Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Episode 3

Langit di atas Velograd tampak kelabu. Awan menggantung rendah seolah menekan gedung-gedung kaca yang menjulang. Di lantai dua puluh lima sebuah gedung intelijen tersembunyi, Agen Ethan O’Donnell menatap layar monitornya sambil menyisip kopi hitam, dingin dan pahit, seperti rutinitasnya.

“Kopi ini rasanya seperti rahasia negara. Pahit dan bikin insomnia,” gumamnya, lalu meletakkan cangkir dengan bunyi klak pelan.

Ruangan itu sunyi. Hanya ada bunyi kipas pendingin dan ketikan keyboard yang cepat dan rapi. Cahaya biru dari monitor menyinari wajah Ethan yang keras, rahang tajam, rambut perak yang mulai menipis, dan mata elang yang memancarkan kehati-hatian.

Ia mengetuk layar dengan jarinya. “Lee Soo. Kamu bukan sekadar pelajar seni.”

Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang analis muda menyembul dari baliknya, tampak gugup dan memegang map merah.

“Ethan… kamu harus lihat ini,” ucapnya. Suaranya pelan, hampir berbisik.

Ethan mendengus. “Kalau ini tentang bocah Korea itu lagi, aku sudah tahu. Dia menghilang, bukan?”

“Bukan cuma menghilang.” Analis itu meletakkan map. “Dia meninggalkan pesan visual.”

Ethan membalik halaman pertama. Gambar potret seorang pria tua dengan luka di pelipis, begitu detail hingga seolah dilukis dari foto resolusi tinggi. Di pojok bawah, ada catatan dalam tulisan tangan.

"Aku tahu siapa yang ada di balik kamera. Jangan ikuti aku."

Ethan memicingkan mata. “Bocah ini… menggambar wajah salah satu agen kita di Busan. Ini pesan.”

“Aku rasa itu tantangan,” kata analis itu gugup.

Ethan tertawa pendek. “Atau peringatan.”

Ia bangkit dari kursinya, tubuh tingginya mendekati jendela besar yang memandang ke arah gedung Capitol. Lalu, dengan nada dingin, ia berkata, “Lee Soo baru saja naik level.”

Di ruangan bawah tanah yang jauh lebih sempit, Acha duduk dengan earphone dan enam layar menyala di depannya. Jemarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan tak wajar. Di salah satu layar, wajah Ethan muncul.

“Berhenti meretas server Zorya Intelligence Command (ZIC), Acha,” ucap Ethan lewat interkom.

Acha tertawa. “Kalau mudah diretas, berarti kalian yang ceroboh, bukan aku.”

“Dan kau baru berumur tujuh belas.”

“Aku juga bisa bawa server kalian masuk museum nasional. Mau?”

Ethan mendekatkan wajahnya ke kamera. “Bakatmu akan sia-sia kalau tetap nakal.”

Acha mencibir. “Dan bakat kalian akan sia-sia kalau terlalu serius.”

Di atap sebuah gedung tua, Rere duduk dengan kaki menggantung, wajahnya berkeringat setelah latihan parkour. Ia membuka pesan di smartwatch-nya.

“Kau sedang diawasi. Tapi bukan oleh polisi. Hati-hati. – E”

Rere melirik sekeliling, lalu tertawa kecil. “Oke, siapa pun kamu, Ethan atau alien ZIC, aku nggak suka main petak umpet. Tapi... tantangan diterima.”

Ia lalu melompat dari atap ke balkon gedung lain dengan lincah, rambutnya terurai terkena angin malam. Sambil berlari, ia bergumam, “CCTV mana pun nggak akan sempat nge-zoom sebelum aku ngilang.”

Ethan kembali duduk. Ia memutar video pengawasan lama yang menunjukkan Aries, remaja diplomatik yang juga dikenal karena kemampuan tempurnya. Dalam rekaman, Aries meninju pria dua kali ukurannya dan menang. Ethan mengangkat alis.

“Anak ini bukan hanya bisa bicara lima bahasa. Dia juga bisa membuatmu berhenti bicara... permanen.”

Ethan mengangguk pelan, lalu berbicara sendiri.

“Empat anak. Empat potensi tak terduga. Tapi bukan hanya mereka yang berbahaya. Aku juga. Dan jika mereka tahu siapa sebenarnya aku—”

Pikirannya terpotong oleh suara ketukan pelan di pintu.

“Masuk.”

Seorang wanita muncul, berpakaian rapi, berwajah kaku.

“Pak, perintah dari atas. Anda harus tarik mereka lebih cepat. Operasi Ordo Muda sedang bergerak.”

Ethan mengerutkan kening. “Aku belum siap mengekspos mereka.”

“Kalau begitu mereka akan terekspos oleh yang lain.”

Wanita itu meninggalkan ruangan. Ethan menarik napas berat, menatap lagi ke layar. Foto Lee Soo, Acha, Aries, dan Rere muncul satu per satu. Keempatnya masih remaja, tapi mata mereka menyimpan kisah panjang.

"Mereka anak-anak. Tapi dunia tidak peduli. Dunia akan memaksa mereka memilih: bertahan... atau menghilang."

Ethan menatap wajahnya di pantulan layar. Lelah. Tua. Tapi tekadnya masih sekeras batu.

“Aku akan melatih mereka. Tapi dengan caraku.”

Ia lalu menekan tombol dan mulai merekam.

“Kepada kalian berempat... jika kalian mendengar pesan ini, berarti dunia sedang kacau. Dan hanya kalian yang bisa menyelamatkannya. Tapi ini bukan panggilan kepahlawanan. Ini peringatan. Kalau kalian melanjutkan... tak ada jalan kembali.”

“Dan satu hal lagi... jangan percaya siapa pun. Termasuk aku.”

Rere memeluk lutut di atas atap sebuah ruko tua. Kaus hitamnya basah oleh keringat. Napasnya cepat. Pandangannya menatap ke langit gelap dan kelabu, hanya satu bintang yang bertahan di tengah awan.

Ia menyeka keringat di pelipis, lalu menatap jam tangan digitalnya.

“Siapa yang mengirim drone jam segini?” gumamnya, masih terduduk. “Main petak umpet tengah malam gini tuh... romantisnya nggak dapet.”

Tiba-tiba klik! sebuah suara mekanik dari balik talang air. Rere membalikkan badan secepat kilat.

“Aha! Kena kau!”

Ia melempar sepatu satu ke arah bayangan itu. DOENG! Sebuah drone jatuh terpental ke lantai atap dengan suara bzzt.

Dia mendekat, menatap kamera yang kini retak. “Niat banget! Pake night vision segala.”

'Oke, ini udah bukan latihan parkour biasa. Ini ngintilin. Tapi... siapa yang cukup iseng buat ngawasin aku? Polisi? Eh... mantan? Nggak mungkin. Aku yang ninggalin.'

Rere menghela napas. Ia berdiri, meregangkan bahu.

“Oke. Kalau main-main, aku ikut. Tapi jangan salahin aku kalo aku mulai suka ya.”

Lalu ia berlari. Langkahnya ringan dan cepat, seperti bayangan. Dan di gedung seberang, sebuah kamera tersembunyi merekam semuanya. Di balik layar itu...

Lee Soo berjalan menyusuri gang sempit dekat kampus. Tangannya masih membawa map berisi sketsa wajah-wajah asing yang ia gambar hari itu. Tapi ada yang tidak beres. Hawa di gang itu dingin, padahal matahari masih menggantung rendah.

Ia menatap ke belakang. Sepi.

Langkah kakinya melambat. “Kenapa rasanya kayak dilihatin?”

Tiba-tiba... bayangan hitam menyelinap di balik tembok. Sekilas. Hanya satu detik. Tapi cukup.

Lee Soo tidak panik. Ia berhenti. Tarik napas. Pandangannya menyapu lingkungan sekitar.

'Tenang. Jangan terburu-buru. Kalau dia ngikutin, beri dia alasan buat mikir aku nggak sadar.'

Ia berjalan lagi. Tapi kali ini, ia sengaja menjatuhkan pulpen. Berjongkok. Dan dari kaca etalase toko tutup di depannya, ia menangkap pantulan: pria berjaket abu-abu, jarak lima meter, berdiri diam.

Lee Soo bangkit, berbalik arah. “Maaf, ada yang mencari toilet umum?”

Pria itu menghilang.

Dia berdiri diam sejenak, lalu tertawa kecil. “Lucu juga, ya. Aku harus mulai gambarin orang dari pantulan sekarang.”

Aries duduk di ujung meja, dikelilingi oleh diplomat dewasa, berkemeja gelap dan wajah-wajah kaku. Suasana hening dan tegang.

Seorang pria bertubuh besar berbicara dalam bahasa Zorya yang lambat dan datar, diterjemahkan oleh alat di meja.

“Kita tidak bisa menunda pergerakan. Subjek sudah keluar dari radar. Kita butuh orang dalam.”

Aries mencondongkan tubuh. “Maaf, siapa subjek yang dimaksud? Ini bukan bagian dari sesi pembahasan PBB, kan?”

Seorang wanita berbisik padanya, “Ini diskusi khusus, Aries. Tidak semua yang dikatakan hari ini... tercatat secara resmi.”

Aries tersenyum manis, tapi matanya tak tersenyum.

'Kenapa aku diundang ke meja yang salah? Ini jebakan, atau... ujian?'

Ia mengangkat tangan. “Maaf, saya ada panggilan dari... eh, ibuku. Sangat mendesak. Tentang kucingnya. Sangat dramatis.”

Tanpa menunggu reaksi, ia bangkit dan melenggang keluar.

Di lorong, ia menghela napas dan mencibir. “Coba kalau mereka tawarin teh, mungkin aku pertimbangkan ikut konspirasi global.”

Acha menatap laptopnya. Alamat IP misterius mengarah ke server tua yang tampak tak penting. Tapi justru itu yang bikin dia penasaran.

“File bernama bukanjebakan.zip? Duh, ini ngajak ribut.”

Jari-jarinya menari di atas keyboard. Kode-kode mengalir. Tiba-tiba... layar gelap.

“Apa—”

Kemudian muncul video Ethan, live.

“Selamat malam, Acha.”

Mata Acha melebar. “Wha bagaimana caramu masuk ke laptopku?!”

“Pertanyaan yang bagus. Tapi lebih penting... kenapa kamu buka file mencurigakan di server milik pemerintah?”

Acha membelalakkan mata. “Kamu... kamu jebak aku?”

Ethan tersenyum. “Kami uji kamu.”

“Wah... gila. Aku harusnya curiga dari nama file-nya! ‘Bukanjebakan’? Sungguh licik dan tidak kreatif!”

Keempat layar besar menampilkan Rere, Lee Soo, Aries, dan Acha. Keempatnya bereaksi dengan cara berbeda terhadap ujian pertama mereka. Tapi satu kesamaan: tidak satu pun dari mereka tumbang.

Ethan berdiri di tengah ruang kontrol.

“Mereka... jauh lebih siap dari yang kita kira,” gumamnya. “Dan ini baru permulaan.”

Dari pojok ruangan, seorang wanita berambut merah masuk membawa berkas baru.

“Mereka lulus. Siapkan ujian kedua. Dan Ethan... pastikan kamu tidak mulai peduli terlalu dalam.”

Ethan tak menjawab. Ia menatap layar Rere yang sedang mengintip dari balik antena gedung, menertawakan drone yang ia tembak.

'Bagaimana aku tidak peduli... kalau mereka mulai terasa seperti anak-anakku sendiri?'

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel