Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Cuplikan kenangan Ega

Raizel mengarahkan pandangannya pada Ega, ingin tahu kenapa tiba-tiba Ia berhenti. Namun, malah Raizel melihat Ega terbang mendekati vas besar di samping sofa.

Vas itu sengaja diletakan di ruang tamu oleh Fani, untuk menjadi hiasan sudut dinding.

Sembari tangannya bergerak memunguti pecahan kaca, Raizel tetap menyempatkan matanya untuk mengawasi Ega.

Sedang apa dia di samping vas itu?

Di dalam hati, Raizel bertanya-tanya apa yang dilakukan Ega di sana.

Kemudian, Ega tiba-tiba mengangkat sebelah tangannya.

Membuat Raizel terperanjat berhenti memungut pecahan kaca, takut Ega akan melukai Egy atau Fani.

Kemudian ....

Praaang ...!! Lagi.

Vas besar itu pecah.

Ternyata Ega tidak melukai Egy dan Fani, tapi Ia terbang ke sisi vas hanya ingin menghancurkan vasnya.

Ega dengan sengaja memecahkan vas tersebut, membuat seolah-olah bahwa Egy yang menyenggolnya.

"Egy, hati- hati!" seru  Fani.

"Maaf Mah, aku nggak sengaja."

Egy bingung, merasa bersalah karena vas yang pecah adalah satu-satunya vas kesayangannya, yang dibelikan oleh Ayahnya saat Ia berumur 14 tahun.

Setelah itu Ega tertawa keras seperti tangisnya sebelumnya, dan lagi-lagi tawanya hanya bisa didengar oleh Raizel seorang.

Kini pekerjaan mereka untuk membereskan ruangan itu menjadi lebih banyak.

Sebenarnya, apa maksud Ega melakukan itu semua?

Serpihan kaca dan vas yang Ega pecahkan, sudah hampir selesai mereka bersihkan.

Lalu, Raizel melihat Ega berlari menuju salah satu pintu yang Raizel ingat, itu adalah pintu untuk ke halaman belakang.

Raizel memberanikan diri untuk mengikuti Ega, Ia khawatir, Ega akan berbuat sesuatu hal yang buruk lagi.

Raizel berlari diam-diam menyusul Ega tanpa sepengetahuan Egy dan Fani.

Ternyata benar, itu pintu untuk ke halaman belakang rumah Egy.

Di situ juga dia melihat Ega menghampiri sebuah pohon bunga kertas berwarna, merah jambu kesukaan Fani.

Di salah satu ranting pohon bunga kertas itu, ada pot bunga Anggrek putih yang menggantung.

Ega mengangkat sebelah tangannya lagi, Raizel rasa, Ega mencoba untuk menjatuhkannya, seperti halnya Ia tadi menjatuhkan figura dan vas di ruang tamu.

"Egaaa ....

Berhenti!" teriak Raizel, berusaha menghentikan Ega yang mencoba menjatuhkan pot Bunga Angrek itu.

Ega pun berhenti, Ia membalikkan tubuhnya menghadap Raizel.

Seketika, di gelap malam itu. Ditemani dinginnya angin darat membuat suasana benar-benar mencengkram.

Raizel menelan ludahnya, kemudian mendekat, menyisihkan jarak kurang lebih 11 langkah dari tempat Ega berdiri. Ia memberanikan diri untuk bertanya lagi pada Ega yang diam bergeming menatapnya.

"Kamu beneran Ega? Bener, 'kan?"

Ega tetap diam tak menjawab.

"Ega ... tapi kenapa kamu ngelakuin ini semua? Apa tujuanmu? Apa yang pengen kamu sampaikan?"

Setelah itu, angin menghempas dedaunan pohon, membuat suara khas pada malam hari yang menyelimuti rasa takut Raizel. Lalu, Ega berjalan maju mendekatinya.

Menimbulkan hati yang tidak tenang.

Jantung yang berdebaran panik, menahan rasa takut yang muncul setiap kaki Ega melangkah mendekat.

Raizel tetap menjaga jaraknya pada Ega.

Setiap Ega melangkah maju, maka Raizel akan melangkah untuk mundur, seterusnya seperti itu.  Hingga Ia tidak menyadari telah kehabisan ruang untuk mundur lagi.

Punggungnya tersudutkan oleh tembok rumah, sudah terlambat bagi Raizel untuk berlari kabur dari Ega.

Ega berhenti, menyisakan satu langkahnya lagi, yang di mana satu langkah itu akan sampai pada Raizel.

Kemudian, Ia mengangkat lurus tangannya ke depan, perlahan telapak tanganya menyentuh tengah dada Raizel.

Karena tinggi badan Ega yang tepat sejajar dengan dadanya, ditambah baju yang Ega kenakan sobek, yang membuat hal itu tidak mampu menutupi pundaknya dengan sempurna.

Mata Raizel tertenggun pada pemandangan pundak Ega.

Karena, terlihat di pundaknya yang terbuka, di situ ada beberapa luka titik merah.

Setelah Raizel memperhatikannya lebih jelas, ternyata luka Itu adalah luka bakar yang Raizel pikir disebabkan oleh putung rokok.

Raizel melirik mata Ega yang sama sekali tidak berkedip, ditambah kantung matanya yang hitam terus saja menatap tajam padanya.

Meskipun begitu, Ia menjadi bertanya- tanya, apa yang telah terjadi pada Ega sebelumnya?

Kemudian Raizel terdiam, Ia hanya berfikir bahwa Ia harus tahu masa lalu Ega yang sesungguhnya.

Dengan rasa penasaran yang mengalahkan rasa takutnya, kini Raizel memutuskan untuk melihat kenangan terakhir Ega.

"Ega, maaf sebelumnya, aku minta izin buat ngelihat sedikit kenangan terakhir kamu ... supaya aku tahu apa yang terjadi sama kamu" ucap Raizel.

Ega tetap diam 'tak bergeming,

Bahkan tidak menjawab.

"Karena kamu dari tadi diam, aku anggap itu adalah jawaban, iya"

Raizel kemudian menggenggam pergelangan tangan Ega yang sedari tadi terus saja menempel di tengah dadanya.

Saat Raizel menggenggam pergelangan tangan Ega, rasa dingin yang ditimbulkan oleh kulit Ega yang pucat, menusuk telapak tangan Raizel.

Meskipun begitu, hal itu tidak membuatnya untuk mengurungkan niat dalam Raizel, yaitu melihat kenangan terakhir Ega.

Ega diam membiarkan Raizel melakukannya, ia hanya tetap menatap tajam Raizel. Karena tujuan Ega melakukan itu pada Raizel adalah ingin meminta tolong sesuatu.

Kemudian Raizel memejamkan matanya, di saat matanya menutup. Segelintir gambar kenangan muncul di pikirannya, bukan gambar tapi cuplikan kejadian.

Di mana di dalam cuplikan itu, Raizel melihat anak perempuan berumur 10 tahun menangis karena dipukuli oleh seorang pria dewasa.

Pria itu memukulnya dengan tongkat kayu kecil, setiap Ia memukul dan di manapun kayu itu mendarat. Akan meninggalkan bekas merah pada tubuh anak perempuan itu .

Semakin jelas ... jelas ... dan jelas .... Cuplikan itu memperlihatkan wajah anak perempuan tersebut yang ternyata adalah ... Ega.

Raizel merasa sudah cukup Ia menjelajah kenangan buruk Ega, Ia memutuskan untuk membuka matanya. Namun saat matanya terbuka, Ega sudah menghilang dari hadapannya.

Raizel termenung, tidak percaya bahwa yang dilihatnya dalam kenangan Ega, benar-benar adalah Ega yang berumur 10 tahun.

Sedangkan yang Raizel tahu, Ega meninggal pada usia 7 tahun.

Apa yang sebenarnya terjadi.

Hal itu membuat Raizel semakin ingin tahu kebenarannya.

Egy dan Fani sudah selesai membersihkan kekacauan yang dibuat Ega, di saat itu juga, Egy menyadari bahwa Raizel tidak ada di ruangan bersama mereka.

Egy yang menyadari itu, lantas Ia bertanya pada Ibunya. Bahwa Ibunya—Fani, melihat Raizel atau tidak? Tapi jusru Fani baru saja sadar jikalau Raizel tidak ada di sana bersama mereka.

Fani mengatakan pada Egy, Ia akan mencari Raizel, tapi Egy menjawab bahwa dirinya saja yang akan mencarinya sendiri.

"Jangan, Mah. Biar Egy aja yang nyari," ucap Egy.

"Oh, ya udah. Kalo gitu, Mamah masuk kamar dulu ... masih jam dua malam, Mamah pengen lanjut tidur," pungkas Fani berlalu pergi Ke kamarnya.

Egy hanya diam menatap Ibunya, yang berjalan masuk ke dalam kamar.

"Kemana tuh anak? ngilang gitu aja," cibir Egy "coba gue cek ke halaman belakang, barangkali dia ada di sana."

Alasan Egy berinisiatif untuk mencari Raizel ke halaman belakang rumahnya, bukan karena Ia melihat Raizel ketika pergi secara diam-diam, meninggalkan ruangan saat dia dan Ibunya membereskan keributan Ega di ruang tamu.

Melainkan, karena Egy sudah curiga sejak lama, bahwa Raizel adalah seorang Indigo.

Banyak alasan untuk Egy curiga, dari kebiasaan Raizel saat berkumpul bersama, yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Lalu, dari sikap anehnya yang tiba-tiba berubah layaknya sedang ketakutan.

Entah takut apa, Egy saja tidak paham.

Setelah itu Egy berjalan santai menuju halaman belakang untuk mencari Raizel.

Saat Egy sudah sampai di ambang pintu, Egy melihat Raizel tengah diam berdiri melamun di bawah pohon bunga kertas.

"Tuh, 'kan bener. Dia di sini, Rai–" seru Egy, yang tiba-tiba menjeda. "Eh tunggu. Ngapain dia disitu?" Lanjutnya lirih.

Karena Egy penasaran, Ia sengaja menunda niatnya untuk lansung memanggil atau menemui Raizel.

Egy memilih diam sembari melipatkan kedua tangan diatas perutnya, lalu bersandar di teras samping pintu memperhatikan Raizel dalam diam.

"Gue harus tahu kebenarannya tentang Ega, hal ini benar-benar ganjil ...," gumam Raizel,

"dan kenapa Ega dipukuli? Kenapa juga ada bekas luka putung rokok di pundaknya?" Lanjutnya.

Karena Raizel tidak tahu, dirinya diperhatikan oleh Egy. Ia sengaja tidak mengecilkan intonasinya saat bergumam, yang menyebabkan semuanya didengar jelas oleh Egy.

Kata-kata Raizel sungguh membuat Egy benar-benar syok.

"Apa! ... Raizel bilang tentang Ega? Apa maksudnya dengan Ega dipukuli?"

Tangannya yang semula dilipat di atas perutnya, kini sudah tidak lagi.

"Siapa yang dipukuli? Ega? Dan Siapa juga yang kena putung rokok?" Kini giliran Egy yang bertanya- tanya.

Egy mengerutkan keningnya, mencoba lebih fokus untuk memperhatikan Raizel dengan jelas.

"Udah lah! Pikir nanti aja, gue harus masuk sebelum Egy nemuin gue di sini," kata Raizel.

Namun, Raizel tidak tahu bahwa Egy sudah memperhatikannya dari tadi, dan juga semua yang dikatakannya telah didengar oleh Egy.

Raizel membalik tubuhnya, berniat untuk masuk. Tetapi kala itu juga, Ia tercengang karena melihat sosok remaja.

Diam menyender pada pintu, yang ternyata itu adalah ... Egy.

Mata dan mata saling bertemu.

Egy memandang Raizel dengan pandangan datar. Sedangkan Raizel memandang Egy dengan terkesiap.

"Eg-Egy ... lo ngapain di sini?" tanya Raizel cemas bahwa Egy akan tahu Rahasianya.

"Harusnya gue yang nanya ... ngapain lo di sini?" balas Egy.

"Gu-gue di sini habis telfonan sama nyokap?" kilah Raizel, berbohong.

"Nyokap lo telfon?" tanya Egy dengan wajah datarnya, karena Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Raizel adalah kebohongan.

"Iy-yaa" jawab Raizel gugup.

Egy diam tidak bertanya lagi.

Bola mata Egy terus saja meninjau mata Raizel, Raizel sangat berharap saat itu Egy tidak tahu apapun,

termasuk tidak mendengar apapun yang dikatakannya tadi.

Akan tetapi, harapan Raizel sia-sia. Karena Egy sudah mengetahuinya tepat sebelum dia membalikan tubuhnya.

Egy terperangah pada baju Raizel yang kotor, tepat di bagian dada. Hal itu membuat penasarannya terus bertambah.

Lalu Egy bertanya lagi.

"Terus, itu baju lo kenapa kotor?"

"Hah? ... oh, ini?" Raizel mencubit bagian bajunya yang kotor.

"Tadi ... tadi kena tanah," lanjutnya

Raizel benar-benar tidak menyadari kalau baju warna hitam yang dipakainya ternyata kotor, dan Ia tahu pasti penyebab kotornya, adalah telapak tangan Ega.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel