5: Tawaran
Divya sengaja menonaktifkan ponselnya sejak siang, ia hanya tidak ingin waktu bersama sahabatnya diganggu oleh siapa pun.
Hari baru saja gelap, senja sudah tenggelam. Seperti batu yang dilemparkan ke sungai, hilang tak tersisa.
Memang tidak ada rasa kesal ketika Raga menjemput mereka di rumah Alena, karena Divya sengaja untuk menguji pria itu.
Hanya saja, lagi-lagi Divya merasa kesal melihat wajah suaminya itu. Meskipun Raga sudah minta maaf berkali-kali, rasa ingin mendiami itu masih ada.
Sudah pasti Pak Umas yang memberitahukan Divya dan anak-anak sedang berada di mana. Mungkin saja sebelum datang menjemput, terjadi suasana menegangkan di rumah. Terlihat dari wajah Raga yang kesal bukan main.
"Pa, nanti rumah kita bikinin kolam juga, ya," pinta Kayla.
Divya tahu dari mana ide permintaan itu muncul. Tentu saja karena melihat kolam berenang di rumah Alena. Tadi anak-anaknya tidak Divya izinkan untuk berenang, karena tidak ada seseorang yang bisa mengawasi di kolam.
"Iya, Sayang." Raga membalas dan itu membuat Divya mual mendengarkan.
"Horeee!" sorak Kayla dan Raynar terlihat bahagia.
"Sok banget," desis Divya dari jok belakang.
Biasanya ia akan duduk di sebelah Raga, tetapi kali ini Kayla yang menggantikan. Sedangkan ia bersama sang putra berada di jok belakang.
"Lain kali kalau mau keluar kasih tahu Mas dulu," ucap Raga, memulai pembicaraan yang lebih serius.
Divya tidak menggubris, tatapannya mengarah pada kuku tangan yang bersih. "Dikutek bagus kali, ya." Mempertimbangkan apa yang akan dilakukannya pada kuku-kuku itu.
"Div, kamu denger apa kata Mas?"
"Bagusnya diwarnai nggak, Dek?" tanya Divya pada Raynar.
Anak itu mendongak, menatap mamanya tidak mengerti. "Apa tu?"
"Kuku Mama." Divya memperlihatkan kukunya pada sang putra. "Bagus nggak, kalau diwarnai?"
"Walna bilu badus," ujar Raynar.
Terdengar helaan napas kasar dari jok depan. Divya sama sekali tidak peduli, yang dilakukannya adalah mengajak Raynar berbicara masih dengan topik yang sama, yaitu kuku.
"Punya Anel juga walnai," pinta Raynar.
"Nggak boleh. Raynar, kan, cowok." Kayla menyahuti dari jok depan.
"Cowok itu apa?" tanya si bungsu.
"Si tukang selingkuh." Divya menjawab tanpa pikir panjang.
"Hum? Kok, selingkuh, Ma?" Kayla menyela, terdengar jelas tidak setuju dengan jawaban Divya. "Cowok itu kayak Papa dan Adek."
"Bener," sahut Raga, sembari mengelus rambut Kayla.
Divya bisa melihat pria itu tersenyum pahit, dan itu membuatnya mendengkus. "Kayla lebih percaya Mama atau cowok?"
"Hm?" Kayla nampak tidak mengerti.
"Coba Kayla tanya," Divya menunjuk ke arah Raga, "cowok itu suka selingkuh atau enggak?"
"Div," tegur Raga.
Divya hanya mengangkat bahu tanda tidak peduli. "Semoga kamu nggak dapet suami kayak papamu, Kay." Itu harapan terbesar dari seorang ibu.
---
Saat sampai ke rumah, Divya terkejut melihat orang tua Raga datang berkunjung. Nampaknya bukan hanya ia yang kaget, Raga pun begitu.
"Opa? Oma?" Kayla mendekati kedua orang tua itu.
"Jangan minta pangku ke Kakek, asam urat lagi kambuh," kata Raira yang baru datang dari dapur.
"Kalau sakit kenapa ke sini?" Raga mendekati Ranto yang memijat pelan lutut.
"Apa salahnya kalau Ayah mau dirawat sama anak-anak Ayah?" ujar pria paruh baya itu.
Divya hanya menghela napas, tidak melarang dan tidak pula keberatan. Namun, ada sesuatu yang dikhawatirkan olehnya, yaitu keinginan untuk bekerja tidak akan direstui oleh mertuanya.
"Kalian dari mana, sih?" tanya Mega.
"Jemput Divya sama anak-anak di rumah Alena." Raga menjawab.
Divya sendiri lebih peduli pada anak-anaknya. Ia mengajak dua bocah itu untuk ke kamar dan berganti baju.
Sepertinya apa yang ia lakukan tengah diawasi oleh anggota keluarga Raga. Hal itu membuat Divya merasa risi. Sudah pasti mereka tahu bahwa ia masih menjaga jarak pada Raga.
"Tapi kalian udah makan?" tanya Mega lagi.
Divya yang hendak menaiki tangga bersama anak-anaknya, menghentikan langkah untuk menjawab pertanyaan itu.
"Udah, Bu. Tadi sekalian makan di rumah Alena."
"Raga juga ikut makan di sana?" Mega seperti petugas kepolisian yang sedang mengintrogasi.
"Iya, Bu," jawab Raga.
Alis Divya terangkat mendengarkan kebohongan itu. Namun, bukannya menyela, ia kembali melanjutkan langkah membawa anak-anak ke kamar.
Entah apa maksud dari Raga, sedang melindungi dan mengorek hati Divya? Ah, itu tidak akan berpengaruh untuk Divya. Sampai detik ini hatinya masih sakit.
"Habis ganti baju, Kayla mau pijitin lutut Opa," kata Kayla, meminta persetujuan dari sang mama.
Divya mengangguk sembari melepaskan baju anak itu, lalu beralih pada Raynar. Mereka masih mengenakan baju yang dipinjam dari Alisha dan Akmar. Akan Divya kembalikan besok jika sudah dicuci.
"Divya?" Seorang wanita memanggil namanya.
Divya menoleh, mendapati Mega tersenyum sembari memberikan sebuah kotak padanya. Mengerutkan kening, ia tak tahu dalam rangka apa ini.
"Dari Raga, katanya takut kamu nggak terima, jadinya minta tolong ibu buat ngasih."
Menggigit bibir, Divya segan untuk menerima, tetapi senyum mertuanya seakan penuh harap. Perlahan tangan terulur untuk menerima kotak itu.
"Kamu buka aja, anak-anak biar Ibu yang urus," kata Mega sembari menarik pelan Kayla dan Raynar menuju kamar mandi.
Jadi, ini kiriman paket yang dimaksud Raga tadi pagi. Divya berdecak, tak ada niat untuk membuka kotak tersebut.
Ditaruhnya di atas lemari, berharap sampai kapan pun ia tidak ingat atau penasaran pada isinya. Karena Divya, masih memiliki keteguhan hati yang sama.
"Div," panggil ibu mertuanya dari arah kamar mandi.
"Ya, Bu?" Divya menyahuti dan segera menuju ke asal suara.
"Ini Kayla nanyain soal cowok selingkuh, maksudnya apa?"
Hanya ekspresi datar yang Divya berikan, kemudian mengangkat bahu sekilas pertanda bahwa tak tahu. "Nggak tahu, Bu," kilahnya.
--
Padahal, Divya hari ini ingin mengantarkan surat lamaran di beberapa tempat, tetapi tertunda karena kedatangan orang tua dari Raga.
Meskipun sebenarnya Divya menyayangi kedua orang tua itu, tetapi sekarang ia merasa terganggu karena tanpa sengaja mereka menunda rencananya yang sudah matang.
Divya tidak semerta-merta mengatakan keinginannya untuk bekerja, itu bukan urusan mertuanya. Di sini ia bekerja bukan untuk melakukan hal bodoh, tetapi belajar mandiri.
"Mbak." Raira memeluknya dari belakang.
Divya sedikit terkejut dengan perlakuan tiba-tiba itu. Ia menengok ke belakang, wajah adik iparnya benar-benar terlihat sangat bahagia.
"Kenapa?" tanyanya.
Menghentikan aktivitas memotong sayuran, ia memutar tubuh menghadap Raira. Alis terangkat karena penasaran dengan ekspresi perempuan itu.
"Aku ...," Senyum Raira semakin mengembang, "dilamar Sammy!" seru perempuan itu.
Tentu saja Divya ikut bahagia mendengarkan kabar tersebut. Keduanya sudah lama berpacaran, hampir menyentuh 6 tahun. Jika itu kredit mobil, pasti sudah lunas.
"Selamat," ucap Divya, memeluk adik iparnya.
Sebagai seorang ipar, Divya memang sering menempatkan diri sebagai teman curhat Raira, bahkan sebelum menikah dengan Raga.
Ia tahu bagaimana pasang surut hubungan Raira dan Sammy. Untuk sampai di sini adalah suatu pencapaian yang sangat berarti dan sulit.
"Udah kasih tahu ayah sama ibu?" Divya melerai pelukan mereka.
"Mbak yang pertama, nanti malam aku kasih tahu pas makan malam."
Divya mengangguk setuju, karena itu waktu yang sangat pas, di mana seluruh anggota keluarga berkumpul untuk makan.
"Hari ini aku yang jemput keponakanku, Mbak diam aja di rumah." Dengan semangat dan senyum mengembang, Raira meninggalkan dapur.
Divya hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan iparnya itu. Ia kembali melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.
Melihat senyum Raira tadi, Divya jadi ingat saat pertama kali dilamar oleh Raga. Senyum seperti itu ia berikan pada semua orang yang ditemui.
Namun, semua tidak seindah saat dilamar. Di hari itu, ia merasakan sakit. Ingin ikhlas, tetapi sulit. Divya butuh waktu dan sesuatu untuk melupakan.
---
Kebahagiaan masih tergambar jelas di wajah Mega dan Ranto. Kendati ini bukan pernikahan pertama di keluarga mereka, tetapi tetap saja senyum itu terbit.
Divya duduk sembari memangku Kayla yang malam ini ingin dikuncir. Ia melakukan permintaan anaknya itu, sembari mendengarkan wejangan yang keluar dari mulut Mega untuk Raira.
"Papa, gambar sini," ucap Raynar sembari memberikan buku gambar pada Raga yang baru saja ikut berkumpul di ruang keluarga.
"Raynar mau Papa gambar apa?" tanya Raga.
"Apel!" seru anak itu.
Sampai detik ini, Divya masih saja mendiamkan Raga. Tidak ada keinginan untuk mengajak mengobrol, meski pria itu berusaha untuk berbicara dengannya.
Getar ponsel membuat Divya menengok. Itu berasal dari ponsel Raga.
"Papa angkat telepon dulu," ucap pria itu kepada Raynar sebelum beranjak.
"Emangnya kenapa kalau diangkat di sini." Suara berat menyela.
Divya menoleh pada Ranto yang menatap Raga penuh kecurigaan. Selama kejadian ini, ayah mertuanya terus mengawasi sang suami. Sedangkan Mega berusaha untuk membuat Divya mau berbicara dengan Raga.
"Entar ganggu, Yah," balas Raga.
Ranto mengambil remote dan mematikan TV. "Udah tenang, kamu nggak bakal keganggu."
Suasana tegang itu ternyata tersampaikan pada Kayla dan Raynar yang langsung diam tak berkutik.
Raga menghela napas panjang, kemudian mengangkat telepon tersebut tanpa beranjak dari sofa yang diduduki.
Tidak ada yang perlu dicurigai selama Raga berbicara dengan orang di seberang sana, karena pembahasan tidak lepas dari pekerjaan.
Ngomong-ngomong, seharian ini Divya tidak melihat kegalauan Raga di saat Aminah pindah ke Kalimantan.
Namun, bukan berarti Divya percaya bahwa pria itu sudah tidak berhubungan dengan Aminah. Mungkin saja mereka sudah saling mengabari tanpa sepengetahuan.
"Yah, aku udah menyesal, nggak perlu dicurigai lagi," ucap Raga setelah menutup telepon.
"Kalau kamu lakuin sekali, itu bisa dimaafkan. Dua kali, mana ada yang percaya lagi. Bahkan istri kamu yang tahu kamu luar dalam, udah nggak punya rasa percaya." Ranto membalas ucapan sang putra.
Suasana menjadi hening, Raira yang tadi terus mengoceh karena bahagia, Mega yang memberikan wejangan pada sang putri, kini hanya tersisa keheningan.
Sebagai seseorang yang dibawa dalam percakapan, Divya hanya bisa membuang pandangan ke tempat lain.
Getaran di ponselnya membuat ia tersentak kaget. Dengan sopan Divya meminta izin untuk menjauh dan mengangkat telepon tersebut. Ayah mertuanya langsung mengangguk mengizinkan.
Divya menuju teras rumah, kemudian mengangkat telepon tersebut. "Halo?" sapanya pada seseorang di seberang sana.
"Div, gue udah dapet kerjaan bagus buat kamu." Tanpa membalas sapaan, Alena segera mengatakan hal tersebut.
"Serius?" Senyum Divya mengembang.
"Kerjanya jadi kasir di toko kue, kebetulan owner-nya gue kenal. Gue bilang lo cuma punya waktu pagi sampai sore, dan dia iyain."
"Terus? Gue harus gimana, Al?" tanya Divya, bingung karena sangking bahagia.
"Besok lo ke rumah gue dulu, entar gue anterin ke toko itu."
"Sip, sip," ujar Divya.
"Ya udah, lo cepat tidur, biar besok nggak telat bangun."
"Makasih, ya, Al." Divya tulus mengatakan itu.
"Iya, sama-sama."
Sambungan terputus, tetapi senyum Divya belum juga sirna. Membayangkan dirinya tidak akan bergantung lagi pada Raga, membuat bayangan masa depan begitu jelas terlihat.
Divya memutar tumit, berniat untuk kembali masuk ke rumah. Namun, langkah terhenti karena kehadiran pria itu.
"Dari siapa?" tanya Raga.
Divya tidak menjawab, malah kembali melangkah dan melewati sang suami. Tadi ia tidak ingin tahu dengan siapa Raga teleponan, maka sudah seharusnya Raga pun tidak ingin tahu tentangnya.
"Kalau suami nanya, harus dijawab." Nada suara Raga terdengar sewot.
Terkekeh, Divya terus melangkah menuju tangga, di mana ia harus melewati ruang keluarga.
"Suami yang gimana dulu, yang harus dijawab pertanyaannya," timpal Divya sembari membawa Raynar dalam gendongan.
Anak itu nampak terkejut karena tiba-tiba diangkat oleh sang mama. Sedangkan kepada Kayla, Divya memberikan kode untuk ikut dengannya ke kamar.
"Anak-anak tidur dulu, udah jam segini." Divya mengucapkan itu dengan santai pada mertuanya.
"Ya udah. Ini biar aku yang rapiin, Mbak," ucap Raira.
Divya menghela napas melihat kekacauan yang dilakukan Raynar. "Makasih, Ra."
---