Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Episode 7 Ghea

Begitu datang ke rumah, Amirah langsung masuk ke kamar. Kepalanya nyungsep di bantal, meneruskan tangisnya.

Mengapa omongan Gumelar diterimanya sangat sakit sekali? Padahal, lelaki itu tidak pernah membalas sikap yang terkadang sangat keterlaluan ditujukan padanya. Sekarang hanya diperlakukan begitu saja, bukan menyadari malah dibuat sakit hati.

Amirah terus menangis, sampai tertidur. Terbangun lagi saat bi Anah masuk ke kamarnya sambil geleng-geleng kepala.

"Neng Ami, ini udah mau Magrib! Bangun, Neng!" Bi Anah menepuk-nepuk bahu Amirah yang tertidur miring.

Namun, gadis itu hanya menggumam dengan tidak jelas.

"Eh, Neng Ami! Bapak udah pulang tuh, nanyain Neng Ami."

Amirah membuka matanya yang terasa sepet, lalu bangun dan duduk.

"Astaga! Mata Neng Ami, kenapa?" tanya bi Anah.

Amirah melihat padanya. "Emang, kenapa?"

"Matanya bengkak begitu. Neng abis nangis, ya?" tebaknya.

"Bi Anah so tahu ah." Amirah membuang mukanya, lalu turun dari tempat tidur dan langsung masuk ke kamar mandi.

'Sebel!' gerutunya dalam hati. Dasar tukang kepo, urusan apa saja selalu ingin tahu. Mana Amirah mau memberitahu pada bi Anah, ia menangis karena Gumelar. Yang ada nanti malah tambah diolok-olok sama ART-nya itu, karena lebih cenderung mengagumi sosok Gumelar.

Mengingat Gumelar, hatinya kembali terasa sakit. Dengan masih memakai baju, Amirah langsung mengguyur kepalanya dengan air dingin.

Ia malas untuk ketemu lagi dengan Gumelar. Beruntung pemuda itu pulang ke kampungnya hanya seminggu atau dua minggu sekali karena kuliahnya di Bogor.

Besoknya ia ketemu dengan Julaeha, sewaktu berangkat ke sekolah. Ia memang diijinkan oleh pak Pandu, untuk nebeng motor Amirah setiap pulang-pergi ke sekolah. Amirah pun tidak merasa keberatan.

"Mi, kemarin gak apa-apa, kan?" tanya Julaeha dengan polosnya.

"Emangnya, kenapa?" Amirah pura-pura tidak mengingat. Ia tidak mau, rasa sakit yang susah payah dilupakannya diungkit kembali.

"Kamu langsung pergi, kemarin. A Gugum biasa ngomongnya tidak begitu."

"Ah, peduli apa, Eha? Sama sekali tidak berpengaruh bagiku. Dasar laki-laki sombong! Baru pamornya naik dikit aja, udah berani koar-koar. Merasa sudah jadi lelaki hebat, gitu?" kata Amirah penuh kesinisan.

"Emang a Gugum hebatlah! Di desa ini hanya dia yang berhasil kuliah dengan beasiswa karena otaknya, bukan karena uang." bela Julaeha, apa adanya.

Mata Amirah tampak melebar, menatap Julaeha yang masih berdiri di hadapan motor yang sudah siap dijalankannya.

"Itu karena dia gak punya duit untuk sekolah, makanya bekerja keras untuk pintar, supaya terus dapat gratisan." jawab Amirah secara lugas.

"Ya, ampun! Ami ...." Mata Julaeha yang kini melebar. "Biar gratisan, tetapi itu terhormat, Ami. Karena dicapai dengan tidak mudah."

"Kamu mengaguminya? Aku, Tidak!" Amirah mulai menyalakan motornya. "Cepet naik! Jangan ngomongin dia lagi." sungutnya.

Julaeha tidak bicara lagi, dengan cepat duduk di jok belakang. Amirah menancap gas motor metik itu secara agak kasar. Ia hanya pasrah, mengerti kalau temannya ini emosinya agak terganggu.

Baginya, Amirah adalah seorang teman yang baik. Juga tidak sesombong seperti sikap yang ditujukannya pada Gumelar. Sering mentraktirnya, bila ia tidak punya uang jajan. Garis besarnya, Amirah adalah merupakan teman yang baik dan murah hati.

Julaeha sendiri merasa heran, mengapa Amirah sangat tidak menyukai pemuda sebaik Gumelar? Apakah karena Gumelar tidak begitu menaruh perhatian seperti pemuda lainnya, pada Amirah? Membuat ego temannya ini merasa tidak dianggap.

Ego seorang gadis cantik, yang selalu mendapat pujian dan perhatian dari para lawan jenis. Tentu sedikit atau banyak tidak begitu terima kalau ada salah satu yang mentidakacuhkan dirinya. Hingga timbul rasa tidak suka dengan tanpa alasan yang banyak.

Di tempat lain, Gumelar kembali bergelut dengan ilmu yang sedang berusaha dipelajarinya di bangku kuliah. Setelahnya, dia akan menarik ojek gantian dengan Jajat seperti biasanya. Dia sudah bisa menabung sedikit demi sedikit. Kadang dipinjam dulu oleh Jajat, bila ada keperluan yang mendesak dalam kebutuhan rumah tangganya.

Sebagai orang yang sama-sama susah, sudah saling mengerti. Tidak harus dikhawatirkan, Gumelar percaya bahwa rejeki itu tidak akan kemana. Kalau sudah miliknya, tetap akan jadi miliknya.

"Gum, pelanggan kita sudah lumayan banyak nih. Ini berkat kamu." kata Jajat. Merebahkan tubuh, selepas menjemput Gumelar di kampus untuk sama-sama pulang ke kost mereka. Dia bisa beristirahat, sementara Gumelar melanjutkan untuk gantian menarik ojek.

"Itu rejeki dari Atas, Kang. Bukan gara-gara aku. Kita hanya berusaha sebagai manusia, selebihnya Yang Maha Kuasa sebagai penentunya." jawab bijak Gumelar.

"Ya, tentu saja, Gum. Hanya rata-rata pelanggan bilang, suka sama pelayanan kamu. Udah ganteng, sopan, katanya." kekeh Jajat.

"Mereka juga tidak mengeluh soal Kang Jajat. Sikap yang baik, akan membuat orang lain merasa nyaman. Itulah kuncinya, Kang."

"Itu benar, Gum." Jajat menyetujuinya.

Begitulah keseharian mereka. Tanpa harus banyak keluhan, tetapi menjalaninya dengan tekun. Sampai suatu hari, Gumelar berkenalan dengan seorang gadis masih satu kampus dengannya.

Gara-garanya, dia sedang berjalan menuju kelasnya dan berpapasan dengan gadis yang wajahnya tampak pucat. Gumelar sudah merasa curiga kalau gadis itu sedang tidak sehat. Jadi meski sudah terlewati, dia merasa ingin kembali melihat gadis itu.

Benar saja, dilihatnya gadis itu terdiam dengan tubuh goyah. Ketika mau ambruk, Gumelar secara sigap berhasil meraih tubuhnya.

Ia dibawa ke ruang kesehatan, dan sejak itu mereka berkenalan. Namanya Gheandra, berparas cantik dengan bertutur kata secara lembut. Cukup membuat Gumelar terpesona.

Dia merasa senang, kalau Ghea nama panggilannya, tidak merasa canggung untuk berteman dengan dirinya. Padahal dari melihat penampilan dan mobil yang digunakan setiap hari, menandakan kalau ia dari kalangan orang berada.

Akan tetapi, Gumelar kembali menilik dirinya. Dia baru berjalan selangkah, untuk memperjuangkan cita-citanya. Pikirannya tidak mau terganggu oleh hal-hal yang selama ini masih tertutup baginya.

Ghea adalah seorang gadis yang ramah. Entah mungkin, karena merasa telah ditolong olehnya, ia jadi suka menemui Gumelar.

Gumelar selalu berusaha menolak untuk diajak pergi ke kantin. Uang yang didapatnya dengan susah payah itu, tidak mau dihambur-hamburkan hanya untuk sekedar menjaga gengsinya.

Setiap pagi perutnya sudah terisi nasi kuning yang dibelinya dari sesama pengontrak rumah yang mengais rejeki lewat berjualan. Itu bisa bertahan tidak lapar, sampai selesai jam kuliahnya.

Namun, Ghea tidak mengenal menyerah selalu menemuinya. Membuat Gumelar berterus terang tentang keadaannya. Dia tidak peduli kalau gadis itu jadi menjauh, karena dirinya hanya pemuda miskin saja.

Diluar dugaan, ternyata Ghea bukan jenis gadis seperti Amirah. Mengajaknya untuk tetap berteman. Ia bilang secara terus terang, kalau ia tidak begitu banyak berteman. Tetapi Ghea sudah merasa nyaman berteman dengan Gumelar.

Gumelar sedang membaca sebuah buku di sebuah bangku, di tempat biasa bila ada jeda waktu sebelum masuk ke kelas berikutnya.

"Gum, aku gak ganggu, kan?" tanya Ghea. Datang menghampiri, langsung duduk di sebelahnya.

Gumelar meliriknya sambil tersenyum. "Kalau Ghea datangnya berisik, tentu saja akan sangat menggangguku. Tetapi ini tidak, kan?"

"Aku hanya bawa badanku aja. Hanya mulutku yang menimbulkan bunyi." kelakarnya. Tertawa kecil yang tampak menarik di depan mata Gumelar.

Dia menatap tangan yang bersisian dengan tangan Ghea. Sangat jelas perbedaannya, antara hitam dan putih. Sehingga ingin saja dia bisa menyembunyikan, tetapi ke mana?

Gumelar jadi nyengir, saat Ghea menatapnya.

"Kenapa ketawanya gitu sih, Gum?"

"Menyadari betapa legamnya kulitku." Gumelar tertawa lepas. Merapatkan tangan dengan tangan Ghea.

"Ish! Kirain kenapa." Dhea memukul tangan Gumelar.

"Apalagi kulit kakiku yang selalu penuh dengan lumpur sawah. Dicuci sebersih apapun, tetap hitam." Gumelar kembali menertawakan keadaan dirinya.

"Yee ... Menariknya seseorang itu bukan dari kulitnya, tetapi dari pribadinya. Dan kamu adalah orang yang sangat baik, Gum." Pujian Ghea, membuat jantung Gumelar agak terganggu detaknya. Kenapa jadi tidak beraturan? Gumelar berusaha untuk mengendalikannya.

Dia menolehkan tatapannya ke arah lain. Wajah yang sangat cantik itu, harus sejenak dihindari agar detak jantungnya normal kembali.

"Gum, tetap jadi temanku, ya? Gak apa-apa, kan? Kalau waktu luangmu aku ganggu."

Gumelar kembali melihat pada Ghea. "Tidak masalah. Aku paling hanya baca buku, untuk sekalian belajar. Kamu tahu sendiri, sepulang kuliah, aku narik ojek."

"Terima kasih, Gum." Ghea menyentuh tangannya. "Aku sekarang bawa bekel, karena perutku tidak boleh kosong."

Gumelar jadi menatapnya lebih seksama. "Kalau mau makan di kantin atau di mana saja, jangan terhalang olehku." katanya. Sedikit merasa bersalah.

"Waktu pingsan itu, karena aku telat makan. Aku biasanya bawa bekal juga, tetapi makan sendirian sudah tidak nyaman lagi. Ada seseorang yang menggangguku. Jadi hari itu, aku memutuskan untuk makan di kantin. Sayangnya, makanan di sana tidak mendukung kesehatanku. Jadi serba salah, kan?"

"Emang kamu sakit apa, Ghea?"

Ditanya begitu, Ghea malah membuang mukanya. "Aku hanya bermasalah dengan lambungku. Tidak bisa makan sembarangan. Tidak begitu serius." Senyum Ghea muncul, untuk lebih mempertegas bahwa dirinya baik-baik saja.

"Siapa yang mengganggumu?" tanya Gumelar.

"Teman sekelas. Aku hanya tidak mau diganggunya. Tapi mulai sekarang, aku mau makan lagi bekalku. Kamu hanya cukup membaca, selagi aku makan. Tidak usah hiraukan aku."

"Aku tidak keberatan, makan saja, Ghea. Tidak usah sungkan."

"Kalau kamu mau, aku bisa berbagi makanannya. Bundaku yang selalu masak untukku." Ghea membuka bekalnya, dan benar saja terlihat banyak.

Untuk Gumelar yang setiap hari membeli nasi bungkus dengan lauk tempe-tahu dan tumis sayuran, jadi menelan ludahnya. Ada masakan daging, sayuran dan buah.

"Mau, ya, Gum? Aku tidak makan sebanyak ini."

"Mengapa bawanya banyak?"

"Biasanya gak sebanyak ini, tetapi aku bilang sama bunda untuk dipenuhi wadahnya. Siapa tahu, temanku mau ikut nemenin makan juga." cengenges Ghea.

Akhirnya Gumelar bersedia. Lagi pula mengapa harus menolak rejeki? Untuk pemuda miskin seperti dirinya, tidak usah banyak gengsi. Asal tidak sengaja meminta-minta, kalau ditawari, dia mau-mau saja.

Sejak itu, mereka selalu bertemu di tempat yang sama. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi ringan, bila mereka menemukan topik yang sama-sama ingin dibahas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel