Bab 19 Makan Siang Di Hutan
Bab 19 Makan Siang Di Hutan
Usai kuliah siang, Agnes menunggu Agung di parkir. Karena mata kuliah mereka tidak sama siang ini, Agnes terpaksa menunggu di antara terik matahari. Berteduh di bawah pohon-pohon pelindung dengan mata berbinar-binar. Sekali lagi ia akan makan bersama Agung dan kali ini benar-benar hanya berdua. Dengan tak sabar gadis itu melirik berkali-kali jam tangannya dengan hati berdendang riang.
Jantungnya gemetar ketika Agung akhirnya muncul dari ruang kuliah, berjalan dengan menyandang jaket denimnya di bahu. Rambutnya yang sedikit gondrong riap-riapan ditiup angin dari pohon beringin besar di depan kampus. Sungguh, pemandangan yang membuat jantung Agnes menggigil.
Agung tersenyum begitu mencapai gadis cantik yang menyambutnya dengan senyum sumringah. Senyum yang memberi efek dingin pada tubuhnya sehingga mampu merontokkan seluruh rasa panas dari tubuh Agung.
"Kenapa menunggunya di sini, panas kan?" tanya Agung, melindungi kepala Agnes yang tersiram cahaya matahari siang yang bersinar melalui sela-sela daun beringin dengan tangannya yang lebar.
Blush.
Perlakuan manis yang membuat Agnes merasa diperhatikan dan dilindungi. Rona merah menjalar dengan cepat ke pipinya yang putih. "Motor kamu di sini," jawabnya pelan, menunduk menghindari tatapan Agung yang membuat hatinya semakin gemetar.
"Ya sudah. Kalau begitu kita pergi sekarang?" tanya Agung. Agnes mengangguk dan tersenyum. Ia berdiri di sisi motor Agung, menunggu pemuda itu menghidupkan motor tuanya. Suaranya yang melengking membuat Agnes sedikit terkejut begitu si motor distarter.
"Kaget ya?" Agung menahan senyum ketika gadis cantik itu sedikit terlonjak karena lengkingan mesin motornya. Agnes tersenyum malu dan menggigit sudut bibir bawahnya saat Agung memberikan helm padanya. Membuat Agung gemas.
Sedikit kesulitan dengan helmnya, Agnes berusaha memasang penguncinya yang ternyata tidak seperti yang biasa ia gunakan. "Ah, maaf. Ini kuncinya pakai D-ring," ujar Agung, ia mengambil alih si helm membantu Agnes menguncinya dengan benar.
Tentu saja itu membuat jarak mereka menjadi sangat dekat, dan tangan Agung tanpa sengaja menyentuh bagian dagu Agnes. Membuat membuat gadis itu menahan nafas sementara darah memompa lebih cepat ke seluruh tubuhnya.
"Nah, selesai," ujar Agung seraya merapikan letak helm Agnes, memberinya senyum memabukkan. "Kamu pakai ini. Cuacanya panas, nanti hitam lho," guraunya, memberikan jaket denimnya pada Agnes.
Tangan Agnes panas dingin saat memakai jaket itu, membungkus tubuhnya dengan erat seolah dengan begitu wangi Agung akan ikut menempel di bajunya. Diam-diam ia menghirup wangi jaket Agung, tersenyum diam-diam saat naik di belakang Agung.
"Jangan lupa pegangan. Kamu kan jarang naik motor," pesan Agung saat ia merasakan Agnes sudah duduk manis di balik punggungnya. Dari kaca spion ia melirik gadis yang ternyata juga tengah memandangnya dari kaca yang sama.
Sama-sama tersenyum dengan wajah panas. "Berangkat?" tanya Agung. Agnes mengangguk.
"Pegangan," ujar Agung. Agnes lagi-lagi mengangguk, karena wangi rambut dan punggung Agung membuatnya kehilangan kata-kata. Ia seperti pecandu yang menghirupnya dalam-dalam dan menyimpannya di paru-paru untuk menemani setiap helaan nafas. Agung melirik tangan Agnes yang berpegangan di sisi kemejanya, mencekal si kemeja dengan ragu-ragu.
Tapi keraguan gadis itu sirna begitu mereka melewati jalan yang cukup ramai, motor Agung yang meliuk-liuk di antara kendaraan lain membuatnya mau tidak mau mencekal pinggang pemuda itu. Pipinya benar-benar panas saat merasakan helaan nafas Agung di telapak tangannya. Perutnya yang bergerak perlahan setiap helaan nafas justru membuat nafas Agnes sesak.
"Kita kemana Nes?" tanya Agung, di antara riuh suara mesin motor Kingnya.
"Jiwajawi saja, Gung. Tidak terlalu jauh," jawab Agnes, sedikit mengeraskan suara agar Agung bisa mendengarnya. "Dan lagi di sana suasananya enak, teduh," sambungnya.
Agung mengangguk, setuju dengan pilihan Agnes. Tidak ada tempat terbaik di cuaca panas begini selain restoran dengan konsep hutan itu. Mereka bisa menikmati hembusan angin sembari menikmati makanan.
Agung memasuki gerbang berbentuk tiga lingkaran spiral itu, memarkir motornya di bagian yang terlindung oleh pepohonan agar tidak kepanasan. Memasuki joglo dan lurus ke belakang, mereka memilih duduk di pelataran di antara pohon-pohon. Agnes memandang Agung untuk menentukan pilihan tempat duduk.
