Ringkasan
Kehidupan seorang Ana berubah ketika dia terlibat masalah dengan pengusaha yang menjadi pembicara di acara seminar kampus. Bukan keinginannya untuk berurusan dengan pria menyebalkan itu, namun entah kenapa pria itu malah berusaha untuk menambah masalah sehingga mau tidak mau Ana harus sering berjumpa dengannya. Tanpa Ana sadari bahwa pria itu adalah pria yang ditunggunya selama ini. Pria yang mengisi hatinya. Bertahun-tahun tidak bertemu membuat Ana lupa akan rupa pria itu. Harapan Ana berbanding terbalik dengan kenyataannya. Pria itu muncul dengan sifat dinginnya yang membuat Ana kesal, namun tidak bisa dipungkiri jika Ana begitu memuja pria itu.Begitu banyak masalah yang menimpa hubungan mereka. Teror-teror bermunculan untuk menghancurkan mereka.Apakah mereka bisa mengatasi masalah itu dan terus bertahan?
1. Pertemuan Pertama
Tahun 2009
Ana terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara jeritan di sekitarnya. Matanya mengedar berusaha untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jeritan itu masih terdengar pilu di telinganya. Ana tidak tahu berada di mana saat ini, namun ingatan terakhir akan seseorang yang menariknya masuk ke dalam mobil membuatnya tersadar. Perlahan mata indah itu mulai mengeluarkan air mata. Ana tidak bodoh, diusianya yang ke-9 ini dia sangat paham jika tengah berada di dalam pesawat sekarang. Gambaran awan putih dari jendela seolah menjawab itu semua.
Siang itu, Ana pulang sekolah dengan berjalan kaki. Hari berlangsung dengan baik tanpa tahu jika malapetaka akan datang. Ana menghentikan langkahnya ketika sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Seorang wanita cantik turun dari mobil dan menghampirinya, diikuti dengan dua lelaki bertubuh besar di belakangnya.
"Manis, apa kamu sendirian?" tanya wanita itu. Ana hanya diam saat mengingat jika semua orang yang ada di hadapannya adalah orang asing.
"Kenapa diam, cantik? Kakak bukan orang jahat kok. Kakak cuma mau tanya alamat," ucap wanita itu kembali dengan senyumnya manis.
Ana tetap diam dan menatap wanita itu aneh. Sadar akan usaha manisnya yang akan berakhir sia-sia, akhirnya wanita itu memberi kode pada pria bertubuh besar yang bersamanya tadi untuk segera membawa Ana. Belum sempat berlari, lelaki itu sudah menarik dan membawa Ana untuk masuk ke dalam mobil.
Gadis kecil itu berteriak, namun entah kenapa taman komplek itu terlihat sangat sepi. Ana terus memberontak, dia menggigit, menjambak, dan menendang sampai membuat ketiga orang itu kewalahan. Sudah habis kesabaran wanita itu, akhirnya dia mengeluarkan suntikan dari dalam tasnya dan menyuntikkan cairan itu pada leher Ana. Perlahan tubuh Ana berhenti memberontak dan tak sadarkan diri.
Sekarang Ana tahu kenapa dia bisa berada di dalam pesawat dengan tubuh yang terikat. Dia tidak menyangka jika orang-orang itu akan menculiknya.
Tuhan, tolong aku.
Ana melihat ke sekitar dengan takut, banyak anak kecil yang seumuran dengannya tengah menangis dan berteriak memanggil orang tuannya. Seketika Ana juga ikut menangis. Dia hanya ingin pulang, itu saja. Pria-pria bertubuh besar yang mendampingi anak-anak itu terlihat kerepotan. Teriakan yang terdengar nyaring dan menyakitkan itu adalah efek dari hilangnya obat bius. Mau tidak mau mereka harus kembali memberikan suntikan agar keadaan pesawat kembali tenang.
"Jangan nangis, Cantik," ucap seorang pria yang datang menghampiri Ana dan kembali menyuntikkan sesuatu ke lehernya.
***
Silau matahari membuat Ana terbangun dari tidurnya. Dia beranjak dari kasur dan berlari ke arah pintu. Ana mencoba untuk membuka pintu itu namun tidak bisa. Dia berteriak dan memanggil siapapun agar membukakan pintu untuknya. Ana menangis, dia merindukan orang tuanya. Bagaimana bisa anak di bawah umur seperti dirinya merasakan hal seperti ini? Apa yang bisa Ana lakukan dengan tubuh kecilnya ini. Memberontak dan memukul pun seolah tidak ada artinya.
Dengan kekuatan seadanya, Ana menendang pintu itu berharap jika akan terbuka, namun yang dia dapat hanya rasa sakit di kakinya. Dengan lemas Ana mulai terduduk bersandar pada pintu. Dia lelah menangis, tidak ada seorang pun yang membukakan pintu untuknya. Ana kelaparan, dia hanya butuh makan.
Tak lama pintu terbuka dan muncul seorang pria berdarah asing dengan sebuah piring di tangannya. Pria itu menatap Ana yang duduk di lantai dengan bingung. "Makan,” ucapnya dan memberikan makanan yang dia bawa.
Ana yang memang sudah sangat lapar langsung mengambil roti itu dan memakannya. Dia makan dengan menangis, tak pernah terbayangkan olehnya jika harus makan roti hambar seperti ini. Sampai kapan dia harus bertahan?
***
Tidak ada yang bisa dilakukan Ana di dalam kamar. Dia hanya menangis meratapi nasib dan kembali tidur jika memang sudah lelah menangis. Dia tidak tahu sudah berapa lama dikurung di dalam kamar ini. Untungnya kamar ini dilengkapi dengan kamar mandi, meskipun sedikit tidak layak karena kotor sekali.
Ana keluar dari kamar mandi sambil menepuk perutnya. Entah kenapa dia mendadak diare seperti ini. Padahal dia hanya makan roti setiap harinya. Langkahnya terhenti saat melihat wanita berdarah asing sudah berada di kamarnya. Wanita itu menatapi Ana dari atas hingga bawah kemudian tersenyum manis. Cantik, namun Ana tidak akan tertipu dengan penampilan orang-orang di tempat ini.
"Kemarilah, Cantik," kata wanita itu lembut. Tahu bahwa Ana tidak mengerti apa yang dia ucapkan, wanita itu memilih untuk menghampiri Ana dan mengelus rambutnya pelan, "Kamu cantik, pasti hargamu sangat mahal," ucapnya tersenyum penuh arti.
Wanita itu mulai memoles Ana. Mengganti pakaian lusuhnya dan membentuk rambut Ana menjadi kepangan cantik. Ana hanya diam dan tidak melakukan apapun. Dia sudah lelah untuk memberontak dan menangis.
"Selesai, sekarang kamu ikut aku." Wanita itu mulai menuntunnya untuk keluar kamar. Entah apa yang Ana rasakan saat ini. Namun dia cukup senang jika akhirnya bisa keluar dari kamar pengap itu.
Matanya melihat ke sekitar dan tidak menemukan hal yang istimewa. Hanya ada lorong panjang dan banyak pintu. Saat akan menuruni tangga, Ana mulai mendengar suara musik yang terdengar samar di telinganya. Begitu sudah sampai di bawah, Ana benar-benar bisa mendengar suara musik yang memekakan telinga. Dia dibawa ke sebuah ruangan yang ternyata sudah banyak anak-anak seusianya. Kali ini Ana juga melihat anak berambut pirang di sana. Dia ingin bertanya, tapi semua anak yang berada di ruangan itu menangis. Ana tidak tahu harus melakukan apa saat ini.
Mereka seperti menunggu sebuah giliran. Satu persatu dari mereka diseret ke luar ruangan. Ana menjadi takut ke mana mereka akan dibawa. Saat tiba giliran anak di sebelahnya, hatinya menjadi tidak tenang. Apalagi anak itu memberontak dan menangis dengan kencang. Sekarang Ana sendiri. Semua anak yang dia anggap senasib itu telah dibawa keluar entah ke mana. Ana sendirian, dia kesepian, dan menangis lagi. Saat sedang menangis terisak, tiba-tiba tubuh Ana diangkat oleh seorang pria. Apa ini sudah saatnya dia untuk keluar? Ana memberontak, memukul, menjambak, dan menggigit pria yang menggendongnya itu.
"Berhenti! Kalau mau keluar, kamu harus diem!” ucap pria itu. Ana berhenti memberontak dan mengangguk patuh. Dia berharap jika pria yang bersamanya saat ini benar-benar bisa membantunya.
Entah berapa lama pria itu berjalan, akhirnya mereka sampai di kantor polisi. Pria itu melaporkan semua yang terjadi di dalam pub kecil itu secara detail. Dia bercerita jika sudah sering terjadi pelelangan, namun baru pertama kali ini dia melihat pelelangan anak di bawah umur dan yang membuatnya terkejut adalah ada anak-anak yang berasal dari negaranya sendiri. Banyak kasus berlapis terjadi di sana seperti penculikan, perdagangan ilegal, seks di bawah umur, hingga penjualan obat terlarang. Setelah selesai memberi keterangan, polisi segera bergerak menuju ke lokasi. Pria tadi menghampiri Ana yang masih duduk dengan diam. Terlihat bingung dengan apa yang terjadi.
"Kamu aman di sini."
"Aku kangen Mama sama Papa," gumam Ana lirih.
"Orang tuamu akan segera dihubungi, mungkin lusa mereka dateng."
"Lusa?" Ana mengerucutkan bibirnya kesal, “Kok lama sih.”
"Indonesia dan Amerika itu jauh, jadi jangan harap dalam dua jam mereka bisa dateng.”
"Amerika?!" Ana terkejut. Bagaimana bisa dia diculik sampai Amerika seperti ini?
"Ayo, kamu tinggal sama aku sampai orang tuamu dateng." Ana hanya menurut dan menerima uluran pria asing itu untuk meninggalkan kantor polisi.
***
"Apa Kakak tinggal sendiri?" tanya Ana begitu matanya tidak bisa terpejam.
"Ya.”
Ana hanya mengangguk dan melihat keadaan kamar. "Orang tua Kakak di mana?"
"Indonesia."
"Kakak nggak kangen sama mereka?" tanya Ana lagi tanpa menyadari jika pria itu sudah mulai jengah dengan pertanyaannya.
"Nggak."
"Apa Ka-"
"Kalau kamu nggak bisa diem, akan kukembalikan kamu ke tempat tadi," ancamnya menakutkan.
"Maaf." Ana tersenyum tipis dan melirik ke bawah kasur di mana pria itu berbaring, "Udah tidur, kak?” tanyanya lagi.
Mata pria itu kembali terbuka dan menatap Ana tajam. "Kamu bisa diem nggak?"
"Aku kan cuma mau nanya, nama kakak siapa?" Ana kembali berbaring terlentang dengan bibir yang maju.
"Namaku Davinno, sekarang tidur!"
"Oke, selamat malam." Ana tersenyum dan menggumamkan nama itu sebelum dia tidur.
***
Tak terasa orang tua Ana sudah datang menjemput. Mereka terkejut saat mendengar anaknya diculik, bahkan diculik selama 2 minggu. Mereka merasa lega begitu melihat keadaan Ana yang baik-baik saja, meskipun tubuhnya terlihat lebih kurus.
"Kak Yoga, aku kangen!" teriak Ana kepada kakaknya yang sedang berbicara dengan Davin.
"Kakak juga kangen kamu, nakal banget kamu main sampai ke Las Vegas," canda Yoga.
"Aku nggak mau ke sini lagi." Ana menggeleng tegas.
Yoga tersenyum dan mengelus rambut adiknya sayang. Bersyukur jika Ana tidak mengalami trauma apapun. Yoga tahu jika ada sedikit rasa takut, namun sepertinya Ana termasuk anak yang beruntung dalam kasus ini.
Orang tua Ana juga berterima kasih kepada Davin karena sudah menjaga Ana dengan baik dan membongkar sindikat penjualan anak itu. Jika tidak ada pria itu, entah apa yang akan terjadi. Orang tua Ana tidak mau memikirkan hal yang lebih buruk lagi dari ini. Ini jadi pelajaran untuk mereka untuk lebih menjaga anak-anaknya.
"Kak Davin nggak ikut pulang ke Indonesia?" tanya Ana pada Davin saat bersiap untuk pulang.
"Nggak."
"Kenapa? Kak Davin nggak kangen Mama Papa-nya?" tanya Ana polos.
"Ya kangen lah, Sayang. Kak Davin sekolah di sini jadi nggak bisa pulang," sahut Ibu Ana merasa tidak enak dengan rasa keingintahuan anaknya yang terlalu tinggi itu.
"Nggak papa, Tante."
"Ya udah, kalau gitu kami ke bandara sekarang. Terima kasih sekali lagi Davin," kata Ayah Ana.
"Iya, Om. Hati-hati."
Saat akan masuk ke dalam mobil, tiba-tiba Ana berlari ke arah Davin dan memeluknya erat. "Terima kasih Kak Davin udah nolongin aku."
Davin hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Dia tahu setelah Ana kembali ke Indonesia, apartemennya akan kembali sepi. Tidak ada yang malam-malam meminta makanan, tidak ada yang mengoceh tanpa henti, dan tidak ada yang bertanya hal-hal yang tidak penting. Davin akan merindukan itu semua, meskipun kebersamaan mereka sangatlah singkat.
Davin selalu hidup sendiri dengan rasa sepi yang selalu menyelimuti. Dia nyaman hidup seperti itu. Namun Davin tidak menyesal dengan keputusannya untuk membawa Ana pulang, anak itu terlihat manis dengan kepolosannya. Hal itu membuat Davin teringat akan adik-adiknya yang tengah jauh saat ini. Meskipun sedikit menyebalkan, namun Davin tidak menyesal mengenal Ana dan keluarganya.
"Ini untukmu." Entah setan dari mana Davin memberikan cincin milik Ibunya pada Ana.
"Ini buat aku?" Ana menerima cincin itu dengan wajah polosnya.
"Jaga baik-baik. Suatu saat nanti aku akan jemput kamu." Davin tahu ucapannya terdengar ambigu tapi dia sendiri tidak bisa menahannya.
"Ayo, Ana!" panggil Yoga.
"Aku duluan ya, Kak." Ana memeluk Davin sekali lagi dan mencium pipinya cepat, "Aku selalu cium Kak Yoga di pipi." Ana tertawa dan berlari menjauh.
Setelah mobil keluarga Ana menghilang dari pandangannya, Davin tersenyum dan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Dengan cepat dia meraih ponsel dan menghubungi keluarganya yang telah lama tidak dia sapa.
Aku akan menjemputmu, Ana
***
TBC