Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1

Aku melihat pintu yang sama persis dengan yang ada di ingatanku, ini adalah tempat yang selalu terbayang dalam pikiranku siang dan malam.

Merupakan keyakinan yang membuatku bertahan melalui malam-malam tanpa tidur di dalam penjara.

Aku sangat ingin membuka pintu ini dan berkumpul kembali dengan keluargaku.

Menonton televisi, makan sambil mengobrol dengan mereka.

Ibuku akan memelukku.

Adikku akan memberiku camilan yang kusuka.

Bahkan ayahku yang sehari-hari sangat ketat juga akan memperhatikanku secara diam-diam.

Semua ingatan yang menghangatkan itu muncul kembali di dalam benakku.

Walaupun dunia di balik pintu ini sudah berubah menjadi neraka, tapi aku tetap menekan bel.

"Krek."

Pintu dibuka, aku melihat wajah ibu yang tidak asing.

Di wajahnya, aku tidak melihat kasih sayang seperti dulu, yang ada hanya rasa panik dan benci.

"Ibu, aku sudah pulang," ucapku untuk memecahkan keheningan, dia pun cepat-cepat menunjukkan senyuman yang tipis.

Kata-katanya menunjukkan simpatinya padaku, tapi ekspresinya tetap datar.

"Wah, kamu sudah pulang, kamu terlihat jauh lebih kurus, kamu pasti menderita."

Dia berdiri menutupi pintu, seakan-akan tidak mau aku masuk ke dalam.

Aku memiringkan tubuh untuk masuk ke dalam, dia langsung memberi kode pada adik iparku.

Dengan keras dia berteriak ke arah ruang tamu, "Cepat, Bella sudah pulang."

Adik iparku langsung memakai masker, menyemprotkan sebotol cairan disinfektan ke arahku, seikat tanaman hijau yang besar juga diayunkan ke arahku.

Gerakannya terlalu cepat, aku tidak sempat bereaksi sama sekali, seketika aku merasakan bau alkohol yang menusuk hidung dan rasa sakit di kulit akibat tergores daun.

Setelah itu, dia langsung membuang semua barang-barang ini ke dalam tong sampah.

Lalu dia berkata, "Ini untuk membuang kesialanmu, kamu juga pasti tidak mau membawa kotoran-kotoran dari luar ke dalam rumah dan memengaruhi keponakanmu bukan?"

Aku baru melihat perut adik iparku yang sudah membesar.

Ternyata, ketika aku memikul tuduhan kasus pembunuhan dan dipenjara karenanya, dia justru sedang bersenang-senang.

Aku melihatnya sekilas tanpa mengatakan apa-apa, lalu berjalan ke arah kamarku, tapi aku menemukan kamarku ini sudah berubah menjadi gudang.

Semua barang-barangku sudah tiada.

Aku menoleh ke belakang melihat mereka bertiga, "Apa-apaan ini?"

Adik iparku tetap tenang dan memainkan kukunya.

Adikku mengerutkan keningnya.

Ibuku berkata, "Kamu lama tidak pulang, rumah ini juga kecil, jadi untuk sementara semua barang itu diletakkan di kamarmu."

"Lalu di mana barang-barangku?"

"Ah, kami membutuhkan banyak ruang, kami juga tidak tahu kamu masih menggunakannya atau tidak, jadi ada yang sudah kami jual, ada yang sudah kami buang."

Air mataku lagi-lagi menetes, suaraku juga ikut bergetar, "Kalian tahu kenapa aku dipenjara, lagi pula aku juga hanya dipenjara, bukan mati!"

Pertanyaan dan amarahku ini membuat ayahku yang dari tadi terdiam akhirnya bersuara.

"Adik iparmu sedang mengandung lima bulan, kamarmu yang kosong itu hanya dijadikan sebagai kamar bayi, kenapa kamu marah? Barang-barangmu yang tidak berguna itu juga memang harus dibuang."

Ucapan ayahku ini membuatku pasrah sepenuhnya dengan keluarga ini.

Wajah ayahku yang dingin membuatku mengingat apa yang dikatakannya dulu padaku.

Dia mau mengumpulkan semua hadiah ulang tahunku dari usia satu tahun.

Di acara pernikahanku, dia mau menunjukkannya pada semua orang, agar semua orang bisa melihat proses pertumbuhanku dari kecil sampai besar.

Tapi sekarang, semua hadiah itu berubah menjadi barang yang tidak berguna?

Kukira setelah melihat kelakuan adik ipar dan ibuku, hatiku sudah tidak akan terasa sakit lagi.

Tapi aku lupa, keluarga adalah sesuatu yang paling bisa membuatmu merasa putus asa dan sakit hati.

Aku menarik napas dalam-dalam, "Lalu aku tinggal di mana?"

Mendengar itu, ibu dan adik iparku saling bertatapan, lalu ibuku mengeluarkan uang 400 ribu, meletakkannya di atas meja, "Ini, kamu bisa gunakan uang ini untuk menginap di tempat penginapan atau menyewa rumah, terserah kamu."

Nada bicaranya sangat dingin, sudah tidak berpura-pura lagi.

Aku tidak melihat uang di atas meja itu sama sekali.

Tatapanku tertuju ke arah mereka berempat.

"Adikku."

Aku melihat ke arah adikku.

"Apakah kamu juga berharap aku tidak tinggal di rumah ini lagi? Kamu juga tahu aku dipenjara karena kamu ...."

Sebelum aku selesai berbicara, adikku langsung memotongnya, "Bella, yang sudah berlalu tidak perlu diungkit lagi, tapi kalau kamu mau tinggal di rumah ini, aku juga tidak bisa mengusir kakak kandungku sendiri."

Jawaban adikku membuat kedua mataku berkaca-kaca.

Aku mengulurkan tanganku, untuk menggenggam lengannya sambil tersenyum seperti dulu.

"Ya! Terima kasih adikku, kalau begitu aku tinggal di sini dulu untuk sementara waktu."

Tapi tanganku meleset, ketika aku melihat ke arahnya dengan bingung, adik iparku langsung melihatku dengan tatapannya yang tajam bagai pisau.

Adikku juga cemberut, seakan-akan dia baru memakan kotoran.

Sambil menunjukku, adik iparku berkata, "Isabella, setelah dipenjara selama itu, otakmu sudah rusak ya? Kamu sudah besar, tapi kamu masih mau tinggal di rumah orang lain?"

Aku tertawa-tawa, sambil menunjuk wajahku sendiri, aku bertanya, "Adik iparku, kamu tahu aku dipenjara demi siapa, dan kenapa rumah ini menjadi rumah orang lain? Aku yang membayar uang muka dan cicilan rumah ini."

Aku melihat adikku yang sudah tidak mau berkata-kata lagi sekilas, lalu melihat ke arah ayahku yang sedang merokok di sofa, "Ayah ...."

Ayahku menghisap rokok dalam-dalam, lalu berkata, "Sekarang rumah ini adalah rumah adik iparmu, mereka yang bisa membuat keputusan."

Aku melihat adik iparku lagi, adikku masih mengerutkan keningnya, terlihat sangat menyesal.

Adik iparku lagi-lagi berkata, "Kamu sudah dengar bukan? Rumah ini adalah milikku, aku tidak mau orang sepertimu tinggal di sini. Jangan lihat adikmu lagi, keputusanku adalah keputusannya, segera pergi dari rumahku, atau aku akan memanggil polisi untuk menangkapmu."

Suasana menjadi hening, dulu aku sudah mengorbankan uang, kebebasan dan masa depanku demi keluarga ini, amarahku yang sudah memuncak pun berubah menjadi kesedihan.

Aku tersenyum pahit, "Apakah pengorbananku untuk keluarga ini masih belum cukup banyak? Kenapa kalian bisa menjadi seperti ini? Kesalahan apa yang kubuat?"

Adik iparku langsung berkata, "Kesalahanmu adalah sekarang kamu tidak berguna! Dulu kamu bisa menghasilkan uang, bisa membayar semua tagihan rumah ini. Sekarang kamu hanyalah seorang pembunuh, apa gunanya kamu? Jangankan menghasilkan uang, sekarang kamu juga tidak akan bisa mendapatkan mahar kalau menikah, di sini kamu hanya akan menjadi beban."

"Benar, aku tahu kamu sudah banyak berkorban untuk keluarga ini, tapi coba kamu pikirkan, sekarang selain menjadi beban, apa yang bisa kamu lakukan di sini? Kalau kamu benar-benar peduli dengan keluarga ini, maka kamu harus cepat-cepat meninggalkan rumah ini," ucapnya sambil melihat uang 400 ribu di atas meja.

Ibuku juga berkata, "Bella, yang dikatakan adik iparmu juga masuk akal, adik iparmu sebentar lagi akan melahirkan anaknya, sebagai seorang bibi, kamu juga harus berkontribusi dalam merawat keponakanmu, dengan kondisimu saat ini, kami juga tidak mengharapkan apa pun darimu, lebih baik kamu ambil uang ini dan hidup sendiri di luar saja."

"Ibu, aku adalah putrimu."

Setelah amarahku mencapai puncaknya, aku menjadi jauh lebih tenang.

"Bella, kamu tahu kamu adalah putriku, dengan kondisimu sekarang ini, kamu tidak bisa mendapatkan mahar untuk keluarga ini, itu berarti aku sudah sia-sia merawatmu selama bertahun-tahun, cepat pergi dari sini, jangan memberiku masalah lagi."

"Aku memberimu masalah? Setiap bulan aku menyerahkan gajiku, aku juga membayar uang muka dan cicilan rumah ini, kenapa saat itu kalian tidak bilang aku memberi kalian masalah?"

Setelah hening beberapa saat, adikku berkata, "Bella, aku tahu kamu marah, tapi selama kamu dipenjara, kehidupan kami juga sangat sulit, sejak semua orang tahu ada pembunuh di keluarga ini, kami selalu dibicarakan oleh orang lain. Kalau kamu benar-benar tinggal di sini, coba kamu bayangkan, di usianya yang sudah tua, bagaimana mungkin ayah dan ibu masih berani menemui orang lain? Putraku yang baru lahir juga akan disebut anak dari keluarga pembunuh."

"Kenapa kamu tidak bisa memikirkan kami?"

Ucapan adikku ini terdengar sangat lucu bagiku, "Rangga, kamu jangan lupa, pembunuh yang sebenarnya adalah istrimu."

"Yang mempermalukan keluarga ini juga adalah istrimu."

"Kalau kamu benar-benar memikirkan keluarga ini, seharusnya kamu menyuruh istrimu mengakui kesalahannya, bukan memintaku untuk menjadi kambing hitamnya."

Tiga tahun yang lalu, adik iparku mengendarai mobilku di jalan tol dan sempat berselisih dengan orang lain, lalu dia mendorong orang itu ke depan truk yang sedang melaju dengan kencang, orang itu pun mati di tempat.

Lalu mereka memohon padaku, katanya mereka mau meneruskan keturunan Keluarga Gunadi.

Katanya kesehatan dan pekerjaan adikku tidak baik, akhirnya dia berhasil menemukan seorang wanita yang bersedia menikahinya, kalau adik iparku dipenjara, dia akan melewatkan masa suburnya.

Adikku adalah putra satu-satunya di keluarga ini, dia juga sangat baik padaku, ditambah dengan air mata ibuku dan permohonan adik iparku, hatiku pun melunak dan bersedia dipenjara tiga tahun menggantikannya.

Saat itu, mereka menggenggam tanganku sambil menangis, juga bilang aku adalah orang yang sangat berjasa bagi Keluarga Gunadi.

Sekarang, mereka semua bersikap dingin padaku, seakan-akan aku adalah kotoran yang harus dihindari oleh mereka.

Dulu aku menanggung semua masalah ini sendirian, aku menghabiskan semua tabunganku untuk membayar kompensasi, meminta maaf, menerima berbagai macam ancaman dan penghinaan, juga dipenjara selama tiga tahun.

Kukira ini semua sangat sepadan, tapi sepertinya aku sudah salah menilai keluargaku ini.

Aku mengangkat kepalaku agar air mataku tidak menetes, lalu melihat mereka dengan kesal.

Ayahku sepertinya tidak menyukai tatapanku ini, sehingga dia menggebrak meja dan berdiri, "Isabella, keluarga ini sudah merawatmu sampai sebesar ini bukan untuk menjadikanmu orang yang jahat dan tidak tahu terima kasih!"

"Kamu masih tidak memahami apa yang dikatakan kami semua? Kamu dipenjara selama tiga tahun, kami juga masih harus hidup, bagaimana mungkin kami membiarkanmu menghancurkan nama baik keluarga ini tiada henti?"

Ibuku juga ikut berkata, "Bella, dari dulu kamu adalah anak yang pengertian, kenapa kamu berubah setelah dipenjara selama tiga tahun? Yang bisa dilakukan oleh wanita hanyalah menikah dan melahirkan anak, awalnya aku dan ayahmu berencana untuk mencarikanmu seorang pria yang hebat, mahar yang kamu dapatkan akan kami anggap sebagai balasan atas kerja keras kami dalam merawatmu selama ini, tapi sekarang kamu adalah seorang pembunuh, pria mana yang mau menikah denganmu? Sekarang kami tidak mengharapkan kamu bisa mendapatkan mahar apa pun, aku membiarkanmu masuk ke rumah ini juga karena kamu adalah putriku."

Adikku juga berkata dengan serius, "Benar, kamu memang dipenjara menggantikan adik iparmu, dulu kami sudah berterima kasih padamu."

"Benar." Sambil memegang perutnya, adik iparku berkata, "Dulu aku sudah berterima kasih padamu, tapi sekarang kamu tidak mau pergi dari sini, berarti kamu sudah membulatkan tekad untuk menjadi beban di rumah ini. Selain itu, kalau kamu tidak pergi, anakku ini nanti akan tidur di mana?"

Nada bicaranya yang sinis itu seakan-akan aku adalah orang yang tidak tahu malu dan tidak tahu diri.

Ayahku juga berjalan ke arahku, membanting uang 400 ribu itu di atas meja lagi.

"Kami sudah memberimu uang ini, kami juga sudah membiarkanmu masuk ke sini, apa lagi yang kamu inginkan? Kalau kamu tidak pergi sekarang, aku tidak akan menganggapmu sebagai putriku!"

Ucapan mereka semua seperti pisau beracun yang menusukku.

Tapi, setelah mengetahui sifat mereka yang sesungguhnya, aku sudah kebal dengan itu semua.

Dengan dingin aku berkata, "Pantas saja selama tiga tahun ini kalian tidak pernah mengirimiku surat, juga tidak ada yang pernah menjengukku. Sepertinya dari awal kalian sudah merasa aku tidak berguna dan tidak bisa menghasilkan uang, sehingga kalian mengusirku dari rumah," ucapku sambil melihat wajah mereka yang kesal, marah dan cuek.

"Aku mau bertanya untuk terakhir kalinya, apakah rumah ini sudah tidak bisa menampungku lagi?"

"Benar!" jawab ayahku.

Wajah ketiga orang lainnya juga terlihat dingin dan tegas, seakan-akan aku adalah musuh mereka.

"Baik, baik, baik, aku akan pergi, sesuai dengan keinginan kalian."

"Mulai hari ini, kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa."

"Semoga kalian tidak menyesal."

Nada bicaraku yang cuek ini sepertinya membuat adik iparku marah, jadi ketika aku keluar dari rumah, dia berteriak dari belakang, "Kamu terlalu meninggikan dirimu sendiri, kamu hanyalah seorang pembunuh yang akan miskin seumur hidup, kami tidak mungkin menyesal!"

"Kami akan menyesal kalau membiarkan sampah masyarakat sepertimu ini menjadi beban di rumah ini!"

Ketika membalikkan badan, setetes air mataku mengalir.

Aku membiarkan air mata yang hangat ini mengalir di pipiku yang dingin.

Ini adalah kehangatan dan air mataku yang terakhir untuk keluarga ini.

Setelah itu, aku tidak memiliki hubungan sama sekali dengan keluarga ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel