Ringkasan
Reyana Stronghold, semua orang pasti tahu siapa Reyana. Namanya melejit berkat pamor sang papa di dunia bisnis. Papanya pemilik Stronghold Group, memiliki banyak cabang perusahaan di berbagai bidang termasuk ST Entertainment.Tapi siapa sangka jika kepamoran itu justru mengundang bahaya bagi Reyana, wajahnya yang sering terekspos media membuat banyak pesaing papanya yang tega melakukan hal jahat pada Reyana. Hingga suatu hari sang papa membawa seorang cowok yang akan menjadi bodyguarnya, bertugas melindungi Reyana. Tapi bagaimana jika yang terjadi Reyana justru jatuh cinta pada bodyguarnya? Si cowok dingin dan keras kepala. Reyana menyebutnya Balok Es. "Panggil nama gue tiga kali, maka gue bakal datang dalam keadaan apa pun."
Prolog
Ketika kepergian meninggalkan luka yang menganga, bertaburkan rasa perih saat tak mampu lagi bersama.
"Hanya satu yang akan memisahkan kita, kematian"
—Gavin Pradipta—
Terdengar tepukan dan sorakan membahana, memenuhi ball room gedung setelah sambutan pendiri ST Entertaiment berakhir. Pria tampan bersetelan jas warna hitam dengan rambut klimis yang tertata rapi, dia menuruni tangga sembari mengukir senyum menawan di bibirnya. Melambaikan tangannya menyapa para tamu undangan.
Siapa lagi kalau bukan Reynaldi Stronghold.
Pemilik sekaligus pendiri ST Entertaiment yang kini juga menjabat sebagai CEO Stronghold Group. Perusahaan raksasa yang memiliki banyak anak cabang perusahaan dari berbagai bidang. Seperti media, properti dan juga kesehatan. Stronghold Group sendiri merupakan perusahaan keluarga Stronghold.
Tak heran jika di umurnya yang menginjak kepala empat, Rey sudah menjadi pebisnis yang paling disegani. Banyak dari kalangan pebisnis yang mendekati untuk menjalin kerjasama, tapi juga banyak yang ingin menjatuhkannya oleh para pesaingnya.
Semakin malam, acara ulang tahun ST Entertaiment semakin meriah. Acara bertabur bintang papan atas dari agensi ST Entertaiment sendiri.
Rey berjalan menghampiri istrinya yang sedang berdiri di sudut ruangan dengan ponsel di sebelah telinganya. Terlihat jelas kekesalan di raut wajah istrinya, tapi wanita itu justru terlihat semakin cantik.
Meski Ana sudah berusia tiga puluh sembilan tahun, paras cantiknya tak luntur sedikit pun. Ana justru semakin menawan dengan wajah yang terlihat lebih dewasa tapi masih meninggalkan kesan imut saat Ana merengek atau pun merajuk.
"Halo! Reya!! Reya!!" Ana menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang menyala. Sambungan teleponnya baru saja diputus secara sepihak. Ana berdecak, kembali menghubungi namun justru suara operator yang menyambutnya. "Isssh, anak itu!"
"Ada apa?" tanya Rey ketika tiba di depan Ana.
Ana menoleh, ia menatap sendu Rey. "Biasa, Reya kabur dari rumah mama," adu Ana.
"Kok bisa? Ke mana?" Rey seketika panik, tentu saja Rey panik jika semua menyangkut putri semata wayangnya.
Ana menggeleng, ia tak tahu di mana Reya sekarang. "Tadi aku telepon, gak begitu kedengaran suaranya. Soalnya bising banget, kaya suara knalpot yang digeber-geber gitu," terang Ana.
Rey mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu saja bayangan Rey cuma satu.
Balap liar!
Rey segera menghubungi orang suruhannya, menyuruhnya mencari Reya sekarang juga.
"Kamu tenang aja, aku udah suruh Anton cari Reya sekarang." Ana mengangguk, lalu Rey merengkuh bahu Ana membawanya kembali ke tempat duduk.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba ponselnya berdering, Rey berhenti mengambil ponselnya di saku celana. Ia segera mengangkatnya saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
"Halo, Dip ada apa?"
Hening, Rey mengernyitkan dahinya. Ia melihat layar ponselnya, memastikan jika yang menelepon benar Pradipta, pengacara pribadinya.
"Halo, Dipta. Ada apa?" ulang Rey saat tak mendapat sahutan, kembali hening hanya terdengar suara napas yang tersendat diiringi suara tangis tertahan.
Rey jelas bingung, ia jadi cemas. Rey takut terjadi apa-apa pada Dipta. Mau bagaimanapun Dipta bukan hanya pengacara, dia juga sahabat Rey semenjak kuliah dulu.
Suara isakan terdengar, Rey menoleh pada Ana. Istrinya itu melemparkan tatapan penuh tanya, seolah dari sorot matanya bertanya 'ada apa?'.
"Halo, halo." Rey kembali bersuara.
Hening sejenak, hingga suara lirih menyahut.
"Om Rey." Suaranya bergetar. "Papa Om ... papa sama mama ...."
"Dipta kenapa?" Ekspresi Rey berubah panik saat suara di telepon memberikan kabar buruk.
"Ada apa?" tanya Ana.
"Kita ke Bekasi sekarang," ucap Rey.
"Tapi acaranya————"
"Ini jauh lebih penting Ana, ini soal Dipta." Ana yang mengerti lantas mengangguk, menggenggam erat tangan Rey. Keduanya bergegas menuju parkiran.
Satu jam perjalanan, akhirnya Rey dan Ana tiba di rumah sakit. Setelah bertanya pada resepsionis, keduanya langsung ke ruang operasi. Di sana di depan ruang operasi, seorang bocah laki-laki tertunduk lesu menyembunyikan kepalanya di atas lutut.
"Gavin," panggil Rey. Ia berjalan mendekatinya.
Bocah yang dipanggil Gavin itu mendongak, matanya sembab, bibirnya bergetar menahan isakan. "Om, papa ...." Gavin tak kuasa berbicara, ia justru kembali menangis.
Rey berjongkok di depannya, meraih bahu Gavin, mendekapnya sembari mengelus kepala Gavin.
"Om, papa sama mama udah gak ada," lirih Gavin dengan suara yang terdengar parau. "Mereka udah gak ada, mereka pergi ninggalin aku sendiri." Tubuh Gavin bergetar, tangisnya pecah dalam pelukan Rey.
"Tidak apa-apa. Kamu gak sendiri, masih ada om sama Tante. Jangan sedih, kamu anak yang kuat." Rey berusaha terlihat tegar, padahal hatinya remuk.
Pradipta, sahabatnya. Orang yang menyaksikan perjuangan Rey mendapatkan Ana. Orang yang selalu ada setiap Rey membutuhkan bantuannya, selalu melindunginya. Tapi kini pelindungnya telah kembali ke pencipta, meninggalkan orang-orang yang menyayanginya.
Semoga kau tenang di alam sana, Pradipta. Sahabatku. Aku akan tepati janjiku padamu.
—————————
Motor Vespa berwarna pink melaju memasuki gerbang SMA Rajawali. Pengendara motor itu jadi pusat perhatian, gadis berjaket pink dengan helmet pink yang melekat di kepalanya. Ia memarkirkan motornya di parkiran, melepas helmetnya.
Siulan dari gerombolan cowok di parkiran menyambutnya, para cowok itu sampai tak berkedip memandangi kecantikan gadis itu, rambutnya yang diikat asal-asalan dengan wajah imut dan rona pipi alami.
Jelas saja para cowok gemas ingin mencubitnya, bahkan pipinya lebih kenyal dari squishy.
"Apa lo liat-liat? Minta diculek!" Gerombolan cowok itu bergidik, mereka semua cengengesan saat gadis itu melemparkan tatapan tajamnya.
"Masih pagi Reya, jangan galak-galak. Senyum aja, senyum itu ibadah," celetuk salah satu cowok.
"Emang si, tapi sayangnya gue lagi pms jadi gak mau ibadah dulu hari ini." Cowok-cowok itu melongo, memandangi kepergian gadis bernama Reya.
Reyana Stronghold, primadona Rajawali. Cewek paling hits di sekolah bahkan sampai ke luar sekolahan. Bukan hanya kecantikannya, tapi pamor dari orangtuanya juga menunjang ketenaran Reya.
Sapa demi sapaan menyambut langkah Reya, ia hanya mengangguk kadang juga menyengir atau menaikkan sebelah alisnya dengan senyuman maut yang mampu membuat kaum Adam klepek-klepek.
Reya masuk ke kelasnya, semua anak tampak berkumpul di dekat jendela. Hal itu memancing jiwa keponya. Reya pun melangkah mendekat, ia berdiri di belakang salah satu siswi berkaca mata.
Reya menoel bahunya. "Ada apaan si?" tanyanya.
"Itu, si Gilang lagi ciuman di belakang sekolahan sama adik kelas," jawabnya tanpa memalingkan pandangannya.
Reya menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar nama Gilang disebut. Ia berharap Gilang yang di maksud bukanlah Gilang kekasihnya. Namun sepertinya Reya salah, ucapan siswa di depannya membuat harapan Reya pupus seketika.
"Gila emang si Gilang, kalau ketahuan Reya gimana coba?"
Reya mengepalkan kedua tangannya, sorot matanya tajam ia berjalan mundur mengambil ember berisi air milik petugas kebersihan yang sedang mengepel koridor depan kelasnya.
"Minggir!!" Suara lantang Reya seketika membuat kerumunan itu bubar, mereka bergerak menjauh memberi jalan bagi Reya.
Reya tak langsung melakukan niatnya, ia mengambil ponselnya lalu menghubungi nomor Gilang. Bisa Reya lihat, Gilang tampak gelagapan saat mendapat telepon darinya.
"Halo, sayang," sapa Reya dengan suara terdengar manis dan imut. "Kamu di mana?"
"Di kelas." Reya memutar bola matanya mendengar jawaban bohong dari pacarnya.
"Oh, jadi kelas kamu pindah ke belakang sekolah ya?"
"Hah? Maksdunya?" Reya menyimpan ponselnya, ia segera mengangkat ember berisi air kotor bekas pel dan membuangnya lewat jendela kelasnya yang terletak di lantai dua.
"Kyaaa!! Shit!"
"Aaaa ...!"
Suara jeritan dan makian dari dua orang yang tersiram air kotor dari atas. Gilang yang sudah kesal lantas mendongak, bersiap memaki orang yang menyiramnya. Namun yang terjadi Gilang justru tercekat dengan bola mata hampir keluar.
"Re—ya—na ...!"
Reyana melambaikan tangannya dengan senyum miring yang membuat nyali Gilang semakin ciut.
Mungkin setelah ini akan ada suara guntur disertai kilatan dan kobaran api yang menyerang Gilang.