Bab 2. Sambutan Tak Ramah
Milly membungkuk dengan napas tersengal saat akan masuk ke dalam lobi gedung. Dia benar-benar berlari dari café ke gedung firma yang berjarak sekitar dua kilometer. Peluhnya terlihat mengumpul di pelipis, padahal cuaca musim gugur mulai semakin dingin.
Beberapa orang yang melintas di sebelahnya hanya melihatnya heran tanpa ada niatan untuk bertanya. Lagi pula, mereka tidak saling kenal. Saat napasnya mulai berada di ritme yang tepat, Milly melangkah ke meja respsionis dan menyapa ramah.
“Selamat pagi, permisi. Saya pengacara baru yang mulai berkerja hari ini di Wardwell Law Firm. Ini surat penerimaan saya.” Milly menyerahkan selembar kertas yang menyatakan dia diterima sebagai bagian dari tim hukum Wardwell Law Firm.
“Anda, Nona Milly Benson?” tanya sang resepsionis.
Milly mengangguk cepat. “Ya, aku Milly Benson.”
“Baik, Nona Benson.” Resepsionis merespon ramah setelah membaca surat penerimaan itu. “Silakan Nona tunggu di kursi tunggu itu, saya akan menyambungkan permintaan anda pada divisi HR.”
Milly tersenyum setelah menoleh pada tempat yang ditunjuk. “Baik, terima kasih.”
Milly duduk di kursi tunggu, dengan senyuman yang benar-benar tidak bisa dia sembunyikan. Pada akhirnya, dia benar-benar telah menjadi pengacara di firma yang dia inginkan. Hal itu membuatnya bangga dengan dirinya sendiri.
“Nona Milly Benson,” sapa seseorang yang bertubuh ramping dengan rambut dicepol ke belakang. Setelan jas kerjanya yang berwarna cream dipadukan dengan blouse putih tampak sangat cantik.
Milly mengerjap sekali, kemudian segera berdiri dan membalas sapaan itu dengan ramah.
“Maaf karena menunggu lama. Perkenalkan, saya Celine dari divisi HR yang akan mengantar Anda ke lantai tiga, tempat para pengacara dan mengenalkan Anda pada mereka. Mari ikuti saya,” ucap Celine sambil mempersilakan Mily dengan gerakan tangannya yang sopan.
Milly mengangguk, mengekor pada Celine yang telah berjalan menuju ke lift.
Di lantai tiga, Celine lansung mengajak Milly untuk masuk ke ruangan pengacara satu per satu. Sebab, pada dasarnya Milly adalah seorang yang pendiam saat bertemu dengan orang asing—pengecualian ketika dia menemukan kasus seperti di café tadi—dia hanya mengucapkan nama dan mengatakan ‘Senang bertemu denganmu’.
“Saya harap, Anda betah menjadi bagian dari keluarga besar Wardwell Law Firm.” Celine berkata sambil tersenyum pada Milly setelah mereka keluar salah satu ruangan pengacara.
Milly tersenyum sopan. Ada satu semangat yang menyala hebat setelah mendengar ucapan dari Celine. “Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk firma ini.”
Celine membalas senyuman Milly, sambil menunjukkan beberapa fungsi ruangan yang ada di lantai itu. Pantry tempat yang biasa digunakan saat coffee break, ruangan khusus untuk foto copy, gudang penyimpanan alat kantor, serta kamar mandi dan sebuah balkon yang jarang dikunjungi oleh penghuni lantai ini.
“Saya dengar, Anda adalah lulus terbaik dan mendapat ujian advokat dengan nilai yang sempurna. Anda pasti berusaha dengan keras selama ini,” ucap Celine memulai sebuah percakapan.
Muka Milly bersemu merah. “Menjadi pengacara adalah impian saya, karena itu saya selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik.”
“Percayalah, Anda pasti akan menjadi pengacara yang hebat,” ucap Celine lagi sambil tersenyum. Langkah mereka berhenti pada satu ruangan terakhir yang akan dikunjungi oleh Milly. “Bersiaplah. Beliau adalah pengacara senior terbaik yang dimiliki oleh firma kita.”
Milly mengangguk dan sedikit gugup bertemu dengan pengacara senior.
Celine mengetuk pintu tiga kali.
“Masuk,” ucap pengacara itu dari dalam.
