Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3: JERAT NAFSU DAN KENANGAN BAYANG-BAYANG

Pesan itu datang bukan melalui pelayan, melainkan lewat sebuah benda. Sebuah giok hijau kecil yang diukir menyerupai naga, dingin dan licin di telapak tangan Keke, diselipkan di antara lipatan bantalnya. Itu adalah tanda dari Lushang. Sebuah panggilan yang tidak bisa ditolak. Malam ini, tempatnya bukan lagi gudang atau ruang rahasia, tetapi sebuah paviliun terpencil di tengah danau istana, tempat yang bahkan Weilong pun tidak sering kunjungi.

Jantung Keke berdebar kencang, bukan dengan antisipasi, tetapi dengan kecemasan yang semakin dalam. Setiap pertemuan dengan Lushang meninggalkan rasa hina yang lebih menyengat, sebuah noda yang tidak bisa sepenuhnya dicuci. Namun, di balik itu semua, ada bagian dirinya—bagian yang gelap dan terasing—yang mulai mati rasa bahkan terpancing oleh bahaya dan kekuatan mutlak yang dipertaruhkan. Itulah yang paling membuatnya takut.

Dia menyelinap keluar, bayangannya menyusuri dinding marmer yang diterangi bulan. Setiap suara—decit kelelawar, desir daun—membuatnya melompat. Paviliun itu muncul dari kabut tipis, seperti ilusi, dihubungkan ke daratan oleh jembatan kayu yang sempit.

Lushang sudah ada di dalam. Kali ini, ruangannya lebih terbuka, hampir tidak ada perlindungan. Tirai sutra tipis diterpa angin malam, menari-nari seperti hantu. Dia berdiri di dekat pagar, menatap air yang hitam, mengenakan jubah brokat hitam yang membuatnya menyatu dengan bayangan.

“Kau datang,” ucapnya tanpa menoleh. Suaranya lebih dalam dari biasanya, sarat dengan sesuatu yang tidak bisa Keke tempatkan—kebosanan, atau mungkin tantangan.

“Yang Mulia memanggil,” jawab Keke, membungkuk, suaranya hampir hilang tertiup angin.

Lushang akhirnya berbalik. Matanya, biasanya penuh dengan rasa lapar yang langsung, kali ini tampak mengamati, seperti predator yang mempelajari mangsanya sebelum menerkam. “Weilong pergi berburu rusa di hutan utara. Kau tahu itu?”

Keke mengangguk pelan. Weilong telah berpamitan dengannya pagi itu, ciumannya masih terasa hangat di dahinya. “Ya, Yang Mulia.”

“Bagus.” Lushang mendekat, langkahnya senyap dan penuh ancaman. “Itu artinya kita tidak akan terganggu. Bahkan oleh hantu di kepalamu.”

Dia tidak menyentuhnya. Dia hanya berjalan mengelilinginya, seperti mengenali kembali sebuah patung yang dimilikinya. “Pakaianmu… biru. Warna kesukaannya, bukan? Warna yang menenangkan. Tidak sepertiku. Aku lebih suka merah. Api. Darah. Gairah yang tidak bisa disembunyikan.”

Setiap katanya seperti sabetan. Keke menunduk, mencoba mengontrol napasnya.

“Angkat kepalamu,” perintah Lushang tiba-tiba, suaranya keras memecah kesunyian malam.

Keke mematuhi. Matanya bertemu dengan mata Lushang, dan di dalamnya, dia melihat pantulan bulan—dingin dan jauh.

“Kau mencintainya?” tanya Lushang tiba-tiba, pertanyaan yang seperti sebuah tamparan.

Keke terkesiap. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar. Berkata ya adalah pengkhianatan terhadap Lushang. Berkata tidak adalah pengkhianatan terhadap hatinya sendiri.

Lushang tertawa, suara rendah yang getir. “Lihat? Kau bahkan tidak bisa berbohong padaku. Itu bagus. Aku membenci kebohongan yang mudah. Konflik itu… lebih jujur.”

Akhirnya, dia menyentuh. Bukan meraih, tapi menyapukan punggung jarinya di sepanjang garis rahang Keke. Sentuhannya ringan, hampir seperti belaian, tapi Keke gemetar hebat.

“Dia menyentuhmu seperti ini?” bisik Lushang, mendekatkan wajahnya. Nafasnya hangat di kulitnya. “Dengan penuh hormat? Seolah-olah kau adalah kaca yang mudah pecah?”

Tangannya tiba-tiba bergerak, meremas pundak Keke dengan kuat, membuatnya mendesah kesakitan. “Atau seperti ini?” desisnya, sekarang penuh dengan intensitas yang mengerikan. “Dia mencintaimu, tapi apakah dia memiliki-mu? Seperti aku memilikimu? Apakah dia tahu setiap desis nafasmu saat kau takut? Setiap getaran tubuhmu saat kau berada di tepian?”

Dia mendorong Keke ke balik tirai, ke dalam ruangan paviliun yang lebih gelap, di mana sebuah permadani tebal dan bantal-bantal sutra sudah disiapkan. Cahaya bulan menyaring melalui tirai, menerangi bagian-bagian tubuh mereka secara tidak merata.

“Jawab aku,” geram Lushang, menindihnya, tangan kasar membuka ikatan dudou-nya. “Saat kau ada di pelukannya, apakah kau membayangkan ini? Apakah kau membayangkan kekasaran yang membuatmu merasa hidup? Atau kau hanya berbaring seperti ikan mati, memainkan peran selir yang sempurna?”

Keke memalingkan wajahnya, air mata akhirnya meluber, membasahi bantal sutra. “Tolong…”

“Tolong?” Lushang mengejek, tapi ada nada kemenangan dalam suaranya. Ini yang dia inginkan—untuk memecahnya, untuk membuktikan bahwa di bawah semua kesopanan dan kelembutan yang dipelajari, dia adalah binatang yang sama seperti dirinya. “Kau tidak meminta tolong padanya. Kau meminta tolong padaku. Karena hanya aku yang bisa memberimu ini. Hanya aku yang melihat kekacauan di dalam dirimu yang kau sembunyikan darinya.”

Pertemuannya malam itu berbeda. Lebih kejam, lebih psikologis, dan lebih dalam. Lushang sepertinya tidak hanya ingin tubuhnya, tetapi juga pengakuannya—pengakuan bahwa hubungan terlarang ini telah mengubahnya, mengotori sesuatu yang murni dalam dirinya. Setiap sentuhan, setiap ciuman paksa, setiap bisikan keras di telinganya adalah klaim atas tidak hanya fisiknya, tetapi juga jiwanya.

Dia memaksanya untuk mengatakannya—bahwa dia milik Kaisar. Bahwa kekasaran ini, rasa sakit yang memabukkan ini, adalah kebenaran yang lebih dalam daripada kelembutan Weilong. Dan dalam keadaan terpaksa dan kebingungan, Keke pun mengatakannya, suaranya parau dan hancur, menambah lapisan rasa malu yang baru.

Saat Lushang akhirnya puas, dia membiarkan Keke tergeletak lemas, tubuhnya dipenuhi bekas-bekas kenangan malam ini. Dia berdiri dan merapikan jubahnya, kembali menjadi Kaisar yang dingin.

“Pergilah,” katanya tanpa menoleh. “Mandilah. Jangan biarkan dia mencium air matamu.”

Keke bergegas mengenakan pakaiannya, kainnya terasa seperti kain kasar di atas kulitnya yang sensitif. Dia berlari melewati jembatan kayu, air matanya mengaburkan penglihatannya. Rasa bersalah dan kebencian terhadap dirinya sendiri menyelimutinya seperti kabut.

Dia kembali ke kamarnya, kamar yang dia bagikan dengan Weilong. Ruangan itu terasa begitu sunyi, begitu kosong tanpa kehadirannya. Dia mengunci pintu dan merosot di lantai, tubuhnya diguncang oleh isak tangis yang hening. Dia menggosok kulitnya sampai merah, tetapi kali ini, rasanya nodanya ada di dalam, bukan di luar.

Dia melihat sekeliling kamar—kuas kaligrafi Weilong, buku-buku strateginya, jubahnya yang terlipat rapi. Setiap benda adalah pengingat akan cinta dan kepercayaan yang dia khianati. Dia membayangkan wajah Weilong, tatapan hangatnya, dan hancur karena mengetahui bahwa hanya beberapa jam sebelumnya, dia telah menjerit nama ayahnya dalam nafsu yang dipaksakan.

Keke tidak bisa tidur. Dia duduk di dekat jendela, menatap bulan yang sama yang menyaksikan kehancurannya. Pertanyaan Lushang bergema di kepalanya: "Apakah kau mencintainya?"

Jawabannya, yang datang dari tempat yang paling dalam dan terluka dalam jiwanya, adalah ya. Dia mencintai Weilong. Dia mencintai kebaikannya, kekuatannya yang tenang, dan cara dia memperlakukannya seperti seorang manusia, bukan sebuah objek.

Tapi jawaban lainnya, yang datang dari tempat yang gelap dan takut, adalah bahwa dia juga terpikat oleh kekuatan mutlak Lushang. Dia membenci dirinya sendiri karenanya, tetapi dia tidak bisa menyangkal bahwa ada bagian dirinya yang terpancing oleh bahaya, oleh kekuatan yang begitu besar sehingga bisa mengangkatnya dari abu dan menghancurkannya dalam sekejap.

Dia terjebak. Terjebak antara dua penguasa, antara cinta dan nafsu, antara terang dan bayangan. Dan malam itu, sendirian di kamarnya yang mewah, Keke menyadari dengan rasa ngeri bahwa dia tidak hanya kehilangan kemurniannya—dia mulai kehilangan dirinya sendiri. Perbatasan antara peran yang dia mainkan dan wanita yang sebenarnya mulai kabur, dan dia takut bahwa soon, tidak akan ada yang tersisa selain bayangan yang terdistorsi, terperangkap selamanya dalam jerat nafsu dan kenangan yang menghantui.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel