Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Mempertemukan

Hari pun sudah menjelang malam.

Keheningan meliputi hampir di seluruh lantai gedung yang sebagian besar pegawainya telah beranjak pulang menuju ke rumah mereka masing-masing, hanya menyisakan beberapa yang masih lembur di ruang kerja mereka.

Namun berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di lantai 37, lantai dimana ruang CEO berada. Suara-suara pukulan dan erangan kesakitan terdengar lirih dari balik pintu ruang milik Jaxton Quinn.

"Berhenti."

Perintah dengan nada dingin itu seketika membuat dua orang lelaki berbadan besar berhenti memukuli seorang lelaki dengan wajah serta tubuh yang babak belur.

"Apa sekarang kau masih ingin bertanya dimana Nona Audriana?"

Bagas menatap nyalang kepada Geovan dengan matanya yang bengkak akibat hantaman pengawal berbadan besar.

"Brengsek kau, Geovan! Audriana adalah kekasihku! Apa hakmu melarangku untuk menjemputnya?!" Geram Bagas dengan sisa-sisa tenaganya.

Tawa mengejek Geovan pun terdengar. "KEKASIHMU?? Dasar bodoh! Mr. Jaxton akan membunuhmu seketika jika ia mendengar perkataamu, Bagas! Tolong cerdas sedikit! Kau telah menyerahkan Nona Audriana kepada Mr. Jaxton, maka dia adalah milik Mr. Jaxton dan bukan lagi kekasihmu. Camkan itu."

"Sudah kubilang bukan seperti itu perjanjiannya!" Teriak Bagas keras kepala. "Mr. Jaxton hanya akan tidur satu kali dengan Audriana, itulah yang terjadi!"

"Ck-ck. Ternyata kau benar-benar tidak cerdas. Kau," Geovan menunjuk dahi Bagas lurus-lurus, "bukan berada pada posisi yang bisa melayangkan protes apa pun kepada Mr. Jaxton, bodoh!" Lalu Geovan pun berdiri dari duduknya di sofa dan merapikan jas serta mansetnya.

"Pukul dia lagi selama setengah jam," titahnya kepada pengawal, sebelum beranjak dari ruangan dan menatap Bagas sambil menyeringai.

"Ingat, jangan pernah membuat Mr. Jaxton marah. Asal kau tahu, beliau tidak semurah hati seperti aku."

***

Kamar bernuansa monokrom itu kini hening nyaris tanpa suara. Hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar di balik remang-remang lampu, yang berbaur dengan lirihan napas yang mengalun teratur dari seorang gadis yang terlelap dan larut dalam mimpinya.

"Mmmhh... "

Seakan tak peduli dengan Audriana yang tidak sadarkan diri akibat suntikan obat tidur yang sengaja ia berikan. Jaxton terus mengulum puncak dada merah muda yang kenyal menggemaskan itu ke dalam mulutnya.

Gairahnya benar-benar sulit untuk padam jika berdekatan dengan sosok cantik bak boneka hidup ini. Padahal ia sengaja meminta Hardin--dokter pribadinya--untuk memberikan suntikan kepada Audriana agar gadis itu dapat istirahat setelah kelelahan karena gempurannya.

Namun ketika melihat Audriana yang tidur dengan wajah polosnya, seketika itu juga hasrat Jaxton kembali melesat naik tiba-tiba.

Fuck!

Ia memang menyukai kegiatan bercinta, tentu saja. Setiap hari ia selalu melakukannya setiap kali sepulang kerja, dengan wanita-wanita yang telah disediakan oleh Geovan ajudannya.

Namun Jaxton tidak pernah se-obsesif ini dengan satu wanita, tak pernah begitu bernafsunya, hingga tiap detik yang berlalu dalam lingkaran waktu ini hanya ingin ia habiskan dengan bercinta, bercinta dan bercinta... dengan Audriana.

"Aaaahh! Fuck!"

Lelaki itu mengumpat ketika merasakan bagian bawah tubuhnya yang tegang dan butuh untuk segera dijinakkan, padahal sebelumnya ia hanya ingin mengulum bulatan sintal Audriana tanpa berbuat lebih lanjut, namun sepertinya hasratnya yang menggelora tak mampu terbendung lagi.

Jaxton kembali mengulum puncak dada Audriana dengan rakus, sembari satu tangannya mengurut batang kejantanan yang telah menegak, mengeras dan menjulang.

Haruskah ia menyetubuhi gadis yang sedang tidak sadarkan diri karena obat tidur?

Gairah yang sudah begitu memuncak telah membutakan Jaxton. Dengan meludahkan saliva ke atas telapak tangan, Jaxton pun segera melumuri batang berukuran ekstra large miliknya hingga terasa licin dan basah.

Kini ia telah siap. Jaxton memposisikan dirinya tepat di depan Audriana, dan mengecup bibir ranum merah merekah gadis itu sebelum bersiap untuk membenamkan dirinya.

Lalu dengan satu sentakan kuat, Jaxton pun menghujamkan dirinya dalam-dalam seraya bibir pink pucatnya mengerang rendah penuh kenikmatan.

Tanpa membuang waktu lagi, ia segera menggerakkan pinggul dengan cepat dan keras tanpa jeda. Menyongsong kepuasan tiada tara yang telah terpampang menggiurkan di depan mata.

Tubuh Audriana yang terdiam karena masih lelap dalam pengaruh obat tidur pun terhentak-hentak. Jaxton mengecup kedua matanya yang tetap terpejam tenang, seakan tak terpengaruh oleh persetubuhan liar dan panas yang dilakukan oleh Jaxton.

Ini gila.

Selama ia sudah mengenal kegiatan panas di atas ranjang, belum pernah sama sekali Jaxton melakukannya dengan wanita yang sedang tidak sadarkan diri.

Come on! Bahkan selama ini para wanita itulah yang melemparkan diri mereka ke hadapannya dengan suka rela, begitu mudah dan murahnya hingga Jaxton tidak pernah sesulit itu mendapatkan pelampiasan hasratnya.

Namun karena lelaki blasteran Amerika-Indonesia itu tidak pernah ingin terlibat asmara lebih dalam dengan wanita mana pun, maka ia pun memilih para jalang kelas atas untuk menghangatkan ranjangnya. Tanpa drama, tanpa komitmen.

Dan Audriana... gadis ini berbeda.

Ya, dia memang sangat cantik dengan tubuh yang juga tak kalah menggiurkan seperti jalang bertarif tinggi, namun Audriana tidak murah seperti mereka. Penolakan-penolakan yang ditunjukkan oleh gadis itu justru membuat Jaxton semakin berhasrat ingin menaklukkannya.

"Damned!!"

Umpatan frustasi itu lolos dari bibir Jaxton ketika tiba-tiba mendengar denting suara ponselnya di tengah-tengah kegiatan mesumnya menggagahi Audriana. Nada denting khusus yang ia setel untuk semua pesan dari Geovan, ajudannya.

Pasti ada sesuatu yang sangat penting, karena Geovan tidak akan berani mengontak dirinya hanya untuk hal yang sepele.

Jaxton menarik tubuhnya dari Audriana dengan enggan, namun ia tak bisa mengabaikan pesan penting dari ajudannya. Dengan santai, lelaki dengan tubuhn polosnya yang dipenuhi otot itu pun turun, menimbulkan suara derak halus dan sedikit goncangan di ranjang itu.

Kedua kaki kokoh Jaxton pun melangkah dengan santai menuju meja di samping ranjang dimana ponselnya berada.

Seringai lebar yang tak sampai ke mata membuat wajah blasteran tampan itu semakin terlihat menakutkan ketika ia membaca isi pesan di ponselnya.

[Selamat malam, Mr. Jaxton. Maaf mengganggu Anda di malam ini. Saya hanya ingin mengabarkan kalau Bagaskara Angkasa tadi mencari-cari Nona Audriana hingga masuk ke ruangan CEO]

Jaxton pun akhirnya memutuskan untuk menelepon Geovan, dan hanya pada deringan pertama sambungan itu langsung diangkat oleh ajudannya.

"Apa dia masih di sana?" Jaxton langsung bertanya tanpa perlu berbasa-basi.

"Ya, Sir. Dia sedang mendapatkan sedikit 'hadiah' dari para pengawal," sahut Geovan.

Jaxton terkekeh pelan. Tentu dia tahu apa 'hadiah' yang dimaksud. Pasti para pengawalnya itu sedang menghajar Bagas.

"Seharusnya kau tidak melakukan itu, Geo. Biar aku sendiri yang akan menghajar cecunguk itu. Sudah cukup lama juga aku tidak membuat seseseorang pingsan," tukas Jaxton ringan, seakan-akan apa yang dia sampaikan adalah mengenai cuaca hari ini.

Geovan hanya bisa menahan napas dan meringis dalam hati. Sebenarnya itulah yang dia takutkan. Ia takut jika atasannya itu akan membuat Bagas terluka parah, bahkan mungkin mati jika dia tidak terlebih dulu menyuruh pengawal memukulinya.

Paling tidak luka-luka yang disebabkan pengawal itu tidak akan separah luka yang diakibatkan Jaxton Quinn, yang Geovan sangat tahu bagaimana emosi bosnya itu sangat mudah meledak jika sedang terpancing.

"Maafkan saya, Sir. Saya hanya ingin memberikan Bagas sedikit pelajaran agar dia tahu diri."

"Baiklah. Kalau begitu jangan biarkan dia pergi. Katakan pada cecunguk itu kalau besok aku dan Audriana akan menemuinya di kantor."

"Baik, Sir. Saya mengerti."

Jaxton memutuskan sambungan telepon itu, lalu meletakkan ponselnya ke atas meja. Seakan tak terjadi apa-apa, lelaki itu pun kembali ke atas ranjang dan ke atas tubuh Audriana untuk mengecup bibir ranum Audriana dengan penuh nafsu.

"Bagaskara itu terlalu bodoh untukmu, kelinci kecil," gumannya dengan suara serak ketika akhirnya ia melepaskan ciumannya. Netra hijau cemerlang layaknya zamrud itu mengamati wajah cantik Audriana dengan intens sarat akan gelora.

"Mari kita lihat bagaimana mantan kekasihmu yang bodoh itu bersikap, ketika besok aku mempertemukan kalian berdua, kelinciku. Hm, ini pasti sangat menarik untuk dilihat."

Kekehan pelan yang menguar dari bibir Jaxton itu bagaikan suara tawa kejam iblis yang telah berhasil memperdaya korbannya, yang sudah tak berdaya dalam cengkeraman cakar tajamnya yang penuh bisa mematikan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel