Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Psikopat 2

Dia memandikanku setelah aku membuka seluruh pakaianku tanpa sisa, di dalam kamar mandi terdapat sebuah cermin besar. Aku melihat pantulan diriku dengannya, aku sedikit canggung dan juga takut. Sedikit berjaga-jaga jikalau ia nantinya akan melakukan pelecehan terhadapku, tapi nyatanya tidak. Ia hanya terfokus kepada kegiatannya memandikanku.

Dan terbukti, setelah selesai ia memakaikanku baju terusan bermotif bunga dan menyisir rambutku. Setelah itu ia menuntunku untuk duduk diatas ranjang dan memborgol kakiku. Ia mengambil nampan makanan dan berusaha menyuapiku, aku bahkan tidam menyadari jika sedari tadi ada makanan diatas meja itu.

"Makan" katanya, aku masih terdiam. Mengamati makanan tersebut, kalau-kalau ada racun didalamnya. Aku hanya ingin pulang, aku tidak mau makan, begitu yang aku ucapkan padanya, hingga Aku tidak memakannya...

Untuk pertama kalinya, aku melihat perubahan raut diwajahnya. Dari datar menjadi marah, aku rasa kemarahannya kali ini adalah sepuluh persen hingga dia menarik wajahku dan menyekokiku dengan sendok berisi makanan itu. Juga menjambak rambutku dengan kasar sehingga aku tak bisa berbuat banyak.

Aku berusaha melawannya namun tangannya begitu besar untuk aku hindari, makanan masuk kedalam mulutku. Jujur saja aku ingin memuntahkannya, namun ia menahan mulutku untuk tidak mengeluarkannya lagi. Itu adalah kesan pertama yang buruk, kedua mataku sampai memerah menahan air mata karena takut.

Takut akan perubahan wajahnya yang tiba-tiba marah dan melakukan kekerasan kecil seperti ini. Ia terus menyuapiku, namun kini melepaskan jambakannya. Dan akhirnya aku menelan semua makanan yang ada dipiring itu, karena lapar berhari-hari tidak menyentuh makanan sedikitpun.

Ia menyuruhku untuk tidur, setelah itu keluar dari ruangan dan menutup pintu. Aku dapat mendengar pintu terkunci dari luar ruangan, seketika aku langsung melihat sekitar. Berusaha mencari jalan keluar karena yang kutahu tempat atau bangunan ini terbuat dari kayu, aku menggeret sebelah kaki. Meski berat dengan bola besi itu, aku berusaha berjalan.

Terdapat sebuah jendela, aku berusaha membukanya namun sangat disayangkan, sepertinya jendela tersebut digembok dengan papan dari luar. Aku bisa merasakannya ketika mendorong jendela tersebut.

Kembali frustasi, akhirnya aku memilih tidur diatas kasur. Terlelap sangat lama.

Saat aku terbangun, saat itu juga dia datang kekamar itu guna memandikan dan menyuapiku makan. Kejadian ini terjadi berulang-ulang sudah seperti rutinitas untuknya. Ia selalu memandikan dan menyuapiku makan, aku membiarkannya, takut kejadian terakhir akan terulang kembali dan ia menjambak rambutku dengan keras.

Terbangun, mandi, makan dan kembali tidur. Tanpa aku tahu diluar sana hari sudah gelap atau masih terang. Berjam-jam atau mungkin berhari-hari terkurung disini membuatku khawatir akan kedua orang tuaku yang pasti cemas dan mencariku.

Hingga pada akhirnya, aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepadanya saat ia menyuapiku makan.

"Apa maumu? Aku tidak memiliki apapun. Tolong lepaskan aku, aku mau pulang, orang tuaku pasti khawatir..." bibirku bergetar mengatakannya ditambah lagi ekspresinya yang datar makin membuat nyaliku menciut.

Menunggu jawaban, jantungku berdetak cukup kencang. Tegang, hanya satu yang kurasakan kepada orang asing ini. Takut.

"Kalau kau mau selamat, turuti peraturanku dirumah ini." Kalimat itu masih kuingat hingga saat ini, hanya itu. Namun kalimat itulah yang mengantarkanku kepada siksaan sebenarnya, dan aku menyesal telah bertanya demikian.

Aku merengek meminta penjelasan, kenapa dan mengapa, harus aku. Aku mau pulang, begitu perkataanku terus hingga aku melihat raut wajahnya berubah lagi dan aku baru menyadari aku telah membuatnya marah. Mungkin saat ini kadar kemarahannya meningkat menjadi dua puluh persen. Saat itupun, tangannya melayangkan pukulan keras kepipiku hingga wajahku terlempar keranjang dari posisiku yang semula duduk. Perih, panas, aku menangis karena sakit seraya memegangi pipiku.

Bayangkan saja pria sebesar itu menamparmu dengan kekuatan yang tiada tara, rasanya kepalaku berputar dan pening seketika. Menyesal tiada guna, aku telah membangunkan singa dari diamnya, karena rasa ingin tahuku yang sangat besar dan rengekanku yang ingin pulang. Kesadaranku akhirnya menghilang....

Saat terbangun tubuhku terbungkus oleh selimut tebal, begitu teringat ia menamparku dengan keras dibagian pipi bawah, aku segera menyentuhnya. Rasanya masih sakit dan aku yakin ini membiru.

Kejadian seperti itu terus berulang setiap kali aku bertanya, apa motif dan tujuannya melakukan ini padaku, atau merengek ingin pulang. Pipi dan sekitar bibirku lebam dan membiru, bahkan sebelah mataku tak luput dari tonjokan kepalan tangannya yang besar. Alhasil, wajahku babak belur, dan untuk pertama kalinya, aku tidak bertanya dan merengek lagi. Aku hanya bisa diam, menahan rasa sakit diwajahku.

Aku melihat wajahku yang memar dari pantulan cermin ketika ia memandikanku, sakit. Wajah dan pikiranku jadi sakit...

Ingin menangis, tapi takut ia akan murka kembali dan menyiksaku. Jadi aku putuskan untuk diam meskipun dalam hati ketakutanku kian bertambah setiap melihat wajahnya yang datar.

Ia menyuapiku...

Aku benar-benar seperti orang sakit sekarang ini, tidak tahan, berlama-lama disini bisa membuatku gila.

Hingga pada akhirnya, munculah lagi ide gila itu dari otakku.

Kabur...

Aku harus kabur dari sini, dengan menyusun rencana matang-matang dan berdoa. Berharap perhitunganku tepat, ia selalu melakukan rutinitas ini tepat waktu. Memandikanku, memberiku makan setelah itu keluar. Dan sepertinya ini memiliki sebuah celah untuk rencanaku. Pikirku begitu...

Hingga hari itu, aku bersikap seperti biasa. Tidak ada lagi rengekan dan tangisan hingga pertanyaan yang dapat membuatnya marah, aku diam. Tapi dikepalaku tersusun sebuah rencana.

Setelah selesai mandi, ia menyisir rambutku dan memakaikanku baju terusan warna ungu. Lalu aku duduk diatas kasur seperti biasa dan ia menyuapiku.

Beberapa hari ini aku tidak mengenakan borgol lagi dipergelangan kakiku, dia bilang, jika aku menjadi gadis yang baik dan menurutinya, dia tidak akan memborgolku lagi. Setidaknya satu langkah untuk kebebasan batinku.

Makanan habis dan ia mengambil gelas untukku dengan setengah berdiri, hal inilah yang kutunggu-tunggu.

Ia selalu duduk dengan kursi kayu disamping kasur ketika menyuapiku, hingga akhirnya aku mengambil kursi tersebut dan menghempaskan benda tersebut kearah kepalanya dengan sekuat tenaga.

Kudengar ia sempat menggeram tertahan, berdarah atau tidak. Aku tidak perduli karena aku langsung berlari keluar kamar tanpa menghiraukan dirinya yang masih memegangi kepala bagian belakang.

Aku menutup pintu kamar guna memperlambat gerakannya jika ingin mengejarku, namun ada satu hal yang janggal. Biasanya, ketika dia masuk kedalam kamar, kunci yang ia gunakan selalu menggantung didaun pintu. Namun kali ini, entah mengapa kunci tersebut ia kantongi didalam saku celananya.

Aku hanya berharap ini kebetulan dan dia tidak mengetahui rencanaku.

Aku berlari dengan panik setelah menutup pintu, kutelusuri lorong yang sangat panjang guna mencari jalan keluar dengan tergesa-gesa berharap dia tidak menangkapku. Dibawah lampu temaram aku terus berlari, banyak sekali kamar-kamar yang tertutup yang aku lewati. Frustasi karena tak kunjung menemukan jalan keluar, akhirnya aku memilih salah satu pintu dari belasan pintu kamar yang ada dilorong tersebut.

Aku membukanya dengan cepat dan betapa terkejutnya.

Tubuhku terasa lemas melihatnya, didalam sana terdapat sebuah meja bedah yang masih berlumuran dengan darah. Menetes sedikit demi sedikit membasahi lantai kayu, aku terdiam mematung.

Takut...

Berharap semoga semua ini tidak seperti yang aku lihat difilm-film, karena syok berlebihan itulah aku jadi tidak sadar dia telah menangkapku kembali....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel