BAB 9
HAPPY READING
***
Clara memandang Ben ia mengerutkkan dahi, “Boleh apa pak?” Tanya Clara tidak mengerti, ia tertegun beberapa detik melihat pupil mata Ben membesar.
Ben menelan ludah, ia beranjak dari tidurnya. Oh God, pikirannya sudah gila. Inginnya ia mengurung tubuh Clara dan memberikan ciuman pada bibir penuh itu bertubi-tubi. Pikirannya sudah liar entah ke mana, ia ingin mencium seluruh tubuh Clara. Inginnya menggendong tubuh ramping itu dibawanya ke dalam pangkuannya, menciumnya hingga kehabisan nafas.
Namun ia tidak ingin Clara menganggapnya eksploitasi kejahatan cabul, karena ia sudah melakukan tindakan itu kemarin. Alhasil dia marah besar kepadanya. Pada dasarnya jika pria tertarik dengan wanita itu karena memiliki kecenderungan pada nafsu seksual. Itu lah kenapa pria seperti dirinya sering menjajakan cinta kepada seorang wanita, agar kebutuhan seksualnya terpenuhi.
Hal ini bisa dikatakan kalau pria menawarkan cinta untuk mendapatkan sex. Sedangkan wanita memberikan sex untuk mendapatkan cinta. Ini seperti simbiosis mutualisme yang hingga saat ini menjadi dasar dalam sebuah hubungan. Ah ya, ia harus mengakui kalau ia memang bernafsu ketika melihat Clara dan bawaanya memang ingin mencium bibir itu habis-habisan. Lalu membawanya ke ranjang.
“Boleh saya tanya?” Tanya Ben, ia menompang lengannya di bawah kepala.
“Tanya apa?”
“Bagaimana bisa teman kamu Bianca bisa masuk ke dunia prositusi. Saya pikir jika wanita seperti dia, akan sangat mudah masuk ke dunia kerja.”
Clara menarik nafas beberapa detik, ia menatap Ben, ia mengedikan bahu, “Entahlah, alasannya cuma satu yaitu dengan mudahnya mendapatkan uang dalam satu malam. Mungkin kalau dipikir-pikir, gaji pokok saya sebulan itu hanya satu klien Bianca dalam satu hari,” ucap Clara terkekeh.
“I see.”
“Tapi Bianca pernah mengeluh dengan pekerjaanya. Katanya pekerjaan seperti dirinya lelah sekali, kemaluannya pegal terus setiap hari, belum lagi kalau dia datang bulan katanya sakit luar biasa. Dia bukan nagih karena sex-nya melainkan karena nagih dapat uangnya.”
“Puncak clientnya itu biasa liburan natal dan akhir tahun. Client Bianca dulu rame, pernah satu hari dia melayani 6 client dari siang sampai malam. Dia pulang ke apartemen saya langsung tidur karena lelah, bahkan tidak sempat membersihkan makeup. Besoknya lagi dia harus melayani clientnya lagi sampai malam.”
“Setelahnya Bianca pernah drop, akhirnya saya suruh close order dan membawanya ke klinik untuk berobat. Kebetulan itu langganan dokter Bianca, dia sudah tahu kerjaan Bianca seperti apa, “Neng, udahan atuh. Ini kamu kelelahan, kecapean, badan kamu drop tapi kamu nggak rasain. Kan saya sudah ingetin tetep jaga kesehatan” saya yang sebagai sahabatnya menahan sakit kepala. Kalau Bianca sakit kita semua ikut repot, karena kita semua sayang Bianca.”
“Akhirnya Bianca dirawat di rumah sakit, jelas saya yang jaga dong sama sahabat-sahabat saya kemarin berlima.”
“Terus?”
“Ya, sekarang sih nggak lagi. Bianca ambil client tidak banyak, palingan satu dalam satu hari, paling banyak dua atau tiga. Enggak kayak dulu lagi.”
“Keluarganya?”
“Nope, dia tidak ada keluarga di Jakarta. Ibunya memang orang Indonesia berasal dari Jawa Barat menjadi TKI di Timur Tengah sudah belasan tahun tidak pulang. Dia dibesarkan oleh neneknya di Jakarta, umurnya ketika 15 tahun neneknya meninggal. Ayahnya tidak jelas siapa yang jelas keturunan arab.”
“Kamu lihat sendirikan kenapa dia paling cantik diantara kita, karena dia memang keturunan Timur Tengah, wajahnya cantik, hidungnya seperti pedang, tubuhnya tinggi, kulitnya putih dan sehat. Di tambah dengan perawatan di klinik kecantikan. Sebenarnya Bianca kurang kasih sayang sejak dulu.”
“Untung saya, Angel, Lovita dan Iren masih tetap bersahabat baik dengan Bianca. Bianca pernah tinggal sama saya saat SMA, mamah saya menampung dia, karena memang tidak ada siapa-siapa lagi di mana dia harus mengadu. Bianca dan saya lulus SMA akhirnya Bianca kuliah memutuskan tinggal sendiri. Sejak kuliah itulah dia masuk ke dunia prositusi.”
“Dia tahu kalau dia cantik, oleh sebab itu dia mematok dengan harga yang mahal untuk tubuhnya. Dia hanya menerima client kaya saja.”
“Tunggu sebentar, jadi kamu dan Bianca pernah tinggal bersama?” Tanya Ben.
“Iya, pernah dulu waktu SMA. Mamah saya menampung Bianca.”
“Terus …”
“Mamah saya yang biayain Bianca sekolah waktu itu. Untuk orang tua? Bianca sendiri tidak tahu keberadaanya di mana. Mungkin sudah lupa punya anak bernama Bianca. Tidak pernah menghubungi anaknya hingga saat ini apalagi mencari. Kamu tahu kan kenapa Bianca menjadi seperti ini sekarang. Alasannya seperti itu.”
“Tapi apapun keputusannya, kita hanya mendukung. Asal pendidikannya selesai.”
“Mamah kamu di mana?” Tanya Ben penasaran.
“Mamah saya tinggal di Asrama Santa Maria. Mama saya sekarang mengabdikan diri pada pelayanan gereja. Mama mengfokuskan hidupnya untuk kehidupan agama di biara.”
“Sejak kapan?”
“Sejak mama dan papa bercerai, saat itu ketika saya lulus SMA. Papa saya pergi bersama istri barunya, kabarnya ada di luar negri. Untuk membiayai kuliah saya dan kakak saya yang dokter itu hasil jual warisan rumah di Kemang. Pembagian warisan rumah itu untuk saya dan kakak saya, beberapa persen untuk pendidikan dan beberapa persen tempat tinggal. Saya memilih apartemen kasablanka dan mba Sophia di Kemang Village. Kita setiap Minggu bertemu mamah di gereja.”
“Kakak kamu bernama Sophia dan dia seorang dokter?”
“Iya.”
“Terus lanjutin cerita kamu.”
Clara menarik nafas, “Alasan Bianca seperti itu hanya satu, kurang peran orang tua dan kasih sayang. Dia hanya sendiri di Jakarta. Keluarganya hanya sahabat-sahabatnya saja. Karena kita yang peduli dengannya.”
“Saya menyayangi Bianca seperti saudara sendiri. Kadang saya sempat menasehati Bianca, sampai kapan dia seperti ini?”
“Dia hanya mengatakan tunggu mendapatkan laki-laki yang tepat mencintai dan menerima apa adanya. Apalagi citra negativ sudah melekat pada dirinya. Dia sering mengatakan, memangnya ada yang mau sama gue?”
“Saya hanya menjawab, ah sudahlah. Nikmati hidup saja, sembari memperbaiki hidup ke depannya.”
“Menurut kamu bagaimana?” Tanya Clara.
Ben menatap Clara ia menatap iris mata itu, wanita itu sudah menceritakan kehidupan pribadinya dan kehidupan sahabatnya bernama Bianca. Ia suka Clara bersikap terbuka seperti ini, dia terlihat sangat luwes dalam berbicara.
“Saya sebenarnya salut sama cerita kamu. Realitanya di dunia ini ada sisi baik dan buruk. We could be angel and demon at same time or in a turn.”
“Your past is your own. You don't have to share it but admit it if your partner knows,” ucap Ben tersenyum.
Clara mengangguk, ia setuju dengan ucapan Ben yang mengatakan kalau masa lalumu adalah milikmu. Kamu tidak harus membagikannya tetapi mengakui kalau pasangan kamu tahu.
“Bagaimana dengan kamu?” Tanya Ben lagi.
“Saya?”
“Iya, kamu? Bagaimana jika suatu saat nanti ayah kamu datang kepada kamu.”
Clara terdiam beberapa detik, ia menatap Ben. Clara lalu berdiri, ia melipat tangannya di dada sambil menatap Ben yang mendekatinya.
“Entahlah, semoga saja saya tidak bertemu dengan ayah saya. Melihat prilaku ayah saya terhadap mamah, membuat saya lebih baik tidak bertemu dari pada sakit hati saya bertambah karena sebuah penghianatan.”
“Saya harap kamu tidak trauma atas kejadian menimpa ibu kamu.”
“Sayangnya kamu terlambat mengatakan itu. Saya sekarang tidak percaya dengan pernikahan.”
Ben menatap Clara, ia tidak menyangka kalau Clara tidak percaya dengan pernikahan, “Bagi kamu yang tidak percaya konsep menikah. Apa yang bisa mengubah pikiran kamu hingga pada akhirnya kamu bisa berkata bahwa saya bisa menikah dengannya?”
Clara lalu menoleh memandang Ben, “Memangnya harus banget ya menikah? Waduh saya merasa balik ke abad pertengahan di mana wanita lajang seperti saya dituduh sebagai penyihir dan dieksekusi tanpa pengadilan.”
“Tidak menikah kalau di Indonesia seperti aib luar biasa memalukan. Hingga saat ini saya tidak pernah datang ke acara keluarga mamah. Karena bawaanya malas bertemu keluarga mamah, banyak saudara dijulitin dan ditanya kapan menikah. Mereka seakan tidak menghargai privasi dan pilihan hidup orang.”
“Saya tidak menikah atau memiliki kekasih pendapatan masih stabil, masih bisa liburan keluar negri, masih bisa bersenang-senang dengan sahabat saya. Dengan status single saya masih bebas ke mana-mana tanpa harus ijin sana sini. Dan yang penting saya masih senang tidur sendirian.”
“Ah ya, lebih baik saya nantidaftar jadi pekerja kemanusiaan di Afrika aja dah. Digaji pakai USD, wisata kuliner, bisa kenalan dengan bule-bule tampan. Ah ya setahu saya di sana banyak bule Perancis yang kerja di sana.”
Ben menghela nafas, bisa-bisanya obrolan Clara seperti ini, ia sampai speechless mendengar alasan kenapa dia masih melajang hingga detik ini, isi kepala Clara role model parah. Mungkin karena ketika pacaran beberapa pernah menyakitinya secara fisik dan mental dan diselingkuhi. Membuat wanita itu tidak pernah percaya eksistensi pria baik di dunia ini. Jika ia mengatakan bahwa pernikahan itu indah, pasti ditertawakan oleh Clara dan ditanggapi sinis.
Ia paham dan banyak sekali wanita lajang di dunia ini, tidak hanya wanita pria juga sama. Jangan berpikiran kalau kebahagiaan hakiki itu memiliki pasangan. Tidak semua wanita dan pria seperti itu. Sebagian wanita dan pria memang sangat senang memiliki uang banyak untuk membeli mobil, motor mahal, tas, fashion, skincare mahal. Ada yang senang menghabiskan waktu dengan traveling keliling dunia ke berbagai negara.
“Definitely fine! Teman laki-laki saya lebih suka bantal dibanding dengan wanita beneran.”
Alis Clara terangkat, “Ah ya, teman saya juga sama lebih senang menggunakan vibrator dari pada laki-laki.”
“Termasuk kamu?”
“What!”
Ben tertawa sambil memperhatikan jarak kolam dan kaki Clara yang sangat dekat, hanya berjarak beberapa senti saja, ia mencondongkan tubuhnya dan menyenggol bahu Clara dengan sengaja. Tubuh Clara tidak memiliki memiliki keseimbangan.
“Aaaaa …” teriak Clara tubuhnya oleng dan menyebur ke dalam kolam begitu saja.
“Kamu pasti sengaja ya!” Hardik Clara kesal luar biasa.
“Sorry, Clara.”
***
.
