco!!” Aleandra menyambut beberapa pelanggan yang selalu menikmati ice cream di jam makan siang.
Keadaan yang sudah menjadi pemandangan Aleandra sehari-hari.
Di sisi kiri kedai itu terdapat beberapa pelajar yang berkumpul dan membicarakan pria idaman mereka. Bahkan kebanyakan dari mereka mengidamkan pria matang yang bahkan sudah memiliki istri.
Sementara disudut lain, terdapat sepasang suami istri yang saling melempar senyum bahagia. Melihat perut wanita itu yang membuncit, Aleandra teringat kakaknya -Leanor- yang tak bisa merasakan kebahagiaan seperti pasangan itu.
Lalu tatapannya berpindah kepada pria matang yang menjadi bahan perbincangan pelajar tadi.
Aleandra juga baru kali ini melihatnya disini. Perhatiannya teralihkan saat salah satu dari gadis pelajar itu melambai pada Aleandra. Lalu dengan malas Aleandra beranjak dari tempatnya, menuju ke tempat para gadis pelajar tersebut berkumpul.
"Ada yang bisa saya bantu nona?"
"Sangat bisa! Tolong, kau berikan kertas ini pada pria tampan di sana?" Aleandra menoleh pada pria tampan berusia sekitar empatpuluhan.
"Hm... Tapi—"
"Berikan saja, ini tips untukmu!" potong gadis itu dengan sombongnya. Aleandra menghela napasnya dan dengan terpaksa mengambil kertas dari gadis itu untuk diberikan kepada lelaki tampan yang duduk di sisi sebelah kiri kedai ice tersebut.
Aleandra berjalan dengan malas. Hingga sesampainya dia di depan meja pria itu, dia memberikan kertas tersebut.
"Permisi Sir, para gadis di ujung sana memintaku untuk memberikan kertas ini untukmu," ujar Aleandra, pria itu mengambil kertas tersebut dan membacanya. Lalu melirik gadis pelajar yang melambai padanya, dia hanya memberikan senyum ramah. Lalu kembali menatap Aleandra.
"Jika kau berminat, kau bisa langsung menghampiri mereka. Dan aku bisa kembali ke pekerjaanku," ujar lagi Aleandra.
"Bagaimana jika kau bantu aku untuk mengatakan bahwa aku seorang gay atau bilang saja, istriku sangat galak."
"Aku tak ingin berbohong Sir, katakan sendiri pada mereka." Aleandra hendak beranjak namun tertahan. Karena pria itu kembali berbicara.
"Baiklah... Tunggu sebentar," ujar pria yang memiliki garis rahang tegas dan alis tebal itu. Lalu pria tersebut mengeluarkan pulpen dari balik jasnya dan menuliskan sesuatu dikertas tersebut, sambil menanyakan nama Aleandra.
"Siapa namamu?"
"Aleandra," jawab Aleandra tanpa curiga.
"Aku Marvin Williams, panggil saja Marvin. Dan tolong, berikan kertas ini pada mereka, lalu beritahukan namaku," ujar pria yang diketahui bernama Marvin.
"Mereka memberiku tips untuk memberikan kertasnya padamu. Bagaimana denganmu Sir? Maaf aku tak sopan, tapi ini bukan pekerjaanku Sir," ujar Aleandra.
Mendengar perkataan Aleandra, membuat Marvin tergelak. Di sana banyak gadis seusia Aleandra sangat mengaguminya. Namun Aleandra malah dengan tak tau malunya meminta tips padanya.
"Baiklah... Bagaimana jika siang ini aku traktir makan?" tanya Marvin.
Aleandra menggeleng dan melihat jam dipergelangan tangannya.
"Sayangnya jam makan siangku sudah selesai satu jam yang lalu," tolak Aleandra, menunjukkan jam tangannya. Dia memang bergantian shif berjaga. Karena memang saat jam dua belas hingga jam satu, kedai ice tersebut akan ramai.
"Hm... Baiklah. Bagaimana jika ku antar kau pulang nanti sore?"
"Aku dijemput."
"Kalau begitu katakan pada penjemputmu untuk tak menjemput."
"Ya ampun... Berikan aku kesabaran ya Lord," batin Aleandra. Lalu dengan sangat terpaksa, dia mengambil kertas yang baru saja dituliskan pesan lainnya oleh Marvin.
"Jadi kau bersedia kuantarkan pulang?" tanya Marvin dengan sedikit memaksa.
"Baiklah! Terserah anda Sir!" ujar Aleandra ketus.
Namun reaksi Aleandra membuat Marvin mulai tertarik. Aleandra gadis yang berbeda dari yang lainnya.
Marvin menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Membayangkan wajah Aleandra yang akan kesal saat tau apa yang dia tulis dikertas para gadis pelajar.
Marvin beranjak dari duduknya dan keluar dari kedai ice tersebut.
-
"Apa? Aku sungguh tak tau apa yang dia tulis!" tukas Aleandra.
"Dia menuliskan bahwa dia sedang dekat denganmu. Jika kau memang sedang dekat dengannya, kau tak perlu mengantarkan kertas kami padanya." gadis itu kesal setelah membaca tulisan Marvin.
"Aku rasa dia sengaja ingin membuat kita malu! lebih baik kau minta kembali tips yang tadi," ujar temannya semakin membuat suasana panas.
"Oh astaga... Ini! Aku juga tak butuh!" Sarkas Aleandra mengembalikan uang tips yang diberikan gadis itu sebelumnya. Aleandra hendak beranjak namun kembali lagi.
"Oh dan ya! Aku dan Marvin memang sedang dekat! Dan aku memang sengaja! seperti kata kalian!" tukas Aleandra kesal dituduh seperti itu, jadi sekalian saja dia mengakuinya.
Sore harinya. Jam kerja Aleandra telah selesai. Ia bergegas pulang. Sebenarnya dia tak menunggu jemputan. Itu hanya sebuah kebohongan kecil untuk menolak Marvin. Ia melihat jam dipergelangan tangannya dan bergegas menuju halte bus.
Marvin yang menunggu Aleandra di dalam mobilnya sejak tadi, tekekeh pelan saat mengetahui Aleandra menipunya.
Dan sekarang dia sudah seperti lelaki tua penguntit yang menjalankan mobilnya pelan di belakang gadis itu.
Aleandra menyadari, dia berbalik dan menatap tajam mobil Marvin, lalu menghampirinya.
"Berhenti mengikutiku Sir! Apa kau seorang penguntit?"
"Marvin, panggil aku begitu saja. Dan sepertinya penjemputmu baru saja pergi," ujar Marvin melihat sebuah bus yang kembali berjalan setelah berhenti di halte, tepat beberapa meter di depannya.
"Ah shit!" umpat Aleandra.
Marvin kembali terkekeh melihat tingkah Aleandra.
"Butuh tumpangan?" tanya Marvin di sela tawanya.
Aleandra yang masih dengan terpaksa memasuki mobil Marvin. Dia tak ingin kakinya sakit lagi, karena pengobatan yang belum selesai.
Begitu masuk ke dalam mobil, Aleandra menyebutkan alamat rumahnya dengan wajah cemberut.
"Aku lapar karena sejak siang tak makan. Bagaimana jika kita makan dulu?"
“Kakakku sudah memasak makanan, dan aku tak ingin mengecewakannya!"
"Baiklah... Kalau begitu bagaimana dengan sebuah burger dan kentang goreng? Itu tak akan membuatmu kenyang sampai pagi bukan?"
"Terserah kau saja, Sir!"
"Marvin. Aleandra! Namaku sangat mudah, aku bahkan mengingat namamu yang cukup rumit," ujar Marvin.
"Baiklah Marvin." kata Aleandra akhirnya. Marvin kembali tersenyum melihat Aleandra yang menuruti perkataannya.
Lalu mereka menuju restoran cepat saji, dan mengantri makanan. Mereka kembali bertemu dengan para pelajar tadi. Sebuah seperti kesempatan untuk membuat perkataan Marvin dikertas itu benar. Bahwa mereka --Marvin dan Aleandra-- sedang dekat.
Suara berbisik, mengejek Aleandra dari para gadis pelajar nyatanya terdengar jelas oleh Aleandra dan Marvin yang berada dibarisan sebelahnya. Hingga tibalah kedua baris itu berada paling depan. Yang berarti; Marvin dan Aleandra serta para gadis pelajar sama-sama akan memesan makanannya.
"Ingin pesan apa Sir?" tanya pelayan tersebut mengedipkan matanya pada Marvin. Aleandra hanya memutar bola matanya malas.
"Ehm... Kau duluan Al, kau ingin apa? Aku samakan saja denganmu," ujar Marvin kepada Aleandra yang mengalihkan pandangannya ke menu di belakang pelayan tersebut.
"Aku... Ingin burger beef deluxe dan kentang, lalu minumnya cola," ujar Aleandra. Entah kenapa dia menjadi lapar karena mendengar hal buruk tentangnya.
"Jangan cola Al... tak bagus untukmu." kata Marvin.
"Oh baiklah... Kalau begitu lemon tea saja."
"Wah pamanmu sangat perhatian," ujar pelayan tersebut kepada Aleandra.
"Oh... Buk—"
"Sorry... She's my girl... Not my niece," potong Marvin sambil merangkul pinggang Aleandra yang sama terkejutnya dengan pelayan tersebut. Dan para gadis pelajar tersebut juga ikut terkejut, mendengar pernyataan nekat dari Marvin. Karena sejak tadi, mereka menfitnah Aleandra yang menggoda Marvin lebih dulu.
Mereka —Marvin dan Aleandra— saling menatap dengan artian yang berbeda. Walau keduanya sama-sama tersenyum. Bahkan hampir tertawa geli.
"Oh maaf, Sir. Kalau begitu saya akan buatkan pesanannya, tunggu sebentar.”
***
"Oh astaga... Apa kau tak lihat wajah terkejut mereka?"
"Ya aku melihatnya," ujar Marvin. Dia berada dalam perjalanan mengantar Aleandra untuk pulang. Dan entah sejak kapan mereka menjadi akrab hanya karena berhasil mengerjai para gadis pelajar tersebut.
"Sebenarnya aku sungguh kesal karena dituduh oleh mereka. Mereka mengatakan bahwa aku yang menggodamu! Oh astaga... Bukankah mereka yang menggodamu?!" tanya Aleandra.
"Kurasa aku yang tergoda padamu," ujar Marvin namun matanya tetap menatap jalanan. Dia tau Aleandra terkejut dengan pernyataannya barusan.
"Hei ayolah... Jangan menganggapnya serius!" ujar lagi Marvin membuat Aleandra tertawa garing karena salah mengartikan gurauan Marvin.
"Kau pandai membuat orang terkejut,” ujar Aleandra.
Marvin kembali tersenyum menatap Aleandra yang menjadi salah tingkah.
"Astaga Marvin... Apa yang kau pikirkan? Usianya hampir dua kali lipat lebih muda darimu!" batin Marvin.
-
"Terima kasih untuk tumpangannya Marvin," ujar Aleandra.
Dia menundukkan kepalanya demi mensejajarkan tatapannya pada Marvin.
"Ya sama-sama. Terima kasih untuk waktumu, aku sungguh terhibur." Aleandra hanya membalasnya dengan senyuman. Lalu Marvin menutup kaca jendelanya dan kembali melajukan mobilnya.
***
"Apa yang kau lamunkan Al?" tanya Leanor. Melihat adiknya tampak berseri membuatnya penasaran.
"Ah... Bukan apa-apa," jawab Aleandra.
Mereka sedang menikmati makan malamnya bersama Jonathan.
"Makan yang banyak Lea, kau butuh asupan nutrisi untuk anakmu," ujar Jonathan.
"Ini sudah cukup Joe... Aku hampir kekenyangan," jawab Leanor.
"Aku sudah selesai, kalian boleh lanjutkan. Aku ingin tidur cepat hari ini." Aleandra hendak beranjak namun dia berbalik lagi.
“Joe... Besok kau tak usah mengantarku. Aku bisa pergi sendiri," ujar Aleandra kepada Jonathan. Lalu dia masuk ke kamar, setelah mencuci piring bekas makannya.
"Ada apa dengan anak itu?" tanya Leanor.
"Entahlah... Dia seperti sedang jatuh cinta."
"Oh kuharap kau salah Joe."
"Maka biar waktu yang menjawabnya."
Aleandra tak henti menyunggingkan senyuman bahkan saat dia tertidur. Setiap kali dia memejamkan matanya, bayangan Marvin selalu terlihat.
Dan dia sengaja tidur cepat agar bisa berangkat pagi-pagi ke kedai ice. Dia berharap bisa bertemu Marvin lebih cepat dari kemarin.
**