Mereka duduk di sebuah meja yang terbuat dari tembok. Sangat dekat dengan pepohonan, sehingga udara segar membuai keduanya. Agnes memejamkan mata dan menikmati udara segar di sekitarnya.
"Segar ya?" Agung yang duduk di hadapannya tersenyum, gadis itu membuka mata dan mengangguk senang.
"Maaf, aku membuatmu kepanasan ya sepanjang perjalanan," ujar Agung dengan wajah bersalah. Agnes tertawa.
"Aku justru senang sekali. Bisa menikmati angin sepanjang perjalanan," ujarnya riang. ‘Yang paling penting bisa memelukmu dan menghirup wangimu,’ sambung Agnes dalam hati. Agung tersenyum.
"Kamu pesan dulu ya, apa saja aku ikut. Mau ke toilet sebentar," Agung bangkit dan berjalan menuju toilet. Agnes menatap punggungnya yang lebar dengan bibir tak henti tersenyum. Punggung yang sepanjang perjalanan puas rasanya ia dekap. Punggung kokoh yang entah bagaimana bisa membuatnya merasa dilindungi.
Dalam perjalanan kembali dari toilet, Agung mengusap-usap pinggang dan perutnya. Bagian yang sepanjang perjalanan dipeluk Agnes. Rasanya nyaman, pikir Agung. Tersenyum sendiri dalam perjalanannya kembali ke meja di mana Agnes menunggu dengan senyum yang sama bahagianya.
"Kamu sudah memesan sesuatu?" tanya Agung begitu duduk kembali di hadapan Agnes.
"Iya, sudah. Itu sudah datang," ia menunjuk beberapa pramusaji mengantarkan makanan mereka.
"Ini, iga yang dimasak dengan bumbu rujak," Agnes mengulurkan piring yang terlihat penuh itu pada Agung. "Dan ini, pepes ikan kemangi serta rawon. Kamu yang lebih dulu memilih mau menu yang mana," ujarnya kemudian.
Tapi Agung menggeleng. "Sama-sama saja, kita cicip semua," ujarnya. Pilihan yang memang diharapkan Agnes. Gadis itu lalu mengambil piring Agung dan mengisinya dengan nasi.
"Jangan terlalu banyak," ucap Agung ketika Agnes menambahkan lagi nasinya.
"Kenapa? Kamu sedang diet?" goda Agnes. Agung menggeleng dalam tawa.
"Tidak, bukan begitu. Sesak saja kalau terlalu banyak makan," cengirnya kemudian. "Tapi memang agak mengurangi," lanjutnya.
"Benar-benar takut gemuk?"
"Bukan takut, tapi tidak ingin tepatnya," kilah Agung. Agnes tertawa kecil.
"Sama saja, Agung," dengan gemas ia meletakkan sepotong ikan di piring Agung disusulkan dengan sepotong iga kecil.
"Tapi kamu gemuk pun aku masih tetap menyukaimu, jangan khawatir," cetus Agnes, matanya menatap iris gelap Agung yang memindahkan pandangannya dari tangan Agnes yang memegang sendok ke wajahnya yang berhias senyum. Bibirnya sangat menarik perhatian Agung, menggetarkan hatinya lebih kuat dari biasanya.
‘Dia ganti lipstick ya?’ batin Agung tersenyum.
"Ayo, senyum sendiri. Aku tidak diajak?" Agnes mengulurkan minuman pada Agung.
"Jangan hanya aku," Agung mengambil sepotong daging ikan dari piringnya. "Kamu juga makan," sambungnya, seraya menyuapkan potongan itu pada Agnes. Gadis yang tidak menyangka akan disuapi membuka mulutnya dan mengunyah dengan sangat perlahan.
Bahkan jika saja ikan yang disuapi Agung itu disusupi sebuah tulang kecil yang mungkin saja akan tersangkut di kerongkongannya, Agnes akan tetap bahagia. Tidak rela rasanya ia menelan potongan ikan itu, mengingat itu adalah suapan pertama dari Agung setelah dua tahun lebih memendam rasa.
"Enakkan?" tanya Agnes setelah potongan kecil itu lolos ke ususnya dan memperhatikan Agung menyuap makanannya. Pemuda itu mengangguk pelan.
"Kalau diperhatikan terus aku bisa tersedak lho," gurau Agung, Agnes menunduk dan kembali pada makanannya. Bibirnya tak henti tersenyum dan sesekali melirik Agung.
"Tambah lagi lukisanmu untuk Cukar," ujar Agnes setelah mereka menghabiskan seluruh makanan di meja. Ia terkekeh saat Agung yang kepedasan buru-buru mengambil minumannya. Nyaris tersedak.
"Aduh, kamu kenapa? Sini," ia meraih tisu dan menjangkau dagu Agung yang sedikit dialiri air minumnya. Menghapusnya dengan lembut. "Hati-hatinya makanya."
"Iganya terlalu pedas," ujar Agung dengan wajah merah, antara kepedasan dan malu. ‘Mau minum saja pakai tersedak,’ gerutu Agung dalam hati.
"Kamu makannya terakhir tanpa nasi, jadi pedasnya lebih menggigit," ujar Agnes. Ia mengambil dessert di sudut meja. "Ini," menyuapi Agung dengan tangan sedikit bergetar.
*Bersambung*
