Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Suara Apa di sana?

Bu Rasti, Anton dan Parmi. Kini tengah mengantre di sebuah rumah sakit. Tepatnya di poli THT. Parmi bersikeras agar Anton memeriksakan kesehatan telinganya. Padahal berkali-kali Bu Rasti dan Anton memberitahukan bahwa telinga Anton baik-baik saja. Akhirnya Anton memberikan syarat kepada Parmi, agar ia juga ikut memeriksakan telinganya. Pada awalnya Parmi menolak, ia mengatakan bahwa ia mendengar cukup baik hanya sesekali suka budeg, tapi itu hanya sesekali katanya.

Parmi duduk tepat tidak jauh dari Anton, sesekali Parmi melirik Anton, yang wajahnya terlihat sedikit kesal. Sedangkan Bu Rasti masih asik dengan ponselnya.

"Ngapain sih, Ma?" tanya Anton sambil melirik ke arah ponsel mamanya.

"Ini, mama lagi pilihkan baju kebaya untuk Parmi dan jas untuk kamu." sahut Bu Rasti, matanya masih fokus di layar ponsel.

"Sewa aja Mah, biar irit!"

"Hush...nikah sama anak perawan, semua harus baru. Pamali ah sewa!"

Anton memutar bola mata malasnya. Kemudian tanpa disengaja saling bertatapan dengan Parmi. Wanita itu tersenyum kecil, namun Anton menanggapinya dengan cuek.

"Semoga pernikahan ini bukan neraka bagi saya, lelaki itu melakukan semua ini dengan terpaksa." Gumam Parmi dalam hati, sambil menarik nafas panjang. Ia membuang pandangannya ke arah lain. Senyumnya terbit tatkala melihat sepasang suami istri berjalan di depannya. Sang suami menuntun istrinya yang berjalan kepayahan, karena perut istrinya membesar. Senyum penuh terimakasih terbit dari bibir sang istri, Parmi menatapnya bahagia. Bola matanya beralih kembali pada Anton. Apakah ia kelak akan diperlakukan manis seperti itu nantinya? Atau ia hanya akan menjadi pabrik memproduksi cucu bagi keluarga Anton. Lagi-lagi Parmi bermonolog, tubuhnya menjadi lemah tak bersemangat. Tadi pagi, ia tanpa sengaja mendengar percakapan Anton dengan Bu Rasti.

Flash back pagi

"Mah, berat banget ini sebenarnya saya mau menikahi Parmi."

"Lho kenapa? Bukannya kamu sudah setuju."

"Parmi terlalu lamban, Mah. Telinganya juga budeg, sedikit jorok lagi!"

"Mah, plis. Pikirkan lagi, Saya tidak mau pernikahan ketiga saya ini hanya untuk memenuhi keinginan Mama untuk punya cucu. Saya lelaki berpendidikan, Mah. Masa dapat wanita dusun sih!"

Wanita dusun yang sedang dibicarakan mereka, ternyata kini tengah mendengar semuanya dengan jelas. Air mata wanita itu menggenang, ia terdiam di depan pintu kamar majikannya yang tidak tertutup rapat.

Flash back off

"Pasien Parmi!" panggil perawat poliklinik THT. Parmi berdiri, diikuti oleh Anton dan Bu Rasti. Ketiganya masuk ke ruang periksa.

"Selamat malam. Parmi yang mana?" tanya dokter THT lelaki yang terlihat masih muda. Saat melihat ketiganya masuk ke dalam ruangannya.

"Saya dok!" sahut Parmi lalu duduk persis di depan sang dokter.

"Apa keluhannya?"

"Budeg dok, kalau dipanggil suka tidak dengar, ga nyambung pula." jawab Anton, membuat Parmi menoleh ke arah Anton.

"Sama tuan juga!" sahut Parmi cuek, lalu kembali melihat ke arah dokter tampan tersebut.

"Sudah-sudah, berantem terus!" Bu Rasti menengahi, sambil menggelengkan kepalanya.

"Saya mau anak dan calon menantu saya ini, diperiksa kondisi kesehatan telinganya dok!" ucap Bu Rasti dengan tegas. Dokter itu mengangguk, paham. Lalu meminta Parmi untuk duduk di kursi periksa. Perawat menyiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk memeriksa telinga Parmi. Parmi sudah duduk manis di kursi khusus periksa THT. Walaupun sebenarnya ia sedikit berdebar. Dokter itu mendekat kepada Parmi, tangannya yang tertutup sarung tangan, meraih telinga Parmi.

"Hihihi...geli!" Parmi bergidik saat telinga kanannya dipegang.

"Maaf, Mba. Ini sebentar saja kok. Tahan ya!" ucap dokter tersebut sambil tersenyum maklum. Kini tangannya memegang kembali telinga Parmi.

"Hihihi...geli ih dok!" Parmi kembali bergidik. Bulu romanya berdiri tanda ia merinding.

"Tahan Mba!" kini perawat itu, memegang lengan Parmi agar tidak bergerak.

Bu Rasti menyeringai melihat Parmi cekikikan tertawa kegelian saat telinganya diperiksa dokter. Jari telunjuknya menyolek lengan Anton. anak lelakinya itu menoleh.

"Tuh, liat.  telinga Parmi ternyata titik sensitifnya, nanti kamu bisa berlama-lama menggoda Parmi disana!" bisik Bu Rasti, membuat Anton tiba-tiba bergidik.

"Nanti kalau bau gimana, Mah?"

"Ini makanya diobatin. Percaya orangtua kenapa sih Ton?"

Periksaan Parmi dilanjutkan di telinga sebelah kirinya. Kembali lagi Parmi gelisah, tertawa cekikikan, saat telinga dipegang.

"Jangan dipegang dok, geli!" rengek Parmi, membuat Anton menoleh tak sabar. Lelaki itu merasa jengah dengan tingkah Parmi. Ia tiba-tiba saja berdiri menghampiri Parmi yang sedang meronta kegelian.

"Maafkan calon istri saya ya dok. Orangnya memang gelian!" ucap Anton lalu merangkul Parmi.

"Kalau kamu masih berisik, kamu aku tinggal. Pulang sendiri sana!" bisik Anton tepat di telinga Parmi. Parmi menatap sengit Anton.

"Sana ga usah pegang-pegang!" Parmi menepis lengan Anton yang tengah merangkulnya. Namun Anton tetap saja masih merangkul Parmi. Entah apa maksudnya? Parmi sendiri tidak mengerti.

"Berhenti bersikap aneh, kamu itu calon istriku!" bisik Anton lagi, namun kini perkataan Anton barusan membuat wajah Parmi memerah. Ia mencoba kembali menahan rasa geli yang mendera saat telinganya dibersihkan oleh dokter. Anton masih merangkul Parmi, padahal dokter telah selesai memeriksa.

"Nanti rangkul lamanya kalau sudah sah ya, Nak!" seru Bu Rasti membuat Anton tersadar, lalu dengan cepat melepas rangkulannya dari pundak Parmi.

Kini Anton yang diperiksa oleh dokter. Tak memakan waktu lama, karena memang Anton baru saja dua bulan lalu, memeriksakan kesehatan telinganya.

"Bagaimana kondisi telinga anak menantu saya dok?" tanya Bu Rasti penasaran.

"Nona Parmi, kotoran telinganya terlalu banyak dan keras, ada sedikit luka juga disana. Hingga mengakibatkan nona Parmi mungkin mengalami masalah dengan pendengarannya. Tapi sudah saya bersihkan, saya juga berikan obat minum dan obat tetes ya."terang dokter tersebut.

"Tai kuping saya keras maksud dokter?" tanya Parmi dengan polosnya.

Dokter terbahak mendengar ucapan Parmi.

"Iya, Mba kotoran!"

"Iya tai kan, tai kuping!" ucap Parmi lagi menegaskan, dokter dan perawat disana tak bisa menahan tawa mereka.

"Tidak perlu diperjelas Parmiii!" Anton menahan malu, sambil berbisik di telinga Parmi.

"Tapi sudah bersihkan sekarang, sudah lembek lagi, kan?"

Hahahaha...semua terbahak.

"Sudah-sudah, Parmi ada-ada saja." Bu Rasti menengahi.

"Trus telinga Anton anak saya bagaimana dok?"

"Kondisi telinga Pak Anton baik-baik saja, bersih kok. Kotorannya hanya sedikit."

"Tuh denger ga, telinga aku baik-baik aja." sela Anton sambil melihat ke arah Parmi yang terkesan cuek. Parmi hanya melirik Anton sekilas, lalu mengulum senyum. Setelah keduanya memperoleh obat, mereka pun pulang ke rumah. Tepat pukul setengah sepuluh malam, mereka sampai di rumah.

"Parmi, buatkan saya teh ya!" titah Anton, sebelum ia masuk ke kamarnya.

"Iya tuan. Ibu mau teh juga?" tanya Parmi pada Bu Rasti.

"Tidak usah Mi, ibu mau langsung istirahat saja. Kamu jangan lupa mandi tuh, habis dari rumah sakit ini kita!" Bu Rasti mengingatkan Parmi, lalu masuk ke dalam kamarnya.

Parmi bergegas menuju kamar mandi belakang. Ia mandi dengan cepat karena sudah malam. Dengan memakai kaos longgar dan celana panjang batik, Parmi membuatkan teh hangat untuk Anton. Setelahnya ia membawa teh tersebut ke kamar Anton.

Tok..tok...

"Tuan, ini tehnya!"

"Masuk!"

Parmi dengan perlahan membuka pintu kamar Anton. Tampak Anton baru saja selesai mandi. Tubuhnya juga sudah memakai kaos tidur bewarna biru gelap. Hanya dari pinggang sampai lutut, masih tertutup handuk.

"Taruh disitu aja Mi!" mata Anton mengarah pada meja kerjanya. Parmi kemudian menaruh gelas teh tersebut disana.

"Makasih!" ucap Anton sambil menyisir di depan kaca.

"Sama-sama, permisi tuan!" pamit Parmi lalu berjalan ke arah pintu kamar Anton, namun langkahnya tidak ia perhatikan hingga ia tersandung karpet kamar.

Buugg...

"Aduh!"

Parmi terjatuh duduk sambil memegang kakinya. Anton menoleh kaget saat melihat Parmi kesakitan terduduk.

"Ya Allah, kamu kenapa?" tanya Anton sedikit khawatir menghampiri Parmi.

"Ga sengaja kepladuk tuan, auu.." Parmi merintih sakit.

"Sini saya lihat!" Anton menyentuh kaki Parmi, terlihat sedikit merah disana. Anton lalu membantu Parmi untuk berdiri, namun Parmi berteriak sakit. Akhirnya Anton menggendong Parmi, menaruhnya di atas ranjangnya.

"Sebentar saya ambil minyak gosok!"

Anton membuka laci meja kerjanya, ia mengambil minyak gosok tersebut. Lalu kembali mendekati Parmi.

"Saya pijat sedikit kamu tahan ya!" ucap Anton.

"Jangan ah!emang tuan bisa pijat, nanti malah kaki saya malah jadi ostorosis." Parmi menolak, namun rasa sakit kakinya semakin menjadi.

"Mana ada gara-gara pijat jadi osteophorosis!" Anton menggelengkan kepalanya. Lalu mulai menuangkan minyak ke kaki Parmi. Memijatnya dengan perlahan.

"Ssst...aahh...sakit!" suara rintihan Parmi membuat Anton, menelan salivanya.

"Hhuustt... Jangan berisik nanti didengar mama!"

"Sakit tuan!" rintihnya lagi.

"Iya ini saya pelan-pelan. Awalnya emang sakit. Nanti juga enakan!"

"Tahan ya!"

"Sst..aduh...sakit, cepetan tuan!"

"Iya ini sedikit lagi."

Tanpa mereka sadari, Bu Rasti tengah menguping pembicaraan mereka.

"Ya Allah, kenapa Anton nekat belah duren sekarang sih?Wah,gawat! harus besok ini dinikahi." Bu Rasti bergumam sambil meremas tangannya.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel