BAB 1 WAJAH TAMPAN
Catalina membelai wajah tampan yang terbaring di ranjangnya. Sepasang mata milik pria itu terpejam. Sementara luka di bagian dada kiri pria itu terus mengalirkan darah. Bukan darah biasa, berwarna hitam pekat.
Ini adalah hari ketiga pria itu ada di kamar rumah Catalina. Pria yang ditemukan oleh pembantunya. terkapar di tepi pantai dekat rumahnya. Entah bagaimana pria itu bisa berada di sana.
Keadaan pria itu menyedihkan. Wajahnya pucat seperti kapas. Dia kehilangan banyak darah. Sementara dia masih juga belum tersadar.
Seorang pelayan Catalina masuk dengan sebuah baskom. Di dalamya ada handuk dan air hangat.
“Sebaiknya kita bawa saja dia ke rumah sakit terdekat.”
“Ini sulit Martha. Kita harus memberikan penjelasan pada polisi nanti.” Catalina menolak usul pelayannya.
“Dia tidak akan bertahan hidup lebih lama. Butuh keajaiban untuk membuatnya tersadar.”
“Semoga keajaiban itu segera datang. Lihatlah, sudah tiga hari dan dia masih bertahan hidup. Dia berjuang untuk tetap hidup.”
“Tapi dia tersiksa, Sayang.”
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Martha pun bergeser. Dia berdiri di belakang Catalina. Ucapan Martha membuat Catalina bersedih. Selama tiga hari terakhir, pria itu telah menjadi teman baiknya. Catalina selalu datang untuk merawatnya. Dia juga mengajaknya berbicara. Meski pria itu sama sekali tidak bisa menanggapi.
Jika benar apa yang Martha katakan, artinya pria ini akan mati. Butir-butir air mata mulai jatuh di pipi Catalina. Dia menggenggam tangan pria itu, mengecup lembut di sana. Ada ketakutan dalam diri Catalina. Takut kehilangan adalah satu-satunya alasan yang membuat Catalina menangis.
Dia tidak ingin pria itu mati. Air mata Catalina semakin deras mengalir. Catalina mendekatkan wajahnya ke wajah pria itu. Tanpa dia sadari, satu butir air matanya jatuh tepat di luka yang ada di dada pria itu.
Catalina mengecup lembut bibir pria yang terbaring tak berdaya tersebut. Dia pun kembali ke posisi duduknya. Bersiap untuk merawat luka Sang Pria. Dia ingin melakukan yang terbaik. Hingga saat terakhir pria itu, jika memang dia harus pergi.
Tiba-tiba luka di dada pria iu bersinar. Sebuah cahaya hijau yang menyilaukan muncul di sana. Martha bahkan harus menutup wajahnya. Cahaya itu terlalu terang dan membuat matanya terasa sakit.
“Menjauhlah Catlin! Tutup matamu! Cahaya itu bisa membuatmu buta!” Martha berteriak memperingatkan Catalina.
Anehnya Catalina tidak merasakan apa pun. Dia melihat cahaya itu sebagai hal yang biasa. Matanya bisa melihat cahaya itu dengan baik. Tanpa merasa sakit atau silau. Catalina terus memperhatikan luka di dada pria itu.
Setelah beberapa saat, perlahan cahaya itu meredup. Secara ajaib, luka pria itu tertutup sempurna! Seolah tidak pernah ada luka di sana. Hanya ada jejak darah hitam yang telah mengering. Catalina mengerjapkan mata. Sulit untuk mempercayai apa yang dia lihat.
Pria itu mulai bergerak. Perlahan dia membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah Catalina. Wajah cantik khas Eropa dengan hidung mancung. Beberapa helai rambut ikal Catalina terjuntai di wajahnya. Dia memandang Catalina cukup lama. Dua mata coklat gelap milik Catalina bertemu dengan sepasang mata biru pria itu.
“Akhirnya kau datang,” pria itu mengucap lirih.
“Ini rumahku, kau yang sedang bertamu.”
Pria itu tersenyum mendengar ucapan Catalina.
Martha mendekat. Dia berbisik pada Catalina.
“Biarkan dia beristirahat. Orang yang baru terbangun setelah berhari-hari pingsan biasanya merasa bingung.”
Catalina mengangguk setuju. Setidaknya sebelum pergi, dia ingin tahu siapa nama pria itu.
“Siapa namamu?”
“Billy.”
“Baiklah Billy, sebaiknya kau beristirahat. Pembantuku akan mengirim makanan untukmu. Kau bisa membersihkan diri di kamar mandi dengan air hangat. Kita akan bicara lagi nanti.”
Catalina pun bersiap untuk berdiri. Namun tiba-tiba tangan Billy meraih pergelangan tangan Catalina.
“Jangan tinggalkan aku. Aku telah menunggumu lebih dari lima ratus tahun.”
Wajah Catalina tampak kebingungan. Dia bertukar pandang dengan Martha. Sepasang mata biru pria itu memancarkan kesedihan dan kerinduan. Catalina kembali duduk di tepi ranjang.
“Dengar ya, kau telah pingsan selama tiga hari. Sebaiknya kau beristirahat dulu. Mungkin selama tidur panjangmu, beberapa mimpi datang. Jangan kau pikirkan semua itu.”
“Siapa namamu?” tanya Billy.
“Catalina.”
“Catalina, akhirnya kau datang. Kau tidak tahu betapa menderitanya aku. Lebih dari lima ratus tahun aku mencarimu.”
Perkataan Billy mulai membuat Catalina cemas. Tampaknya pria ini mulai berimajinasi. Namun Catalina bahagia melihatnya terbangun.
“Billy, kita akan bicara lagi nanti. Bersihkan dulu dirimu. Aku tidak punya baju pria. Tapi ada beberapa milik kakekku di lemari itu. Untuk sementara kau bisa memakainya.”
Dengan lembut Catalina melepaskan cengkeraman Billy dari pergelangan tangannya. Ketika tangan Billy terlepas, Catalina merasa kehilangan. Dia ingin kembali bersentuhan dengan Billy. Tapi perasaan itu segera ditepisnya.
“Aku menunggumu di meja makan. Setelah selesai mandi, kau bisa turun ke lantai bawah. Tapi kalau kau masih merasa lemah, pembantuku akan mengirim makanan untukmu.”
Selesai mengucapkan kalimatnya, Catalina dan Martha keluar dari kamar yang ditempati Billy. Wajah Catalina menyiratkan kegelisahan. Sepasang mata Billy membuatnya terpesona. Dia merasa telah melihat mata itu sejak lama.
Sesuatu yang mustahil. Catalina baru bertemu Billy tiga hari lalu. Dan semenjak itu, dia sama sekali tidak melihat mata Billy. Pria itu dalam keadaan pingsan dan matanya terpejam.
“Memikirkan sesuatu?” tanya Martha.
“Siapa dia, Martha. Aku merasa punya ikatan dengan Billy.”
“Sudahlah sayang, itu hanya karena kau selalu merawatnya sejak dia di sini.”
“Martha, kenapa luka Billy bisa tiba-tiba sembuh?”
“Itulah yang aku khawatirkan. Mungkinkah dia pria yang sedang dibicarakan seluruh penghuni hutan.”
“Pria yang tinggal di kastil?”
Martha mengangguk sambil meletakkan jarinya di bibir. Dia memberi isyarat agar Catalina tidak membahas hal itu.
“Tidak mungkin. Menurut para penghuni hutan, pria itu sangat menyeramkan. Sementara Billy, lumayan tampan. Bukan begitu, Martha?”
“Jangan bilang kau jatuh cinta padanya ya,”
Martha tersenyum lebar dan bergegas mendahului Catalina ke lantai bawah. Sementara Catalina berjalan perlahan. Sesekali dia menoleh ke arah pintu kamar yang Billy tempati.
Jatuh cinta? Ah, apakah dia masih bisa memiliki perasaan seperti itu? Perceraiannya dengan Derk telah membuat Catalina mati rasa. Luka di hatinya masih belum sembuh. Salah satu alasan yang membuatnya berada di rumah ini.
Martha benar, pasti ini hanyalah sebuah perasaan kedekatan. Karena selama beberapa hari merawatnya perasaan itu datang. Catalina membuang jauh pikiran tentang cinta. Dia pun menuju ke lantai bawah. Sebentar lagi waktunya makan siang.
Seekor burung tiba-tiba masuk ke rumah Catalina. Burung pagi yang selalu bernyanyi untuknya.
“Pria itu hilang! Kekacauan terjadi di hutan bagian selatan. Ada monster yang datang. Dia memangsa makhluk apa pun yang ada di dekatnya.” Burung itu berkicauan. Hanya Catalina yang bisa memahami apa yang burung itu bicarakan.