5. Psikopat 5
Mual...
Isi perutku terasa ingin keluar seluruhnya, bau amis darah itu begitu dekat denganku. Bahkan menempel sebagian dengan kulit dan pakaianku.
Sakit...
Tubuhku terasa mati rasa, menahan perih diwajah juga disekitar tubuhku. Ia menamparku, sebelum akhirnya memperkosaku secara brutal. Aku tidak berani melihat wajahnya, ia sangat marah dan aku tidak ingin makin memperburuk keadaanku hanya dengan menatapnya.
Jadi aku palingkan wajahku kesamping sementara dia menghancurkan tubuhku, aku hanya berharap ini cepat selesai dan mengakhiri rasa sakitku. Dan aku sungguh tak tahan harus berlama-lama terkena tetesan darah dari wanita tadi, mendengarnya menggeraam diatasku tanpa memperdulikan bau anyir darah, membuatku makin yakin dia adalah seorang psikopat kelas atas.
Ekspresi datar, sadis dan pemerkosaan...
Sadis dalam arti luas dia memberi kesakitan kepada korbannya, puas ketika melihat orang lain tersakiti dengan tingkat level yang sangat tinggi hingga diluar batas nalar. Aku bahkan hampir tidak percaya jika ini semua benar-benar ada, bukan hanya didalam sebuah film atau buku.
Dan sialnya ini terjadi padaku...
Tubuhku semakin lemas, karena tangis dan menahan bobot tubuhnya yang besar. Hingga pandanganku mulai kabur dan tak sadarkan diri...
Sesingkat itu...
Aku terbangun tiba-tiba, kupandangi tubuhku masih mengenakan baju terusan yang sama dan berlumuran darah.
Disela kesadaranku dan sisa tenaga yang kumiliki akhirnya aku membuka seluruh pakaian bernoda darah dan menjijikan itu, mengabaikan ketelanjangan diriku yang tak mengenakan celana dalam setelah adegan perkosaan tadi. Kututupi tubuhku dengan kedua tanganku menahan dingin, namun tiba-tiba aku tersadar ada seseorang yang duduk dikursi tak jauh dari ranjangku.
Bodohnya aku tak melihatnya...
Duduk disana dengan begitu tenang menatap kearahku, meskipun tubuhnya terlihat diam dan tenang namun sorot mata tajamnya seakan mengintimidasi diriku.
Ya Tuhan...
Jangan lagi...
Aku sudah tidak kuat menahan semua rasa sakit ini, aku ingin mati. Tapi sepertinya dia tidak mengijinkanku mati dan mungkin ini adalah caranya menyiksaku dengan membuatku gila dan frustasi.
Tubuhku semakin kurus, wajah semakin tirus dan pucat. Aku bahkan sudah tidak memiliki tenaga untuk melawannya lagi, dan aku hanya bisa berharap kali ini ia tidak menghancurkanku lagi.
Dia berdiri, menarik kursinya menuju samping ranjang. Menatap kearah lingkar hitam yang ada di kedua mataku akibat karyanya. Tonjokan dan kurang tidur serta ketakutan.
Dia bahkan tidak pernah menunjukan wajah iba, tidak senang dan tertawa. Hanya, diam...
"Apa sebenarnya yang menjadi keinginan terbesarmu agar kau bisa menjadi gadis baik?" Suaranya besar, penuh penekanan. Aku menatapnya dengan sebelah mataku tertutup karena lebam, melihatnya dengan baik-baik. Berusaha mencari sesuatu dibalik matanya.
Apakah ia ingin bermain denganku lagi?
Segala pertanyaan dan perkataan yang dilontarkan olehnya hanyalah sebuah permainan, alarm dikepalaku berbunyi mengingatkanku harus lebih berhati-hati menghadapi orang macam ini.
"Aku ingin menghirup udara segar..." ucapku parau, ia mengangguk. Aku tidak mengerti apa maksudnya, jawabanku begitu sederhana karena aku tahu dia tengah memulai permainan yang mungkin lebih sadis lagi dari pada ini.
Ia menyuruhku berdiri, menuntunku kekamar mandi. Namun lututku terasa lemas dan tak mampu berdiri sehingga ia membantuku berjalan, ia membawakanku kursi duduknya. Mendudukanku dikursi tersebut setelah berada didalam kamar mandi lalu memandikanku.
Kutatap bayanganku didepan cermin dan benar saja, wajahku begitu kacau. Lebam dan biru, tatapanku sayu dan pucat pasi. Dia benar-benar membuatku seperti pasien rumah sakit jiwa, tapi tak kunjung membunuhku. Sebenarnya apa yang ia tunggu? Sampai tubuhku mati rasa? Atau jiwa ini yang telah mati hingga tak dapat merasakan rasa sakit lagi? Entahlah, dia memiliki berbagai caranya sendiri.
Setelah selesai, ia memakaikanku baju dan menidurkanku diatas ranjang dengan selimut tebal. Dia juga sempat mengganti sprei yang berlumuran darah, meskipun aku masih syok karena terus teringat wanita itu. Dan sekarang bertanya-tanya tentang keadaan wanita itu, apakah dia sudah mati?
Dia meninggalkanku sendiri dikamar setelah semuanya selesai, tidak ada acara makan setelah selesai mandi. Karena diriku sendiripun masih belum dapat menelan apapun karena terus terbayang darah wanita itu. Karena lelah, akupun tertidur.
Cukup lama kurasa, sampai aku terbangun dan tidak mendapati dirinya masuk kekamar ini. Biasanya jika aku terbangun tak lama ia akan datang membawa makanan atau sekedar memandikanku, namun kini tidak.
Sangat lama, aku bahkan bertanya-tanya apa yang dia lakukan diluar sana hingga lama sekali. Aku hanya terduduk diranjang sambil menunggu pintu terbuka, anehnya menunggunya datang.
Hingga yang kunantikan pun tiba, pintu terbuka dan ia masuk.
"Kau sudah jadi gadis baik, sesuai permintaanmu, maka aku akan membiarkanmu menghirup udara segar..." ujarnya yang sontak membuat kedua mataku membulat mendengarnya.
Ia mengulurkan tangannya, menuntunku berdiri dan berjalan keluar dari kamar itu. Jujur saja, hatiku sedikit senang dan lega. Lorong yang dulu gelap kini terang oleh sebuah sinar dari lubang ventilasi, dan menuju tangga aku tak berani menoleh sedikitpun kearah kamar itu...
Meski tertutup rapat, aku masih tidak berani melihatnya. Perlahan menuruni tangga, jalanku tertatih karena selangkangan dan kakiku masih terasa sakit. Terlihat cahaya memasuki lubang berbagai ventilasi, sepertinya dia banyak mendekor ulang rumah ini. Kenapa aku bisa berkata ini adalah rumah?
Karena terdapat ruang tv dan dapur bersebelahan hanya berbataskan sebuah kaca transparan, bersih dan nyaman. Dia berkata, dia hanya bisa memberiku kebebasan didalam rumah, karena diluar sangat terlalu beresiko. Meskipun begitu aku masih bersyukur memiliki peluang untuk keluar dari kamar pengap itu, setidaknya udara disini sangat bagus.
Ia mendudukanku disebuah sofa dan menyalakan televisi, dia berkata akan membuatkan makanan untuk kita dan segera menuju dapur yang bersebelahan.
Aku melihatnya, ternyata selama ini dia memasak makanan seorang diri. Saluran televisi tak begitu menarik untukku meski itu adalah kartun favoritku, aku melihat sekitar. Banyak buku berjejer rapi disebuah rak bersebelahan dengan tv.
Saat kepalaku menoleh kesebelah kiri, kulihat ada sebuah ruang tamu yang tentunya dekat dengan pintu keluar. Saat itu juga kedua mataku memicing melihatnya, ini bisa menjadi pelarian yang bagus batinku. Namun, aku ragu. Mungkin akan tertangkap lagi dan aku bisa kehilangan kebebasanku ini, aku harus menyusun rencana sematang mungkin. Mungkin saat dia tertidur, sebab aku telah mengetahui jalan keluar dari rumah ini, kesempatan kian terbuka lebar.
Aku mengamati pintu keluar itu lamat-lamat, mencari selah dan ternyata itu hanya pintu yang terbuat dari kayu.
"Makanan sudah siap..."
Seketika lamunanku menjadi buyar ketika mendengar suaranya, aku menoleh kearahnya yang menatapku datar. Sepertinya ia tahu bahwa sedari tadi aku mengamati pintu keluar.