Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6

Namun ternyata, Kael tidak melakukan keduanya. Bahkan pria itu pun tak lagi membentaknya.

Sebaliknya, Kael justru berlutut dan menatap wajahnya dengan sorot yang tak bisa Savana pahami.

“Kenapa?” tanya Kael dingin, namun suaranya seperti sedang menahan amarah. “Jadi kamu ingin mati, Savana?”

Savana pun tertawa getir di antara isaknya. “Kamu tanya kenapa? Kamu sudah membunuh keluargaku! Kamu memperkosaku, menjadikanku istri yang hidup di dalam neraka! Lalu kamu bertanya kenapa aku ingin mati?!"

Kael terdiam dengan rahang mengencang. Matanya yang gelap tetap tak lepas dari Savana, seolah mencoba membaca seluruh isi kepalanya.

“Kamu bisa membunuh mereka semua. Tapi kenapa tidak membunuhku?” teriak Savana dengan suara serak penuh tangis. “Kenapa aku satu-satunya yang kamu biarkan hidup? Apakah hanya untuk disiksa? Untuk kamu tiduri setiap malam?”

Kael menghela napas kasar seperti menahan gejolak dalam dadanya. “Aku tak akan membunuhmu, Savana.”

“Kenapa?!”

“Karena aku telah memutuskan begitu."

Savana mengernyit. “Gila... Kamu sudah gila!”

Lalu tiba-tiba saja Kael memeluknya. Savana pun refkeks memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuhnya sangat lemah.

Pria itu memeluknya erat, dengan dada hangat yang bergetar pelan. Tidak ada nafsu. Tidak ada kekerasan. Hanya pelukan.

Dan itu membuat Savana semakin hancur.

“Kamu istriku, Savana. Hanya milikku," bisik Kael.

“Kamu sudah menghancurkan aku...” jawab Savana pelan, nyaris seperti bisikan maut.

Kael lalu mengangkat dagunya, memaksa Savana untuk menatapnya. “Aku tahu. Tapi kamu akan tetap hidup, karena aku akan terus memastikan hal itu.”

***

Sejak malam itu di kamar mandi, hidup Savana berubah.

Tidak lagi sekadar menjadi tawanan. Ia kini benar-benar menjadi properti di bawah kekuasaan Kael.

Pagi pertama setelah percobaan bunuh dirinya, Savana terbangun karena suara pintu yang dibuka dari luar.

Kael masuk dengan langkah tenang namun penuh wibawa. Ia membawa sesuatu di tangannya—sebuah gaun panjang berwarna merah darah.

“Pakai gaun ini,” ucapnya singkat.

Savana menatap gaun itu. Bahannya mewah, jatuh mengikuti lekuk tubuh.

Ada belahan tinggi di sisi paha, dan potongan leher yang terlalu rendah untuk standar kesopanan yang pernah diajarkan ibunya.

Savana menundukkan kepala dengan jemarinya yang meremas sprei, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya. “Aku tidak mau—”

“Jangan membantah,” potong Kael. “Mulai hari ini, apa yang ada di seluruh tubuhmu adalah keputusanku.”

Savana menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Bagaimana jika aku menolak?”

Kael menundukkan wajah dan menatap Savana tajam. “Kamu ingin mengulang percobaan bunuh diri itu, Savana? Coba saja. Aku akan memastikan semua jendela dikunci, semua benda tajam di rumah ini hilang, bahkan kamu akan tidur dengan tangan dan kaki yang terus terikat jika perlu.”

Kali ini Savana terdiam tak lagi menjawab.

Lalu Kael melemparkan gaun itu ke atas pangkuan istrinya. “Pakai.”

Dengan tubuh gemetar, Savana akhirnya mengambil pakaian itu dan berdiri.

Ia pergi ke kamar mandi, mengenakannya, lalu melihat pantulan dirinya di cermin.

Di sana ada seorang gadis muda bergaun mewah, tapi matanya sembab dan berlingkar hitam serta sorot yang hampa.

Ia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri.

Ketika pada akhirnya ia keluar, Kael menatapnya dari ujung kaki hingga kepala, lalu berjalan mendekat. Tangannya merapikan rambut Savana serta menyelipkan helai yang jatuh di pipinya.

“Cocok sekali untukmu,” ucapnya pelan, seolah sedang menilai barang berharga.

“Mulai sekarang, kamu akan selalu tampil seperti ini di hadapanku.”

“Aku bukan boneka,” desis Savana dalam protes yang lirih.

Kael tidak tersenyum. “Kamu adalah milikku, Savana. Dan itu artinya kamu harus tunduk padaku."

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel