Jatuh Dalam Pesona
“Sam?” Nadia menatap ragu-ragu. Matanya sampai memicing demi memastikan penglihatannya. Dia sudah tidak mabuk, ‘kan?
Pria di hadapannya ini memang mirip dengan seseorang yang dia kenal di masa lalu. Seseorang yang pernah begitu berarti dalam hidupnya.
Kala itu, Nadia belum mengerti apa-apa. Dia hanyalah seorang remaja belasan tahun yang baru saja mencecap manisnya rasa cinta.
Sam pernah membuat hatinya jatuh begitu dalam dan patah di saat yang bersamaan. Ketika Nadia berharap bahwa segala perhatian yang Sam berikan padanya adalah sebuah ketulusan, ternyata laki-laki itu hanya menggunakannya sebagai bahan taruhan dengan teman-teman sekelasnya.
Setelah sekian tahun berlalu mereka tak lagi bertemu, ternyata pria itu tak banyak berubah. Dia masih Sam yang dulu, lelaki pemilik senyum mematikan yang mampu membuat lawan jenisnya jatuh dalam pesona.
Hanya saja, sekarang Sam tampak lebih tinggi, dengan otot-otot yang tumbuh begitu pas di tubuhnya. Membuat pria itu terlihat lebih maskulin dan ... oh, tentu saja tampan!
Nadia sampai harus menarik napas dalam berkali-kali hanya untuk menyadarkan dirinya dari berbagai macam fantasi liar yang saat ini sedang memenuhi kepalanya.
Astaga, pasti di tubuh Nadia masih tersisa beberapa persen alkohol. Karna itulah dia tak bisa berpikir jernih sekarang.
Nadia perlu mandi, dan mencuci rambutnya. Tapi, dia masih harus berurusan dengan pria itu.
Samuel Widjaya
Dan pria brengsek itu kini sedang berdiri di hadapannya dengan sudut bibir tersenyum, seolah menertawakan reaksi Nadia saat melihatnya.
Persis seperti apa yang Sam lakukan bertahun-tahun lalu. Menertawakan kebodohan Nadia yang percaya begitu saja dengan kata-kata manisnya.
“Ngapain kamu di sini?!”
“Saved your life,” sahut Sam enteng, sambil bersedekap menatap ke arah Nadia.
“Saved my life? Udah gila ya, kamu!”
Sam hanya bersedekap dengan senyum tipis saat mendengar teriakan Nadia. Pria itu perlahan mendekatkan wajahnya, dan berkata lirih pada Nadia. “Kalau aku udah gila, aku nggak akan bawa kamu pulang ke sini.”
Kening Nadia seketika mengerut. “Lalu, di mana bajumu? Kenapa kamu nggak pakai baju? Bagaimana kamu bisa masuk ke apartemenku?! Apa kamu melakukan sesuatu padaku?” cecar Nadia sembari melangkah mundur dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sedangkan Sam hanya tersenyum meremehkan. Pria itu bukannya menjawab, dia justru berbalik dan kembali ke dalam kamar mandi sebelum menutup pintunya dengan rapat.
“Sam, jawab pertanyaanku!” Nadia berteriak geram. Perempuan itu menggedor pintu kamar mandinya dengan brutal, dan sesaat kemudian pintu itu kembali terbuka.
Sam sudah tak lagi bertelanjang dada. Pria itu sudah berpakaian lengkap. Celana panjang casual berpadu dengan kaus putih polos sebagai atasan, minus kemeja flanel lengan panjang yang ia sampirkan di lengan. Kemeja itu terlihat sedikit basah, membuat Nadia bertanya-tanya karnanya.
“See? Aku sudah pakai baju,” katanya tanpa ekspresi. “Sorry, aku numpang mandi di sini, karna aku tidak tahan dengan aroma bekas kejadian semalam.”
Apa katanya tadi? Aroma bekas kejadian semalam? Kejadian apa?!
Belum sempat Nadia bertanya apa maksud ucapan Sam, pria itu sudah bicara lagi. “Anyway, aku tinggal di unit sebelah. Kalau ada sesuatu yang perlu kamu tanyakan padaku, just ring the bell. Aku akan membukakan pintu untukmu, as fast as i can,” katanya setengah berbisik lengkap dengan kedipan sebelah mata.
Sementara Nadia masih tak mampu berkata-kata. Belum cukup rasa terkejutnya setelah tiba-tiba melihat Sam keluar dari kamar mandinya, sekarang pria itu mengatakan kalau dia tinggal di unit sebelahnya.
What the hell?!
Sejenak, Nadia terlihat seperti kerbau bodoh yang hanya bisa diam menatap Sam yang lagi-lagi menebar senyum penuh pesona padanya.
Lelaki itu kembali menoleh dan mendekatkan wajahnya sambil menunjuk hidung Nadia yang kecil tapi mancung. “Lebih baik, mulai sekarang kamu berhenti minum. Kamu harus bersyukur karna bertemu aku semalam. Bagaimana kalau pria lain yang menemukanmu sedang tipsy? Aku yakin, kamu tidak akan bangun di tempat tidurmu sendiri dengan pakaian lengkap,” ucapnya dengan senyum tipis.
Astaga, percaya diri sekali dia. Decih Nadia dalam hati.
“Oh, iya, satu lagi.”
Apa lagiii? Nadia menoleh geram.
“Kamu hutang biaya loundry sama aku.”
“Ha?!”
Sam meraih tangan Nadia dan meletakkan card lock yang semalam dia pakai untuk membuka pintu apartemen perempuan itu. “Apa kamu tidak ingat? Sesuatu yang keluar dari tubuhmu semalam sudah menodai kemejaku.”
A-apa katanya? Sesuatu yang keluar dari tubuh Anggia? Sesuatu apa? Astaga?! Apa maksudnya?!
**
“Apa yang harus kubeli?” Nadia menjepit ponselnya di antara telinga dan pundak kirinya, sementara dia mengeluarkan uang dari dompet untuk membayar ojek.
Pagi ini dia tidak bisa membawa mobil ke kantor karna terlambat. Dan semua itu karna ulah Sam. Kemunculan pria brengsek itu tiba-tiba saja mengacaukan kehidupan Nadia.
“Japaness Cotton chesse cake.”
“Apa?”
“Japaness Cotton chesse cake!” ulang Widi dengan suara yang hampir saja membuat Nadia tuli. “Kamu tau ‘kan cake itu untuk menyambut CEO kita yang baru. Jadi, apa pun yang terjadi kamu harus mendapatkannya.”
Nadia membuang napas berat setelah Widi menutup sambungan telpon. Kepalanya menoleh kiri kanan. Dia harus menyebrangi jalan untuk sampai di Bittersweet bakery yang ada di seberang jalan. Sebaiknya dia berlari atau dia akan terlambat sampai di kantor.
“Kamu dapat cake-nya?” Widi menyambut kedatangan Nadia dan meraih paper bag ditangannya. “Rapikan dulu rambutmu. Biar aku yang bawa ini ke meeting room.”
“Beliau sudah datang?”
“Beliau?” Alis Widi yang tipis kecoklatan itu menukik tajam. “Maksudmu CEO yang baru?”
Nadia mengangguk, kedua tangannya sibuk merapikan blouse putih polos yang dipadu dengan pencil skirt dengan motif ethnic yang membentuk lekuk tubuh indahnya. “Siapa namanya? Seumuran sama Pak Armand, ya?”
Widi tersenyum simpul. Sebelah tangannya yang bebas menyelipkan rambut ke belakang telinganya dengan sedikit genit. “Kurasa kamu harus melihatnya sendiri. Dia terlihat seperti seorang pria yang berbahaya. Hati-hati, jangan sampai kamu jatuh ke dalam pesonanya.”
“Hm?” Nadia mencebik dengan tawa meremehkan. “Siapa juga yang akan tertarik pada pria tua,” katanya pada cermin di tangan, sementara Widi sudah melesat pergi meninggalkannya.
Setelah puas dengan penampilannya. Nadia berjalan pelan dan anggun menuju meeting room. Sebentar lagi acara penyambutan akan segera dimulai. Beberapa perwakilan dari semua divisi memenuhi ruangan, menatap seorang pria yang pagi itu menjadi pusat perhatian.
Nadia yang berdiri di belakang beberapa karyawan tampak tidak terlalu peduli, dia bahkan belum melihat rupa CEO yang baru karna pandangannya terhalang oleh punggung karyawan lain yang berdiri di hadapannya.
Namun, jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat ketika Pak Armand selaku pemilik perusahaan memperkenalkan pria itu sebagai Samuel Widjaya.
Tentu saja Nadia terkejut. Perempuan itu berharap hanya namanya saja yang mirip, tapi setelah dia mengintip dari balik punggung teman kerja di hadapannya, rahang Nadia seolah melorot. Beruntung perempuan itu tidak pingsan saat mata elang milik Sam menemukannya di antara kerumunan banyak orang.
Pria itu tersenyum, seolah baru saja menemukan mangsanya di depan mata. Sementara Nadia berusaha untuk tidak terjatuh lemas saat itu juga. Namun, pengumuman Armand berikutnya sungguh membuatnya ingin menghilang saja dari muka bumi ini.
“Untuk sementara, Nadia Prameswari yang akan mendampingimu. Dia sekretaris direktur kita yang lama,” ujar Pak Armand sambil menoleh ke arah Nadia yang sudah pucat pasi.
Keadaan semakin memburuk bagi Nadia saat kerumunan orang-orang membelah memberi jalan untuknya agar maju ke depan, dan terlihat oleh semua orang. Perempuan itu sudah tak bisa merasakan apa pun saat tatapan Sam berpindah ke arahnya. Pria itu menatap Nadia dari atas hingga bawah seolah siap menerkamnya hidup-hidup.
Sejenak Sam berdehem, pria itu maju beberapa langkah mendekati Nadia yang masih mematung dengan jantung berdebar tak karuan. Dan dengan penuh percaya diri, Sam menjabat tangan Nadia yang terasa sangat dingin.
Jabatan tangan Sam tidak terlalu kuat, namun terasa begitu hangat. Kehangatan itu menjalar hingga wajah Nadia, membuat pipinya seketika merona kemerahan.
“Hai, Nad. Nice to meet you,” katanya dengan senyum yang membuat Nadia sulit bernapas.
**
