Bab 7
Pukul tiga sore, Sherin baru keluar dari kelas. Hari ini Sherin ada dua kelas yang harus diikuti. Namun, karena salah satu dosennya sedang berhalangan, maka hanya satu kelas saja yang Sherin ikuti.
Karena tak ada kegiatan lain di kampus, Sherin pun berniat langsung pulang. Saat sampai di gerbang, Sherin melihat kedua sahabatnya juga si kembar Vano dan Vian. Dan rupanya, mereka menunggu Sherin.
"Kalian pulang duluan saja. Aku bisa naik taksi," ucap Sherin langsung setelah berada di hadapan mereka.
"Tidak. Kamu harus ikut dengan kami, Sherin," ucap Vian. Alis Sherin berkerut mendengar itu.
"Papa yang meminta kami membawamu ke rumah. Katanya, ada titipan dari seseorang untukmu. Orang itu menitipkannya pada Papa," jelas Vano. Sherin diam termenung mendengar itu. Apakah titipan itu dari ayahnya?
"Ayo, Sherin. Papaku sudah menunggu dari tadi," ajak Vano. Sherin mengangguk dan masuk ke dalam mobil si kembar. Duduk di tengah-tengah, bersama dua sahabatnya. Sherin penasaran, ingin tahu titipan dari siapa. Tapi Sherin curiga itu dari ayahnya. Biarlah jika itu benar. Sherin ingin melihat sepeduli apa ayahnya.
Setelah sampai di rumah Revan, mereka langsung turun dari mobil. Masuk ke dalam rumah, dan Vano menyuruh Sherin menemui ayahnya yang sudah menunggu sejak tadi di ruang keluarga. Revan meminta mereka berempat untuk pergi, karena ini urusan pribadi Sherin. Namun karena penasaran, akhirnya mereka mengintip di balik tembok.
"Vano bilang ada titipan dari seseorang untukku, Om," ucap Sherin setelah dia duduk di hadapan Revan. Revan mengangguk pelan, lalu menyerahkan sebuah amplop coklat pada Sherin.
"Dari ayahmu. Saat ibu tirimu pergi, ayahmu menitipkan ini pada ibuku," jawab Revan. Penasaran, Sherin pun langsung membukanya. Rupanya, isinya adalah uang dengan jumlah yang cukup banyak. Bukan hanya itu, ada sebuah surat juga. Sherin mengambil surat tersebut dan membaca tulisan tangan yang tertulis di atasnya.
Sherin, anakku. Maafkan ayahmu ini yang pengecut. Sampai melupakan darah daging sendiri dan mementingkan anak orang lain. Maaf jika Papa sudah menghancurkan hidupmu. Maafkan Papa.
Papa tahu kamu membenci Papa. Tak masalah, karena Papa memang pantas kamu benci. Maaf Papa tak bisa menjamin hidupmu bahagia atau tidak. Maaf juga Papa tak bisa banyak memberi untukmu. Hanya ini saja yang bisa Papa berikan untukmu.
Sherin tersenyum sinis membacanya. Kemudian menutup surat itu dengan penuh rasa kecewa. Kenapa ayahnya seperti ini? Benar-benar tak ada rasa tanggung jawab untuk anak kandungnya sendiri.
"Sherin, ayahmu memang memiliki sebuah usaha. Dan usaha ayahmu berkembang pesat karena bantuan dan dukungan dari keluarga ibu tirimu. Mungkin itu alasan baginya tak bisa bebas memberimu uang maupun hal lainnya. Bisa saja ayahmu lepas dari ibu tirimu agar bebas menemuimu. Tapi, mungkin ayahmu tak sanggup kehilangan semua kemewahan yang sedang dirasakan," jelas Revan. Sherin terdiam dengan kepala menunduk. Pahit menerima semua fakta ini. Rasanya sangat sakit. Tapi, mau tak mau Sherin harus menerima kenyataan. Ayahnya terlalu takut hidup susah jika bercerai dari Mawar.
"Terima kasih, Om. Mungkin, aku memang harus pasrah saja. Papa sudah nyaman dengan kehidupannya sekarang. Biarlah. Semoga saja hidupku lebih baik lagi tanpa bantuan darinya," ucap Sherin. Dia memasukkan uang dalam amplop coklat itu ke dalam tasnya. Tak lupa, dengan suratnya.
Di balik tembok, empat remaja yang mencuri dengar terdiam saat tahu apa yang dibahas Revan dan Sherin. Novi dan Renata ikut sedih mendengar penuturan Revan tentang ayah Sherin tadi. Sedangkan Vano dan Vian, mengucapkan syukur dalam hati karena memiliki ayah yang bijak dan tidak egois. Hingga kehidupan mereka masih aman dan baik sampai sekarang.
"Mau pulang sekarang?" Revan bertanya. Sherin tersenyum kecil dan mengangguk.
"Iya, Om. Aku ada janji dengan teman." Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan, Sherin pun pergi dari sana. Dia terkejut saat melihat dua sahabatnya dan juga si kembar sedang berdiri di balik tembok.
"Janji dengan teman? Teman yang mana?" tanya Renata langsung.
"Kalian mendengarkan?" tanya Sherin.
"Cuma sedikit. Bagian saat kamu berkata akan pulang saja," jawab Novi berbohong.
"Teman sesama penulis. Mau bahas masalah penerbitan," jawab Sherin.
"Jadi, mau pergi sekarang?" tanya Novi. Sherin mengangguk.
"Ya udah. Hati-hati di jalan. Jangan banyak melamun," ucap Novi. Sherin mengangguk dan segera pergi dari sana.
***
Pukul delapan malam, Revan baru keluar dari sebuah kedai kopi. Dia baru saja bertemu dengan sepupu jauhnya. Karena sepupunya tersebut tidak menginap, Revan pun mengajaknya untuk berbincang sebentar di sebuah kedai kopi.
Pukul delapan malam, sepupu Revan pamit untuk pulang. Revan pun masuk ke dalam mobil untuk pulang juga. Namun, belum juga dia menghidupkan mesin mobil, Revan melihat Sherin keluar dari kedai kopi tersebut berdua dengan seorang pemuda. Entah kenapa, Revan malah memperhatikan mereka.
Revan pikir, Sherin akan diantar pulang oleh pemuda itu. Tapi ternyata tidak. Setelah pemuda itu pergi dengan motornya, Sherin berjalan menyusuri trotoar sendirian di malam hari.
"Nekat sekali," gumam Revan. Seorang gadis berjalan sendirian saat malam hari, sangat rentan menjadi korban kejahatan. Akhirnya, Revan pun berniat mengajak Sherin ke mobilnya dan mengantarkan gadis itu.
Saat turun dari mobil, Revan melihat Sherin masuk ke sebuah jalan sempit di samping kedai. Seingat Revan, itu bukanlah jalan menuju kosan gadis itu. Karena jalurnya pun berbeda. Penasaran, akhirnya Revan mengikuti Sherin.
Jalan yang sempit dan gelap, tak ada lampu jalan di sana. Revan bisa melihat Sherin yang berjalan beberapa meter di depannya. Penasaran, mau kemana gadis itu hingga masuk ke jalan yang sempit dan gelap ini.
Langkah Revan terhenti, saat Sherin juga berhenti. Sherin terlihat membuka ponselnya. Revan jadi bertanya-tanya. Apa mungkin Sherin janjian dengan seseorang di sana?
"Wah, sudah datang rupanya." Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari arah depan Sherin. Sherin pun terlihat terkejut saat laki-laki itu datang.
"Mana ibuku? Kenapa kau yang ada di sini?" Sherin bertanya pada pemuda itu. Revan masih mengamati dari jauh. Pakaiannya yang serba hitam membuatnya bisa bersembunyi dengan baik.
"Kau tak berubah rupanya. Masih bodoh seperti dulu." Pemuda itu berkata dengan senyuman mengejek. Kemudian, pria itu memperlihatkan ponselnya pada Sherin yang terkejut.
"Pintar dikit dong. Masa iya seorang ibu ngajak anaknya ketemuan di tempat begini?" Sherin terkejut dan mundur beberapa melangkah. Sial. Dia tertipu.
"Sialan. Kau memang anak iblis," cerca Sherin marah. Pemuda tersebut menatap Sherin nyalang dan langsung mendorong tubuh Sherin ke dinding. Tangannya meraih leher Sherin, dan mencekiknya.
"Anak iblis kau bilang? Oke. Akan kuperlihatkan bagaimana anak iblis ini berulah." Tanpa aba-aba, pemuda tersebut menarik baju Sherin dengan kuat, hingga kancingnya terlepas semua. Sherin berusaha melepaskan cekikan pemuda tersebut karena dia mulai kesusahan bernafas. Kakinya berusaha menendang, namun tak sampai pada tubuh si pemuda.
"Wah. Tak kusangka aku memiliki adik tiri secantik dirimu. Harusnya aku melakukan ini padamu sejak dulu." Ucapnya dengan kurang ajar. Saat tangannya hendak menyentuh dada Sherin, tubuhnya langsung terlempar ke samping dengan kuat. Dia mengerang kesakitan, namun tak bisa melawan saat telapak tangannya diinjak dengan kuat. Pemuda itu tak dibiarkan melihat lawannya, saat kepalanya langsung dibenturkan dengan keras pada jalanan.
Revan, sang pelaku yang menyelamatkan Sherin memastikan pemuda tersebut sudah tak sadar. Lalu dia melepaskan jasnya dan memakaikannya pada Sherin yang terduduk lemas di dekat tembok. Revan menggendong Sherin, yang tak sadarkan diri karena cekikan pemuda tadi. Revan bahkan bisa melihat leher Sherin yang memerah.
"Nasibmu memang kurang baik," ucap Revan. Dia segera membawa Sherin pergi dari sana. Membiarkan si pemuda yang tergeletak tak sadarkan diri.