04 : Baby's swimming time
TITI POV
Akhirnya Om telah kembali ke kampungnya. Lega, euy. Tak ada lagi si tukang ngomel yang suka mengkritikku.
Titi kamu mesti begini. Titi kamu mesti begitu. Titi tak boleh begini. Tini jangan begitu!!
Duh, pusing menghadapi kecerewetan Om! And now, I am free! Bye-bye seragam suster norak super menyebalkan itu! Sekarang aku bisa memakai bajuku sendiri, kebanyakan hotpan, sih. Aku senang memakai hotpan. Sesuai dengan jiwaku yang suka bebas, meski kenyataannya hidupku banyak dikekang orang. Dulu dikekang Bibiku, kini dipenjara di rumah mewah ini. Tapi bersama Chocho membuatku bahagia. Bocah ganteng itu sangat manis, lucu, manja, dan penyayang. Dalam waktu singkat ia berhasil membuatku sangat sayang padanya, sekaligur iba akan nasibnya.
Terkadang melihatnya tidur dengan wajah polos seperti malaikat, tak sadar aku menangis sendiri. Mengapa Tuhan menciptakan makhluk dengan fisik sesempurna itu tapi mentalnya cacat? Kasihan Chocho, my baby. Ya, aku telah menganggapnya sebagai bayiku. Bayi yang harus kuasuh, kurawat, dan ingin kubahagiakan. Meski si Om merawatnya dengan sangat baik, tapi dia tak mampu membahagiakan Chocho. Si Om terlalu kaku dan terjebak pada rutinitas! Aku ingin merombak itu semua. Aku ingin Chocho lebih menikmati hidup, dan meraih kebahagiaannya.
Seperti pagi ini, walaupun telah pukul delapan aku belum berniat memandikan Chocho. Kami masih rebahan di tempat tidur dengan dua kaki menempel di dinding. Aku suka di posisi ini. Rebahan sambil memandang dua kaki jenjangku dipajang di dinding.. euyh, narsis! Seperti biasa, Chocho menirukan tingkah lakuku. Aku melirik kakinya. Kakinya bagus, mulus tapi terlihat kokoh. Bayangkan, betapa sempurnanya bayiku ini. Dari ujung kepala sampai jempol kakinya kualitas top!
Kulihat Chocho tengah memperhatikan jam dinding kamarnya dengan serius. Jarinya menunjuk angka-angka di jam itu seakan sedang menghitungnya.
"Enam.. Tujuh.. Lapan! Kak Titi, jam lapan!" teriaknya kaget.
So what, gitu lho? Aku menatapnya geli.
"Trus kenapa?" tanyaku malas.
Dia balas menatapku bingung.
"Jam mandi! Chocho harus mandi!"
Nah kan, dia masih terbawa pola asuh si Om yang sangat kuno.
"Easy, Baby. Dedek Chocho gak harus mandi jam lapan terus kok,"
"Isi? Isi apa?" tanya Chocho kebingungan.
Astaga, aku lupa. Chocho belum paham bahasa Inggris, lain kali aku akan mengajarinya. Yang simpel dulu deh.
"Isi perut dulu! Kita makan yuk!" ajakku padanya.
Dia bingung, "makan abis mandi."
"Gak harus begitu, Sayang. Kita ikuti hati kita aja, sesukanya kita. Ayo ah, Kak Titi udah laper!"
Wajah Chocho berubah sendu, lalu dia memegang perutku hingga membuatku kegelian.
"Kak Titi sakit perut? Lapar?"
Ya ampun, jari Chocho seakan mengandung aliran listrik. Hangat dan menggetarkan. Aku tertawa cekikikan. Iseng aku balas menggelitiki pinggang Chocho. Dih, bocah ganteng itu tak kegelian sama sekali. Dia justru asyik memperhatikan jari-jariku dengan teliti.
"Jari Kak Titi lucu. Cantik. Pendek. Lucu.."
Dia memegang jariku penuh minat. Pendek? Tsh, daku mesti tersinggung tidak, ya? Mentang-mentang diriku termasuk makhluk bantet! Ah, sudahlah. Yang penting makan dulu.
"Dedek, makan yuk!"
Kugandeng dia memasuki ruang makan. Kubuka tudung saji di meja makan. Seperti biasa, yang tersedia adalah makanan sehat serba hidroponik yang rasanya hambar. Bosan! Bagaimana Chocho bisa tabah memakan ini seumur hidupnya?!
Mendadak aku jadi ingin makan mie instan plus telur! Istimewa. Tapi tak ada stok mi instan di rumah sekaya ini. Untung aku membawa stok mi instan dari rumahku. Kuambil mi instanku dan kumasak.
"Apa itu? Harum! Bau harum!" Chocho mendekat penuh minat.
"Ini namanya mi instan, makanan terenak di dunia." Aku mengacungkan jempol.
"Plus tambah ini, mantaaap!!" selorohku sambil mengetuk pelan kepala Chocho dengan telur.
Kupecah telur itu dan kutuang isinya di panci yang berisi rebusan mi instanku.
"Bisa pecah! Telur pecah!" teriak Chocho takjub, dia memegang kepalanya yang dipikirnya benda ajaib pemecah telur.
Chocho mengambil sebutir telur dan memecahkannya di kepalaku. Pyaaar .... Cairan telur lengket itu membasahi kepalaku. Astaga, ini senjata makan tuan! Chocho menatapku takut-takut. Bayi besarku nyaris mewek. Kasihan melihat ekspresinya. Aku pun tertawa untuk menenangkannya.
"Ya ampun, untung Dedek memecahkan telur di rambut Kak Titi. Jadi ingat udah saatnya cuci rambut.” Sambil tersenyum masam aku mengambil lap untuk mengeringkan rambutku.
Prak!!
Astaga, mendadak Chocho memecahkan telur di kepalanya sendiri.
"Cuci rambut! Chocho cuci rambut!" teriaknya ceria.
O.. em.. ji .. tepok jidat!
Akhirnya mie instanku siap disantap, aku berniat berbagi dengan Chocho. Kasihan melihatnya menahan liur ketika menatap mie instanku.
"Dedek mau?"
"Boleh?" tanyanya penuh harap.
"Boleh dengan syarat...." Aku menunjuk pipi kiriku.
Cup. Dengan cepat Chocho mengecup pipi kiriku.
Cup. Bonus mencium pipi kananku. Aku tertawa senang. Tiap kali Chocho melakukannya, aku merasa girang tak terkira. Sepertinya aku kecanduan kecupan sayangnya.
Kubagi mie instanku, kusuapi Chocho dengan menggunakan sendok yang sama denganku. Kami makan semangkok berdua. Wajah Chocho nampak berbinar seperti mendapat lotere besar. Lihat, betapa mudahnya membahagiakan seorang Chocho.
"Dedek, sekarang kita berenang, yuk. Saatnya cuci rambut!" cetusku seusai makan.
Rambutku lengket dan terasa kaku terkena telur yang sudah mengering, pasti Chocho juga merasakan hal yang sama.
"Renang! Renang!" teriak Chocho, dia berlari mengambil mainan bebek kuningnya.
Kwak! Kwak!!
Kami pun berenang di kolam renang keluarga Edisson yang mewah. Betapa nikmatnya dunia. Aku mencuci rambut Chocho memakai samponya yang wangi dan pastinya mahal. Korupsi sedikit tak apa, kali. Aku pun memakai sampo Chocho untuk mencuci rambutku. Kini rambut kami sama-sama wanginya.
"Harum!" ucap Chocho sambil mengambil sejumput rambutku dan menempelkan di hidungnya.
Aku tersenyum sembari mencubit hidung mancungnya. Gemas. Chocho memang sweet.
"Kak Titi!" Tiba-tiba Chocho memanggilku.
Aku termangu saat dia mengangkat ujung kausnya keatas menampilkan perut datarnya. Seksi, beuh.
"Ada apa, Dedek?" tanyaku sambil menelan salivaku.
"Kuk-kuk, Kak Titi gak punya?"
"Kuk-kuk apaan?"
"Kak Titi ingin tahu?" tanyanya polos.
Aku mengangguk. Paling yang dimaksudnya adalah mainan baru yang dibelikan kakak juteknya itu. Lah, buat apa dia mau melorotin celananya? Spontan aku menutup mataku dengan tangan, tapi penasaran. Aku mengintip di sela-sela jariku. Halah, kok tak jadi dilepas? Penonton kecewa.. Ih, mesumnya daku!
"Paman bilang. Kuk-kuk gak boleh diliatin."
Apaan sih kuk-kuk? Anjrit, apa yang dimaksud Chocho adalah otongnya?! Dengan polosnya dia memegang selangkangannya. Pipiku terasa panas. Gugup, aku mengalihkan tatapanku keatas, pura-pura asyik memandang langit biru awan putih. Matahari yang menyengat membuat mataku silau. Ooo, aku terhuyung nyaris jatuh kedalam air.
Hup, ada tangan kokoh yang menahan pinggangku. Spontan aku mengalungkan lenganku ke lehernya. Chocho terkejut karena mendadak aku memeluk lehernya, kepalanya tertarik ke wajahku. Cup. Tidak sengaja kami berciuman, tapi bukan di pipi. Bibir Chocho menempel erat di bibirku.
Jiaaah, first kissku, mengapa jatuh pada bayi besarku ini?! Seakan ada aliran listrik mengalir dari tautan bibir kami. Hatiku berdesir aneh.
Baby's swimming time kami diakhiri dengan kissing accidental.
==== >(*~*)< ====