8. Lepaskan Aku
Begitu terbangun, Tuan Dingin langsung tersentak. Secepat kilat, laki-laki itu melihat ke arah pemanas. Ketika menemukan Amber masih berbaring di lantai, barulah ia dapat bernapas lega.
“Syukurlah,” gumamnya tanpa sadar.
Dengan tenang, Tuan Dingin menghampiri dan memeriksa. Namun, ketika mendapati wajah yang memerah, matanya kembali terbelalak.
“Nona?” panggilnya sambil menarik pundak sang wanita.
Tanpa terduga, punggung Amber langsung rebah. Kepalanya pun terkulai tak berdaya. Bibir wanita itu pucat, sementara keringat membanjiri keningnya. Menyaksikan hal itu, sang pria otomatis menyentuh pipi Amber.
“Astaga! Kenapa badanmu panas sekali?”
Setelah menggetarkan bola mata sejenak, Tuan Dingin bergegas masuk ke kamar tidur. Dengan alis berkerut, ia mencari pakaian terlayak di antara tumpukan baju. Namun, selang beberapa detik, belum ada satu pun yang dipilih. Tak ingin membuang waktu, pria itu akhirnya membuka lemari dan mengambil sweater putih dari kotak merah.
Selesai memakaikan Amber baju, Tuan Dingin memindahkan wanita itu ke sofa. Setelah membentangkan selimut, ia pergi mengambil sebaskom air dan handuk.
“Kenapa kau selalu menyusahkanku?” desah pria itu sambil meletakkan handuk basah di kening Amber.
Selama beberapa menit berikutnya, Tuan Dingin terus duduk di sisi sang wanita. Walau hatinya kesal dan masih terisi kebencian, ia sadar bahwa keselamatan Amber merupakan tanggung jawabnya.
***
Saat terbangun, Amber terkejut oleh tangan hangat yang menempel di pipinya, dan ketika melihat Tuan Dingin, keheranannya berlipat ganda. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya hampir tak terdengar.
“Tadi pagi kau demam, tapi sekarang sudah reda,” terang pria itu seraya mengambil sebuah cangkir dari meja di dekat sofa. “Minumlah! Kau akan merasa lebih baik.”
Alih-alih menyambut bantuan, Amber malah mengerutkan alis dan menyingkap selimut. Begitu melihat pakaian yang melekat di tubuhnya, ia mendesah tak percaya. “Kenapa aku memakai sweater ini?”
“Pakaianmu basah dan aku tidak punya pakaian lain untuk diberikan padamu,” jelas si penolong, canggung.
“Apa kau lupa? Kemarin, kau mencaci-maki diriku karena menyentuh sweater ini,” selidik wanita yang bosan dimarahi.
“Tenang saja. Aku tidak akan berkomentar apa-apa,” timpal sang pria sebelum menyodorkan cangkir lebih dekat. “Sekarang minumlah teh ini.”
Dengan raut datar, Amber mengabaikan tawaran Tuan Dingin. Ia berdiri dan menyingkap tirai jendela. Setelah menemukan mantel putih di jemuran, kakinya bergerak menuju pintu.
“Kau mau ke mana?” tanya sang pria, heran.
“Menetapi janji. Aku tidak akan mengganggumu lagi.”
Sambil menggertakkan geraham, Tuan Dingin meletakkan cangkir lalu menahan lengan sang wanita. “Aku tidak merasa terganggu. Kau tidak perlu pergi.”
“Aku yang merasa tidak nyaman berada di sini,” sanggah Amber seraya berbalik dan menyentak tangan.
“Tapi kau belum pulih sepenuhnya,” tegas sang pria seraya memancarkan keseriusan. “Kau tidak akan bertahan lebih dari sejam di luar sana. Lagipula, ini sudah hampir malam.”
Tanpa terduga, sang wanita melangkah maju dan menatap Tuan Dingin lekat-lekat. “Itu bukan urusanmu,” ucapnya penuh penekanan. Sedetik kemudian, ia berjalan menuju pintu.
Kesal karena Amber enggan menurut, sang pria pun mendengus. Sekali lagi, ia meraih lengan wanita itu. “Tidak bisakah kau berhenti menyusahkanku? Kau kira mudah membawamu menembus salju?”
“Aku tidak memintamu menyelamatkanku. Jadi, kau tidak perlu merasa bersalah jika aku mati membeku di luar rumahmu. Bukankah kau memang tidak peduli padaku?”
Usai membantah, Amber menepis tangan yang mengenggamnya. Namun, tepat ketika ia hendak melangkah, sang pria menangkap dan menyeretnya mundur.
“Lepaskan aku! Kenapa kau melarangku pergi?” pekik sang wanita sembari menendang-nendang.
“Karena aku tidak ingin dicap sebagai pembunuh,” sahut Tuan Dingin seraya berjalan menuju sofa. Perlawanan Amber sama sekali tidak berarti baginya.
“Omong kosong! Kau adalah kanibal. Kau memang pembunuh,” rintih sang wanita seraya mendorong lengan kekar yang melingkar di perutnya.
Setelah menurunkan Amber di sofa, Tuan Dingin menekan pundak perempuan itu agar tidak bergerak ke mana-mana. Sambil memiringkan kepala, ia mendengus remeh. “Kau ini memang bodoh, rupanya. Kau sungguh percaya kalau aku kanibal?”
“Bukankah buktinya sudah jelas? Kau tidak punya belas kasihan, kau mengoleksi tulang-tulang korbanmu, dan kau meminum darah.”
Mendengar pemaparan spontan itu, sang pria sontak tertawa datar. “Ternyata kau memang bodoh,” gumamnya sebelum pergi lalu kembali dengan sebuah botol.
“Kau mau apa?” Amber bingung mengapa Tuan Dingin membawakan “darah” ke hadapannya.
“Cobalah!”
Sambil mengerutkan alis, Amber menepis botol di dekat mulutnya. “Aku tidak mau! Aku bukan kanibal.”
Merasa kesal, Tuan Dingin akhirnya mencengkeram dagu sang wanita. Selagi Amber meronta-ronta, ia menuangkan cairan merah dari botol. Laki-laki itu tidak peduli jika sweater putihnya ternoda. Yang penting, Amber tidak lagi menuduhnya meminum darah.
“Hueek! Apa ini?” tanya sang wanita sambil mengelap mulut dengan tangan.
“Campuran lingonberi dan blueberry,” sahut Tuan Dingin seraya mengambil handuk kompres dan mulai menyeka tumpahan di sweater Amber.
“Hei!” seru wanita itu sebelum menampar tangan sang pria dan merebut handuk. “Kau tidak boleh seenaknya menyentuhku!”
Tak ingin berdebat, sang pria memutar bola mata. Padahal, ia bisa saja mengaku sudah hafal setiap lekuk di tubuh sang wanita.
“Jadi, selama ini kau menipuku? Kau bukan kanibal?” selidik Amber dengan kening berkerut samar.
“Aku tidak pernah menipumu. Kaulah yang menyimpulkan begitu,” timpal Tuan Dingin seraya menaikkan sebelah alis. “Lagipula, kalau aku memang kanibal, kau tidak mungkin masih hidup.”
“Tapi kau pernah bilang bahwa aku seharusnya bersyukur, kau tidak memakanmu bulat-bulat,” sanggah wanita berbibir pucat.
Sembari menyipitkan mata, sang pria mendekatkan wajahnya dengan Amber. “Berapa usiamu, Nona? Apakah kau tidak mengerti maksud seorang pria saat mengatakan hal itu kepada seorang wanita? Aku memang bisa memakanmu bulat-bulat.”
Tanpa sadar, Amber menahan napas dan menelan ludah. Baru kali itu ia menatap mata hijau Tuan Dingin dengan saksama. Entah mengapa, ketakutannya terhadap sang pria malah bertambah.
“Kalau kau tidak menyukai kehadiranku, lalu kenapa kau mempermainkanku?” tanya Amber dengan suara tertekan. “Kalau saja sejak awal kau bersedia membantuku, aku pasti sudah tidak berada di pondok ini lagi. Aku mungkin sudah bersama orang lain atau mungkin Adam Smith.”
Mendengar nama itu, raut sang pria kembali berubah kaku. Perasaan aneh baru saja menyerang hatinya. Selang keheningan sejenak, ia berkata, “Besok aku akan pergi ke kota untuk membeli stok makanan. Kalau kau mau, kau bisa ikut aku ke sana.”
Dalam sekejap, mata Amber mulai berbinar. “Tentu saja aku mau. Pasti ada orang yang bersedia membantuku di sana. Dia akan mengantarku menemui Adam Smith. Kedatanganku ke negara ini jadi tidak sia-sia.”
Tuan Dingin tidak pernah melihat harapan secerah itu di wajah sang wanita. Akan tetapi, hal itu malah menambah sesak dalam dadanya.
“Kalau begitu, minumlah teh itu dan kembalilah beristirahat. Aku akan menyiapkan makan malam,” ucap si pemilik pondok, datar.
Selagi sang pria beranjak, Amber melengkungkan senyum kecil. “Terima kasih.”
Tak menduga akan mendengar ucapan itu, Tuan Dingin bergeming.
“Terima kasih telah menyelamatkan dan merawatku. Nanti, aku pasti membayar jasamu,” tutur wanita pucat itu tulus.
Selang satu anggukan, sang pria berjalan cepat menuju dapur. Sesuatu terasa semakin mengganjal dalam hatinya. Selama dua tahun, belum pernah ia merasakan hal semacam itu.
“Aku seharusnya senang karena perempuan bodoh itu akan pergi. Hidupku bisa kembali damai. Tapi, kenapa aku malah merasa tak tenang?” batinnya sebelum mendesah samar. “Sadarlah, Adam. Amber adalah wanita perusak hubungan orang. Kau tidak boleh mengasihaninya. Kau bukanlah Adam Smith yang dulu.”