Ringkasan
Setelah serangan brutal yang menghancurkan perguruan beladirinya, Arya Wisesa satu-satunya yang selamat bersumpah untuk membalaskan dendam dan menemukan sebuah kekuatan rahasia yang tersembunyi di balik kitab ilmu silat miliknya. Dalam pencariannya yang berbahaya, ia berhadapan dengan berbagai musuh dan tantangan. Sementara kekuatan dua pedang legendaris yang bisa mengubah tatanan dunia persilatan menunggu untuk ditemukan. Namun ketika Arya akhirnya berhasil menguasai kekuatan rahasia yang telah lama tersembunyi itu, ia dihadapkan pada pilihan yang akan menentukan nasib dunia persilatan.
Bab 001 - Serangan Mendadak
Malam hari yang dingin saat bulan bersinar terang-terangnya di atas lembah, gabungan para pendekar dari tiga perguruan itu berbaris menunggangi kuda mereka masing-masing hendak bergerak ke dalam hutan, mendekati sebuah padepokan milik perguruan silat bernama Srigala Putih. Sebelum serangan mendadak itu dilakukan, mereka pun terlebih dahulu bersiasat.
“Kali ini harus berhasil!” kata Bara Jagal, seorang pendekar kejam yang memimpin Perguruan Naga Api. “Bila perlu kita babat habis mereka semua, kalau Saka Dirga tak mau menyerahkan kitab ilmu silatnya itu!”
“Aku lebih senang Saka Dirga lenyap sekalian! Dan ini akan menjadi malam bagi kehancuran Srigala Putih!” sahut Ronggowelang, pemimpin dari Perguruan Harimau Hitam.
“Ha-ha-ha, aku sudah tidak sabar memenggal kepalanya dan mengaraknya ke alun-alun!” ujar Amukraga Kencana, pemimpin dari Perguruan Ular Merah.
Tiga aliansi perguran besar itu bersekongkol hendak menghancurkan Perguran Srigala Putih yang dipimpin oleh Saka Dirga. Ia merupakan seorang pendekar sakti yang mendirikan sebuah padepokan silat di sebuah lembah yang dikelilingi oleh hutan yang lebat. Mereka mengincar sebuah kitab ilmu silat yang konon menyimpan sebuah kekuatan rahasia yang tak tertandingi, yang bisa mengubah dunia persilatan.
Tiga puluh menit kemudian mereka sudah sampai di lokasi. Tampak para murid dari Saka Dirga sedang berlatih jurus-jurus silat di halaman padepokan. Sontak mereka langsung berhenti dan mematung sejenak, ketika sadar ada tamu yang datang ke padepokan mereka dengan membawa persenjataan lengkap. Mereka pun langsung siap siaga. Rasa cemas mulai muncul dan mereka merasakan ada niat yang tidak baik, yang hendak dilakukan oleh Bara Jagal dan sekutunya.
“Bagus! Rupanya dari hari ke hari muridmu semakin bertambah banyak saja Saka,” ucap Bara Jagal yang masih duduk di atas kudanya.
“Mau apa kau datang kemari, Bara Jagal?” tanya Saka Dirga waspada.
“Mencabut nyawamu, Saka Dirga!” jawab Bara Jagal penuh ejekan sambil tertawa lantang, diikuti oleh dua sekutu dan seluruh prajuritnya.
Seorang murid muda yang berdiri di samping Saka Dirga tampak geram. Ia mengepalkan kedua tangannya, dan menggertakkan rahangnya ketika mendengar gurunya diejek seperti itu.
“Hei, bangsat! Tutup mulutmu! Jangan seenaknya kau bicara! Berani-beraninya kau berkata seperti itu pada guruku!” bentak si murid muda yang merasa geram.
“Tenang Arya, tak perlu emosi,” kata sang guru mencoba menenangkan. “Biar aku yang menghadapi manusia laknat itu, jika dia berani berbuat macam-macam!”
Jelas, ejekan itu juga membuat para murid yang lainnya mulai geram. Wajah mereka tampak marah dan tak terima. Namun mereka baru akan bertindak jika sudah ada perintah dari Saka Dirga.
“Aih, galak sekali kau anak muda, siapa namamu? Cukup besar juga nyalimu tampaknya. Aku jadi tak sabar ingin mencoba kemampuanmu!” ucap Bara Jagal pada murid muda yang bernama Arya Wisesa itu.
“Dia bukan lawan yang seimbang untukmu, Bara Jagal!” kata Saka Dirga langsung pasang badan. “Jangan sampai kau berani macam-macam pada muridku!” tambahnya tegas.
Saka Dirga dan Bara Jagal sebenarnya adalah kawan yang dulu belajar di perguran yang sama. Mereka belajar silat dan ilmu kanuragan pada seorang guru sakti yang sama. Dan kini mereka telah mendirikan perguruan masing-masing. Namun karena dibakar oleh rasa iri dengki, Bara Jagal merasa ialah yang seharusnya berhak memegang kitab ilmu silat yang menyimpan kekuatan rahasia itu.
Namun pada waktu itu, sebelum meninggal sang guru lebih memercayakan kitab ilmu silat itu pada Saka Dirga untuk menyimpan dan menjaganya. Gurunya amat khawatir, kitab ilmu silat itu akan jatuh ke tangan orang yang salah, lalu kekuatannya akan disalahgunakan untuk kejahatan yang bisa membahayakan dunia persilatan.
“Kau tak usah banyak cingcong, Saka Dirga!” kata Amukraga Kencana ikut menyela. “Cepat berikan kitab ilmu silat itu pada kami, jika kau tak mau celaka!”
“Tidak akan kuberikan!” jawab Saka Dirga tegas.
“Oh begitu? Kau mau cari mati rupanya, hah?!”
“Lebih baik aku mati, daripada harus memberikan kitab ilmu silat ini pada kalian!” kata Saka Dirga tak merasa goyah dengan pendiriannya.
“Kurang ajar! Sepertinya dia hendak menantang kita!” ucap Ronggowelang, si pemimpin Perguruan Harimau Hitam yang memang berwatak tempramental. Ia sangat pemarah dan tak sabaran.
“Apa boleh buat, kau sendiri yang mengambil keputusan. Maka kau akan menanggung akibatnya, Saka Dirga!” ucap Bara Jagal penuh ancaman.
Para murid-murid Saka Dirga pun langsung sigap bersiaga sambil memasang kuda-kuda dan sudah ada yang menghunuskan pedang mereka. Menanti sebuah pertarungan yang tidak lama lagi akan segera terjadi. Beberapa murid yang lain pun sudah siap kalaupun mereka harus bertempur menggunakan tangan kosong, karena tak banyak senjata yang mereka miliki.
“Para pemanah! Bersiap-siap!” ucap Bara Jagal memberi aba-aba pada prajurit pemanah.
Tanpa basa-basi, setelah turun dari kudanya, Ronggowelang si pendekar berangasan itu langsung berlari menerjang ke depan mengawali serangan. Tanpa menghunuskan tombak panjang yang menjadi senjata andalannya pun, ia bisa dengan mudah mengalahkan murid-murid Saka Dirga yang dari segi kemampuan silat dan tenaga dalam memang masih di bawahnya. Ibarat ratu yang mempunyai pergerakan leluasa yang dengan mudahnya membabat pion-pion pada tiap-tiap petak di papan catur. Itulah yang ia lakukan. Menyerang dengan ganas dan tanpa ampun.
“Ha-ha-ha, dasar cecunguk-cecunguk yang tak berguna!” ucapnya sambil tertawa angkuh.
Hanya dengan sekali dua kali pukulan dan jurus-jurus sederhana, ia bisa menumbangkan murid-murid Saka Dirga yang mencoba menghadangnya. Ia cukup menggunakan sepertiga tenaga dalamnya saja untuk membuat lawan-lawannya itu terpental beberapa tombak jauhnya.
Pertarungan berlangsung sengit, lengan-lengan kuat dan kaki-kaki para pendekar itu beradu. Mereka saling mengadu jurus dan berusaha saling membunuh.
‘Tranggg … Trang ….!’
Bunyi pedang terus berdentangan ke seantero lembah. Memercikan api-api kecil ke udara dari bilah-bilah yang berlanggaran itu.
Pihak Saka Dirga berusaha menghadang dan melawan sekuat tenaga. Meski pada akhirnya satu persatu harus tumbang rubuh ke tanah. Dan dari mulut mereka keluar darah segar menggumpal kehitaman. Tidak salah lagi, mereka pasti terluka di dalam akibat hantaman Ronggowelang yang memiliki kekuatan tenaga dalam yang sangat dahsyat.
Belum habis dengan serangan yang dilakukan oleh Ronggowelang bersama para muridnya, kini giliran Amukraga Kencana yang menyerang menyerbu turun dari kudanya. Sebuah palu gada tergantung di punggungnya yang menjadi senjata andalannya. Itu bukanlah sebuah palu biasa, karena hanya dalam sekali hantaman saja, tubuh siapa pun yang terkana akan langsung remuk dengan seketika.
Sama seperti Ronggowelang, ia pun tidak cepat-cepat mengeluarkan senjata andalannya itu dan cukup hanya menggunakan tangan kosong saja. Dua tiga murid Saka Dirga pun langsung jatuh terkapar tak berdaya. Sekarang hanya tinggal Bara Jagal yang akan menyerang. Ia pun sudah siap dengan prajuritnya. Apalagi ia membawa divisi khusus, para pemanah yang sudah terlatih yang bisa dengan sekejap meluluhlantakkan murid-murid Saka Dirga. Tapi ia masih menahannya, dan sepertinya punya rencana lain.
Di lain sisi, pihak Saka Dirga makin terdesak dan mustahil mereka bisa memenangkan pertempuran. Dari segi prajurit pun jelas, pihak Perguruan Srigala Putih kalah jumlah.
Arya Wisesa yang merupakan murid muda yang paling menonjol terus berusaha menghalau para prajurit dari ketiga pemimpin perguruan bengis itu. Dua tiga orang berhasil ia jatuhkan, tapi bagaimanapun kekuatan ilmu silatnya masihlah belum terlalu tinggi. Lama kelamaan, tenaganya pun melemah dan ia mulai tak yakin bisa menghalau semua lawannya.
Apalagi jika harus berhadapan langsung dengan ketiga pemimpinnya. Ilmunya masihlah belum seimbang dan mustahil bisa mengalahkan ketiganya. Ia juga tidak mempunyai senjata andalan sebagaimana Bara Jagal, Ronggowelang, dan Amukraga Kencana. Yang ia punya hanyalah semangat dan tekad untuk mempertahankan perguruannya dari kehancuran.
Saat itulah Arya Wisesa dan perguruannya mulai berada dalam masalah besar.