Ringkasan
"Alice terobsesi pada teman sebangkunya –Aldan-. Berbagai cara dilakukannya untuk mendapatkan hati Aldan. Namun sayang, Aldan tetap saja bersikap dingin kepadanya. Apakah pada akhirnya Alice menyerah? Atau ia tetap terus bersikap agresif agar Aldan dapat menyukainya?"
Bab 1 Pertemuan Pertama
Bab 1 Pertemuan Pertama
Gedung bertingkat dengan lalu lalang orang yang tidak pernah berhenti, membuat Alice takjub melihatnya, tidak heran, puteri Vero dan Kirana yang harus ikut pindah bersama kedua orang tuanya, sebelumnya tidak tinggal di tempat seperti ini sebelumnya.
Gedung-gedung pencakar langit, dengan lampu-lampu yang terpancar dari gedung-gedung itu, membuat Alice terus memandang ke arah langit melalui jendela mobilnya. Sehingga membuat Kirana tersenyum melihat ekspresi yang diberikan Alice.
Pemandangan malam hari di kota Portland memang lah begitu indah, sehingga membuat siapa pun yang baru pertama kali datang kesana akan merasa terpesona.
“Apakah kamu menyukainya, Alice?” tanya Kirana, yang merupakan ibu dari Alice.
Alice kemudian mengalihkan perhatiannya menuju ibunya, kemudian tersenyum begitu senang.
“Tentu! Aku belum pernah melihat keadaan yang begitu ramai seperti ini di Kanada, dan Amerika benar-benar membuatku takjub,” jawab Alice yang begitu antusias dengan apa yang dilihatnya.
Kirana pun tersenyum mendengar jawaban Alice. Sementara Vero yang sedang fokus menyetir, hanya menyunggingkan senyuman, tanpa ikut berkomentar.
“Bunda harap, kamu akan nyaman tinggal di sini,” ucap Bundanya.
Alice pun mengangguk dengan cepat.
“Besok, kamu akan bunda antar ke sekolah, karena besok hari pertama kamu masuk sekolah, jadi bunda harus menemui wali kelasmu,” terang bundanya.
“Apakah aku akan ke sekolah besok?” tanya Alice, kembali meyakinkan dirinya.
Kirana tersenyum dan menggelengkan kepalanya, saat Alice … puteri kesayangannya begitu antusias dan begitu aktif.
“Tentu saja, Alice….” jawab bundanya.
Alice pun terlihat makin mengembangkan senyumnya.
“Kita sudah sampai,” ucap Ayah Alice, saat mobil mereka kini sampai di rumah bergaya modern.
Saat itu juga, Alice langsung keluar dari mobil, dan mengedarkan pandangannya ke rumah yang akan ditempatinya itu, dengan halaman yang tidak begitu luas, namun terlihat nyaman untuk ditempati.
Setelah mengedarkan pandangan ke sekitar rumahnya, Alice kemudian bergegas menuju pintu rumahnya, yang saat ini sedang dibuka oleh ayahnya.
Setelah pintu rumah itu terbuka, dengan begitu antusias, Alice langsung berlari kesana dan kemari untuk meneliti bagian demi bagian rumahnya itu. Sehingga membuat ayah dan bundanya tersenyum melihat tingkah Alice yang begitu aktif.
“Sepertinya genmu banyak menurun kepada Alice,” ucap Vero kepada Kirana sambil membawa satu buah koper dan satu buah tas jinjing di kedua tangannya.
Kirana hanya tersenyum dan tidak berkomentar tentang ucapan Vero.
Setelah lelah berkelana kesana dan kemari, meneliti setiap inci bagian demi bagian rumahnya, akhirnya Alice merebahkan tubuhnya di kasur empuk miliknya. Di kamar barunya itu, Alice mencoba beradaptasi dengan tempat tinggal barunya itu.
Karena kelelahan, Alice yang tadi hanya merebahkan tubuhnya di kasur, kini terlelap dan terlihat begitu nyaman. Mungkin juga karena ini sudah cukup larut malam, sehingga membuat Alice merasa mengantuk.
Tidak terasa, Alice benar-benar tertidur sampai keesokan paginya. Saat bundanya membangunkannya, untuk siap-siap pergi ke sekolah, Alice langsung tebangun dari tidurnya, dan teringat bahwa dirinya akan ke sekolah hari ini.
“Alice … ini hari pertamamu ke sekolah, jadi jangan sampai terlambat,” ucap bundanya, sembari mengusap kepala Alice dengan lembut dan kasih sayang.
Alice yang mendengar itu pun, langsung membuka matanya lebar, dan saat itu juga, Alice langsung duduk di samping bundanya.
Alice tidak sadar jika semalam ia benar-benar tertidur, sehingga membuatnya sedikit bingung dengan suasana kamar yang berbeda dari biasanya.
“Kita akan ke sekolah naik taksi, jadi … sekarang kamu harus segera bersiap-siap, Alice….” bundanya kembali memerintahkan Alice untuk bersiap-siap dengan suara yang sangat lembut.
Kemudian dengan antusias, Alice berdiri dari tempat tidurnya, kemudian memeluk bundanya dengan erat dan mengecup pipi kiri bundanya.
“Terima kasih, bunda … sudah membangunkan aku,” ucap Alice, kemudian meninggalkan bundanya menuju kamar mandi.
Sementara bundanya hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, melihat tingkah puterinya itu.
Setelah selesai bersiap-siap, Kirana langsung menuju meja makan, dimana bundanya sedang duduk dan mengoleskan selai stroberi pada roti tawar.
Kirana mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah, dan ia tidak menemukan ayahnya, sehingga membuatnya mengerutkan keningnya.
“Bunda, kemana ayah?” tanya Alice, sembari duduk di depan bundanya.
“Ayah sudah berangkat pagi-pagi sekali tadi, karena ada meeting yang sangat penting dengan klien, jadi kita harus naik taksi untuk ke sekolahmu,” jelas bundanya.
Alice pun mengangguk paham, mendengar penjelasan bundanya. Alice sudah tidak kaget dengan ayahnya yang begitu sibuk, bahkan saat dirinya belum ikut pindah bersama ayahnya pun, ia sudah sangat paham dengan kesibukan ayahnya di kota ini.
Ayah Alice sudah sejak lama berada di kota ini, bahkan sebelum menikah dengan Bunda Alice, sehingga membuat Alice tidak terkejut jika ayahnya akan tetap sibuk setelah pindah, lebih tepatnya Bunda dan Alice lah yang pindah ke Negara dan tepatnya kota ini, karena sebelumnya ayahnya selalu ke Portland setiap seminggu selama sebulan, selama Alice dan bundanya masih tinggal di Kanada.
Alice mengunyah roti isi selai yang disiapkan oleh bundanya, disela Alice menikmati sarapan dengan bundanya, sesekali ia tertawa karena bersenda gurau dengan bundanya.
Setelah menyelesaikan kegiatan sarapan, kini Alice dan bundanya bersiap untuk pergi ke sekolah baru Alice.
“Sudah siap?” tanya bundanya.
“Tentu!” jawab Alice tersenyum lebar.
Kemudian Alice bersama bundanya masuk ke taksi yang sebelumnya sudah lebih dulu dipesankan oleh Ayah Alice.
Di perjalanan, Alice tidak berhenti memandang ke arah luar, dengan ramainya hiruk pikuk kota itu, membuat Alice menjadi bersemangat.
Meskipun sebenarnya Alice tidak begitu mudah akrab dengan orang lain, dan tidak mudah bergaul, namun Alice menyukai suasana baru yang kini ia akan rasakan setiap hari selama di sini.
Beberapa menit kemudian, Alice dan Bundanya sudah sampai di depan gerbang sekolah, kemudian Alice dan Bundanya meneruskan dengan berjalan kaki menuju ruang guru.
Saat Alice berjalan di koridor kelas, dengan rambut terurai, dan paras cantik yang dimiliki Alice, membuat dirinya langsung menjadi pusat perhatian di sekolah oleh murid lain.
Alice yang sadar jika banyak murid memperhatikannya pun, hanya menggandeng bundanya dengan erat.
Sesampainya di ruang guru, Alice hanya diam dan menunggu bundanya berbincang dengan wali kelasnya.
Alice yang sejak tadi hanya terdiam kini wali kelasnya meminta dirinya untuk ikut bersama menuju kelas Alice nantinya.
“Alice, mari ibu antar kamu ke kelasmu,” ajak wali kelasnya dengan senyuman ramah.
Alice yang mendengar itu pun, langsung terkesiap dan berpamitan dengan bundanya sebelum ikut masuk kelas dengan wali kelasnya itu.
“Bunda … aku ke kelas dulu,” pamit Alice.
Bundanya mengangguk dan tersenyum lebar pada Alice, kemudian Alice berdiri, dan mengikuti langkah wali kelasnya pergi.
Setelah sampai di kelas, Alice langsung menjadi pusat perhatian murid di kelas itu. Namun, Alice yang dingin jika belum akrab dengan seseorang tidak menghiraukan itu.
“Baiklah Alice, perkenalkan namamu kepada teman-temanmu,” perintah wali kelasnya.
Alice mengangguk dengan sopan.
“Hai, perkenalkan namaku Alice Victoria, kalian bisa memanggilku dengan Alice,” Alice yang malu-malu hanya menyebutkan yang menurutnya penting saja.
“Kalau begitu, kamu bisa duduk di kursi depan yang kebetulan kosong itu,” tunjuk wali kelasnya.
Namun, sejak tadi pandangan Alice tertuju pada murid laki-laki yang duduk sendiri di barisan paling belakang.
“Maaf bu, tetapi saya ingin duduk di barisan belakang yang kebetulan juga kosong,” Alice menolak perintah wali kelasnya dengan bahasa yang sopan.
Sehingga membuat wali kelasnya hanya menuruti keinginan Alice, mengingat Alice yang berstatus murid pindahan, akan jauh lebih penting memikirkan dirinya untuk mudah beradaptasi di sekolah ini.
“Baiklah, kamu boleh duduk di sana,” jawab wali kelasnya.
Alice tersenyum senang, karena berhasil meyakinkan wali kelasnya, sementara murid laki-laki yang terlihat tidak peduli itu, menatap Alice dengan pandangan yang tidak suka terhadap Alice.
Setelah wali kelasnya mempersilakan dirinya untuk di kursi yang Alice kehendaki, Alice bergegas menuju kursi itu, Alice tersenyum pada murid laki-laki itu, yang tampak tidak menghiraukannya.
“Hai, namaku Alice,” Alice kembali memperkenalkan dirinya kepada murid laki-laki itu dengan wajah yang begitu sumringah, sembari mengulurkan tangannya.
“Aldan,” jawab murid laki-laki itu, tanpa menjabat tangan Alice.