Celine membuka pintu perlahan. Milly masih mengekor di belakangnya, mengintip ruangan luas yang membuatnya terperangah di balik pundak Celine.
Dua sofa hitam berhadapan dengan satu meja kaca di tengahnya yang langsung menyambut saat pintu dibuka, rak buku yang berjajar banyak buku tentang hukum, serta beberapa tumbuhan hijau yang membuat ruangan ini menjadi terasa seperti rumah.
“Permisi, Tuan Zayn Ducan. Saya ingin memperkenalkan pengacara baru yang mulai hari bergabung dengan firma kita,” ucap Celine membuka perkenalan.
Milly mengerutkan keningnya. Wajah sosok pria tampan di hadapannya itu, terlihat tidak asing di matanya. Namun, dia tidak mengingat di mana pernah bertemu dengannya. Otaknya berusaha mengingat, tapi tetap tak kunjung mengingat.
Zayn bergerak mendekat, kedua matanya memicing tajam pada Milly, membuat gadis itu merasa canggung. Sorot yang dilempar oleh Zayn membuat gadis itu merasa tidak nyaman.
“Kau pengacara baru di sini?” tanya Zayn dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Milly sedikit terkejut dengan sambutan Zayn yang berbeda dari pengacara lainnya. Meskipun begitu, dia tetap mengembangkan senyumnya, kemudian mengulurkan tangannya pada Zayn. “Benar, saya Milly Benson, mulai hari ini saya resmi bergabung di firma ini. Mohon kerja samanya.”
Zayn menatap Milly dari atas ke bawah tanpa menyambut uluran tangan Milly. “Baiklah, selamat bekerja,” jawabnya, berbalik menuju mejanya.
Milly terperangah dengan sifat Zayn yang menurutnya sangat arogan. Bagaimana bisa pria itu tidak menyambut uluran tangannya? Milly mengepalkan tangannya, kemudian keluar ruangan, mengikuti Celine yang akan menunjukkan ruangannya sendiri.
Sementara itu, Zayn duduk di kursinya sambil terus menatap tajam pada Milly sampai gadis itu menghilang dari pandangan. “Gadis itu lebih cocok menjadi preman daripada pengacara,” gumamnya sambil mengembuskan napas panjang.
Tumpukan berkas kasus terlihat menggunung di mejanya, belum lagi yang teronggok di lantai, sebelah kursinya. Sebagai seorang pengacara senior cukup hebat yang dimiliki oleh firma, Zayn seakan tidak memiliki waktu luang. Banyak kasus yang harus dia menangkan.
Sebelah tangannya meraih gelas kopi yang masih utuh. Americano adalah favoritnya untuk membangun mood di pagi hari. Namun, tak jarang juga dia memesan flat white. Zayn menyesap americano-nya yang mulai dingin sambil memeriksa perkembangan status di layar monitor.
Wajahnya terlihat datar, sampai satu email dari tim direksi firma membuatnya mengerutkan kening. “Apa-apaan ini?” desisnya kesal.
Telunjuk kanannya bergerak lincah saat menggulirkan scroll mouse. Email dan lampiran yang dikirim padanya berkali-kali dia baca untuk memastikan informasi yang dikirimnya benar-benar valid. Sayangnya, berapa kali pun Zayn memastikan, tetap saja hasilnya sama. Dimulai hari ini, Zayn akan menjadi mentor dari pengacara baru yaitu Milly Benson.
“Ck! Kasusku sudah terlalu rumit, aku tidak bisa menjadi mentor dari seseorang yang bahkan tidak cocok menjadi pengacara,” gumam Zayn lagi dengan nada gusar.
Telunjuknya mengarah pada menu balas email. Setelahnya, kedua tangannya bergerak lincah di atas keyboard untuk mengetik balasan penyanggahan. Tanpa pikir dua kali lagi, Zayn telah mengirim balas email itu.
Tring!
Notifikasi email kembali terdengar. Balasan langsung dari pihak direksi yang menolak balasan penyanggahan Zayn. Mau tidak mau, Zayn harus menjadi mentor bagi Milly. Zayn mengerang frustrasi. Kejadian yang dia lihat di café tadi kembali terngiang. Detik berikutnya, Zayn menegakkan badan dan mendengkus kesal. Dia kembali membaca balasan email yang berhasil membuatnya suasana hatinya berantakan.
“Shit! Kenapa harus aku yang menjadi mentor dari gadis preman itu?!”