Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BERUBAH

Waktu operasional kerja sudah di mulai. Suasana hati Jihan masih saja buruk. Ia bingung harus melakukan apa ke depannya. Rumah tangga yang sudah tujuh tahun dibina, bahkan demi Danu ia rela melakukan apa saja agar tetap selalu bersama Danu.

Mendengar penuturan Danu semalam yang mengatakan jikalau dirinya sudah menikah lagi tanpa sepengetahuan dirinya menghancurkan dan memporak-porandakan hatinya, sakit dan kecewa yang kini melebur menjadi satu.

Dalam bekerja, Jihan terus saja tidak fokus berulang kali ia salah dalam membuat laporan. Dan entah harus berapa kali Jihan mengulangi membenarkan angka-angka yang keliru itu. Jihan mengeram kesal.

“Dewi! kemarilah!” Jihan melambaikan tangan menyuruh Amel untuk mendekati dirinya.

Dewi tanpa membantah berjalan menuju meja Jihan. Ia langsung duduk berhadapan dengan Jihan.

“Ada apa Mbak?” ujar Dewi.

Jihan yang sedang memfokuskan mata pada komputer dan tangan yang tak berhenti bermain di atas keyboard. Seketika langsung menatap tajam pada Dewi. Dewi yang baru pertama kali ditatap seperti itu membuat dirinya takut.

“Kamu yang sopan kalau memanggil saya. Ini di Kantor! Jika di luar kantor terserah mau panggil saya apa!" sentak Jihan dan sukses membuat Dewi kaget.

Dewi yang masih bingung dengan perubahan Jihan yang hanya terjadi sehari, membuat otaknya bingung, heran sekaligus tak percaya. Kemarin, Jihan masih baik-baik saja bahkan seharian terus tersenyum senang dan masih sempat bercanda dengan dirinya.

‘Ada apa dengan Mbak Jihan? Bukankah kemarin ia baik-baik saja? Kenapa hari ini terlihat berbeda,’ batin Dewi tak percaya.

“Kamu jangan berpikir hal yang aneh-aneh tentang saya. Saya benci orang yang munafik! Baik di depan tapi di belakang main tikung!” ujar Jihan tak kalah sengit dengan perkataan tadi, bahkan perkataan Jihan membuat Dewi merasa tak enak sebab Jihan mampu membaca pikirannya.

Dewi hanya bisa mengiyakan interupsi dari Jihan. Dengan berbagai macam pertanyaan yang tidak bisa ia dapatkan jawabannya.

“Eh, Mbak, eh maksud saya ada apa Bu Jihan memanggil saya?” tanya Dewi begitu hati-hati, dirinya tadi di panggil dan disuruh mendekat setelah mendekat Jihan malah marah-marah karena memanggil Mbak bukan Bu atau Ibu.

“Kerjakan tugas saya! Saya mau tidur!”

“Apa?! Maksud Bu Jihan apa?”

“Apa kamu tidak mengerti dengan apa yang baru saja saya katakan?” ucapan Jihan meninggi hingga membuat karyawan lain mendengar suara Jihan.

“Saya ... saya.”

“Di sini saya yang berkuasa! Jadi dengar dan laksanakan perintah saya!” tegas Jihan.

“Tapi, Bu, bagaimana dengan pekerjaan saya, jika saya harus mengerjakan yang seharusnya Ibu kerjakan?”

“Bodo amat! Saya tidak mau tahu. Kamu punya otakkan? Pakai dong!”

Dengan tak punya perasaannya, Jihan meninggalkan Amel yang masih mematung. Dewi belum paham mengapa Jihan berubah secepat itu. Saat netra Dewi melihat ke arah Jihan, ia sudah tertidur di Sofa dengan posisi duduk dan kedua kaki ia angkat dan diletakkan di atas meja.

***

Danu berulang-ulang menghubungi nomor Jihan. Hasilnya, tak jua ada respons. Di kirim pesan hanya di read saja dan saat ditelepon ditolak terus. Danu mengusap kasar wajahnya lalu berteriak hingga suara teriakannya terdengar ke luar ruangannya.

“Jihan, kenapa kamu begini? Kita harus menyelesaikan ini semua,” gumam Danu saat dirinya mencoba untuk yang kesekian kalinya menghubungi nomor Jihan.

Di tengah kekesalan bercampur rasa khawatir karena Jihan seolah-olah menjauh darinya. Handphone miliknya berdering dan tertulis nama My Wife yang tak lain Firna.

Danu mencoba untuk menenangkan pikirannya, dengan menarik napas dalam-dalam dan membuangnya lewat mulut. Setelah merasa sedikit lega Danu menggeser tombol berwarna hijau.

“Halo, Assalamu’alaikum,” sapa Danu pada Firna.

[“Waalaikumsalam, Mas. Mas apa yang kau katakan lewat pesan itu sungguhan? Jika Jihan sudah mengetahui pernikahan kita?”] tanya Firna dan terdengar nada keingintahuan.

Danu mendesah pelan. “Iya, itu benar dan Jihan marah pada Mas,” jawab Danu begitu lemas.

[“Lalu apa yang harus kita lakukan? Tidak mungkin terus dibiarkan saja ‘kan?”]

“Entahlah, Mas juga bingung. Mas ingin bicara baik-baik dengannya dengan pikiran dingin dan terbuka, menjelaskan semuanya. Setelah Mas menjelaskan semua, Mas serahkan pada Jihan apa dia tetap mau dimadu atau sebaliknya.”

[“Jika aku berada di posisi Jihan, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama, marah,”] timpal Firna.

“Sudahlah, biar ini jadi urusan Mas. Kamu jangan terlalu banyak pikiran, kasihan baby kita,” cemas Danu mengkhawatirkan Firna dan anaknya yang masih ada dalam kandungan Firna.

[“Kau benar, Mas. Maaf aku tidak bisa membantu menyelesaikan masalah Mas dengan Jihan.”]

“Iya, ya udah, Mas tutup dulu teleponnya. Mas mau lanjut kerja.”

[“Iya, Assalamu’a alaikum.”]

“Wa’alaikumsalam.”

Sambungan telepon pun terputus. Danu meletakkan handphone ke dalam saku. Setelah itu Danu memijat pangkal hidungnya yang terasa berdenyut.

“Jihan... Jihan.”

Danu terus saja mengulang memanggil nama Jihan. Seraya memejamkan kedua matanya dan menyenderkan punggung ke senderan kursi kebesarannya.

Jika diingat ulang, tak ada yang salah dengan Jihan. Danu dari awal kenal Jihan sudah menaruh hati. Ia kenal Jihan saat mereka berada di satu gedung kuliah yang sama, tapi berbeda enam tingkat. Dulu, di mata Danu Jihan wanita yang berbeda. Ia sederhana, gigih serta saat wanita lain berlomba-lomba memperlihatkan kecantikannya dengan mekap tebal , itu tidak berlaku untuk Jihan.

Namun, semakin ke sini Danu lihat ada perubahan pada Jihan. Suka berdandan, sering berolahraga demi menurunkan berat badan menjadi ideal. Dan tentunya terlihat semakin cantik apa lagi ditambah polesan mekap.

Setelah ia telusuri, ternyata Jihan tidak percaya dengan penampilannya. Jihan juga ingin terlihat pantas bila disandingkan dengan dirinya. Hal tersebut membuat Danu terharu hingga dengan yakin Danu memilih Jihan sebagai istrinya. Mereka menikah saat Danu lulus kuliah.

Mengingat masa lalu membuat Danu semakin mencemaskan Jihan. Danu pun kembali mengirim pesan singkat ke nomor Jihan.

[ Tolong jangan marah, aku tunggu kamu di rumah, mari kita pelurus hubungan kita]

Satu pesan terkirim. Danu harap Jihan membacanya dan mau menunggunya di rumah saat dirinya pulang nanti.

“Aku harap setelah masalah di antara kita selesai, kamu mau memaafkan aku. Dan mulai hidup baru, hidup berdampingan dengan madumu, Firna,” gumam Danu.

Sementara itu, di tempat berbeda Jihan terlihat tertawa hambar. Saat dirinya usai membaca pesan dari Danu. Jihan benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Danu.

Menikah lagi disaat istri pertama masih hidup. Kalau pun ingin menikah lagi, bukan seperti ini konsepnya. Jika seperti ini, sama saja Danu tidak berbuat adil. Dan lebih menyakitkan bagi Jihan, Danu sama sekali tidak meminta izin padanya. Jihan merasa sudah tak dihargai lagi sebagai seorang istri.

"Kalian tega sama aku, maka aku pun akan tega sama kalian."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel