MBV 2
Semua penumpang bus langsung menatap heran pada Annabele, berpikir kenapa gadis muda itu berteriak.
Sadar jika menjadi pusat perhatian, Annabele langsung mengatupkan bibir rapat-rapat. Ia kini yakin jika jatuh dari atap bukanlah sebuah mimpi, tapi soal dirinya yang dibawa terbang oleh seorang pria itu tak masuk logika. Lebih tepat seperti mimpi yang terasa seperti nyata.
"Apa mungkin aku hanya merasa akan jatuh, lalu aku pulang karena kepala pusing, kemudian aku bermimpi kalau jatuh, padahal itu tidak. Ah, sepertinya begitu."
Akhirnya Annabele berspekulasi sendiri, berpikir rasional yang masuk akal. Lagian di zaman modern ini, mana ada superhero atau manusia dengan kekuatan spesial, tak masuk akal.
-
-
Annabele berlarian dari halte menuju perusahaan tempatnya bekerja, tampak panik dengan sesekali menengok arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan.
"Aku terlambat! Mati aku!"
Terlihat jelas kepanikan di raut wajah Annabele. Ia sudah memasuki lobi perusahaan, semakin berlari sekuat tenaga ketika melihat pintu lift yang akan tertutup.
"Tahan pintunya!" teriak Annabele ketika pintu itu hampir tertutup sempurna.
Annabele sepertinya akan terlambat, mengingat pintu itu tertutup. Ia sudah berdiri di depan pintu lift, mendesau dan mengatur napas yang terengah karena berlarian.
"Aih, aku benar-benar terlambat."
Namun, siapa sangka pintu lift kembali terbuka. Annabele sangat senang dan langsung masuk.
"Terima kasih," ucap Annabele ketika melihat ada 3 pria di dalam lift itu.
Annabele masih mencoba mengatur napas, menekan lantai 8 tempat divisinya berada. Hingga jantungnya tiba-tiba berdebar, ia ingat akan sesuatu.
"Wajah itu?"
-
-
Ketiga pria yang berdiri di belakang Annabele, tampak memperhatikan punggung gadis itu, membuat Annabele sampai mengusap tengkuk karena merasa merinding.
"Bukankah dia manis."
"Hmm ... Cris, bagaimana menurutmu?"
Dua pria berbisik pada satu pria yang berdiri di tengah, sedangkan pria yang ada di tengah hanya diam seraya menatap tajam ke punggung Annabele.
Annabele tengah berpikir, kenapa merasa wajah pria yang berada dalam satu lift dengannya itu begitu tak asing, dan dirinya baru menyadari kalau pria itu ada dalam mimpinya.
"Kenapa kebetulan? Aku pikir itu hanya imajinasi," gumam Annebele dalam hati.
Annebele melihat bayangan dari pantulan pintu lift yang berwarna silver, di mana sedikit menampakan bayangan yang berdiri di sana, sekilas dia merasa pria di belakangnya memperhatikan, membuat Annabele semakin merasa canggung.
"Kenapa liftnya berjalan begitu lambat?" tanya Annabele dalam hati.
Pintu lift terbuka di lantai 8, tempat divisi Annabele berada. Gadis itu langsung keluar dari lift meninggakan 3 pria tadi. Namun, saat bergegas setelah keluar dari lift, entah kenapa Annabele berpikir untuk menoleh, hingga dirinya sekilas melihat wajah yang benar-benar ada dalam mimpinya.
"Dia."
Baik pria yang ada di dalam lift maupun Annabele, melihat satu sama lain sebelum pintu lift tertutup sempurna.
-
-
Annabele berjalan terburu untuk melakukan absen menggunakan finger print, sebelum pergi ke meja tempatnya bekerja.
Julie melihat Annabele datang, langsung menghampiri temannya itu untuk menanyakan ke mana Annabele semalam.
"Selamat, tidak terlambat." Annabele menghela napas lega ketika sudah duduk di belakang meja, bahkan mengusap pelan dada.
"Anna!" panggil Julie.
Annabele yang baru saja duduk, terlihat begitu terkejut dan hampir berjingkat karena suara panggilan Julie.
"Kamu mengagetkanku." Annabele lagi-lagi menghela napas kasar.
"An, semalam kamu ke mana? Katanya nyari udara segar, tapi kenapa tidak balik ke pesta?" tanya Julie yang merasa kehilangan temannya itu semalam.
"Aku--" Annabele terlihat berpikir, haruskah bercerita kepada temannya tentang mimpi aneh itu, tapi ragu karena itu sangat tak masuk akal.
"Oh, semalam kepalaku pusing, karena itu aku memilih pulang dan istirahat lebih cepat," jawab Annabele pada akhirnya.
"Aku sangat mencemaskanmu, kamu tiba-tiba menghilang dan ponselmu tidak bisa dihubungi," ujar Julie lagi.
"Aku baik-baik saja." Annabele tersenyum tipis untuk melegakkan hati Julie.
Julie hanya mengangguk kecil, hingga kemudian menyadari sesuatu. Ia menengok ke telinga Annabele.
"An, kenapa antingmu cuma sebelah?" tanya Julie.
Annabele cukup terkejut mendengar pertanyaan Julie, hingga langsung menyentuh telinga kiri dan tak mendapati antingnya.
"Hah, ke mana antingku yang sebelah?" Annabele tampak panik.
"Kamu nggak merasakan kalau hilang?" tanya Julie.
Annabele menggeleng dengan wajah panik, anting itu adalah pemberian seseorang yang entah kenapa membuat gadis itu terus ingin memakainya. Annabele sudah memakainya lebih dari sepuluh tahun.
"Bagaimana ini? Kenapa hilang?" tanya Annabele dengan mimik wajah yang menunjukkan kesedihan.
"Coba nanti cari di rumah, siapa tahu terjatuh di kamar." Julie mencoba melegakkan hati Annabele agar tidak terlalu cemas.
Annabele mengangguk pelan, berharap kalau yang dikatakan oleh Julie benar, antingnya jatuh di rumah.
-
-
Di ruang CEO. Pria yang tadi bersama Annabele di lift, ternyata adalah CEO baru di perusahaan Annabele bekerja. Cristian Ambrosius, pria dengan mata berwarna coklat keemasan, memiliki rahang kuat dengan garis wajah begitu tegas.
Cristian duduk di kursi kebanggaannya, satu telapak tangan mengepal karena menggenggam sesuatu.
"Aku menemukanmu," gumamnya dengan senyum kecil di wajah.
"Apa aku barau melihat sebuah senyuman?" Pria lain yang tadi bersama Cristian, tampak berjalan menuju meja Cristian.
Pria itu adalah Simon, saudara Cristian dan juga seorang manager umum di perusahaan itu.
"Apa kamu tidak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk, hah?" tanya Cristian yang memasukkan sesuatu dari kepalan tangan ke saku jas.
Simon duduk di kursi yang ada berada di depan meja Cristian, menatap ekspresi saudara yang tak seperti biasanya.
"Gadis itu, apa itu dia?" tanya Simon.
Cristian yang tadinya ingin mengabaikan kedatangan Simon, akhirnya menatap pada saudaranya itu.
"Ya, jadi jangan ganggu dia!" jawab Cristian dengan penekanan di setiap kata.
Simon tersenyum kecil saat menatap Cristian, hingga kemudian berkata, "Tapi dia sangat menarik dan mencolok, apa aku boleh--" Simon menghentikan ucapannya ketika melihat Cristian menatap tajam dengan bola mata yang berubah berwarna gold.
"Oh, baiklah. Aku hanya bercanda," ujar Simon, lebih baik tak menggoda dari pada pria itu murka.
"Kembali ke pekerjaanmu!" perintah Cristian.
-
-
Annabele dan Julie sudah berada di meja makan kantin. Annabele masih memikirkan antingnya yang hilang.
"An, ayo dimakan!" ajak Julie karena Annabele hanya mengaduk-aduk makanannya sejak tadi.
"Bagaimana kalau antingku yang sebelah benar-benar hilang?" tanya Annabele yang masih memikirkan benda itu.
"'Kan belum dicari di rumah," kata Julie.
Annabele tak menjawab, masih mengaduk-aduk makanannya karena frustasi.
"Hei, kenapa?" Teman kerja pria Annabele dan Julie ikut duduk, bahkan langsung duduk di sebelah Annabele.
"Dia kehilangan antingnya, Sam." Julie melihat ke arah Samuel—teman kerja, hingga kemudian pada Annabele.
"Anting?" Samuel langsung menyentuh dagu Annabele dan menggerakan kepala gadis itu ke kanan dan kiri. "Mau beli yang baru? Akan aku belikan kalau mau," tawar Samuel.
"Hah! Tidak, tidak! Aku hanya sayang saja dengan anting itu," tolak Annabele yang tak menyangka jika teman kerjanya itu malah menawari anting baru.
Annabele kembali menatap makanan yang ada di meja sebelum akhirnya menyantap. Mencoba menghindari tatapan Samuel yang baginya terlalu intiim.
Tanpa diketahui ketiganya, sepasang mata memperhatikan gerak-gerik mereka.
"Apa kamu kalah cepat, hah?"