Episode 2 Sikap Anti Patinya
"Bapak, bisa gak? Kalau yang memanggil Gum itu, jangan selalu Ami. Gantian sama Bi Anah gitu." protes Amirah pada Bapaknya. Sengaja dikeraskan suaranya, supaya di dengar Gumelar yang diminta untuk membetulkan lampu di beberapa ruangan.
"Bi Anah itu gendut, tidak bisa jalan dengan cepat seperti kamu. Lagi pula kerjaannya selalu menumpuk di dapur, kasian kan?" jawab pak Pandu kepada Amirah. "Anggap aja olah raga jalan cepat, daripada rebahan terus di kamar." jawab pak Pandu dengan telak, membuat mulut Amirah membentuk garis lurus.
Tentu saja Gumelar yang ikut mendengar, jadi tertawa dalam hatinya. Kalau tawanya diperlihatkan, bisa disemprot amirah dengan kata-kata yang biasa diterimanya. Sangat pedas!
"Tolong, Ami. Buatkan kopi untuk Gugum." Dengan ringan pak Pandu kembali menyuruh Amirah.
Mana berani Amirah menentang perintah Bapaknya? Meski dengan perasaan ngedumel Amirah melakukannya juga, tanpa penolakan.
"Tidak usah repot-repot, Pak." ucap Gumelar sambil turun dari tangga. Sudah selesai memperbaiki beberapa bohlam lampu yang tidak menyala.
Pak Pandu berjalan untuk menekan saklar lampunya dan di ruang dapur, jadi terang benderang lagi.
Amirah menaruh gelas kopi di atas meja makan. Saat Gumelar masuk lagi setelah menyimpan tangga ke belakang, pak Pandu mempersilahkan dia untuk meminum kopinya.
"Sebentar, Pak. Masih ngepul kopinya." Gumelar melihat gelas kopi yang memang masih tampak panas.
"Kalau begitu duduk aja dulu." pinta Pak Pandu dengan ramah.
Pak Pandu memang menyukai Gumelar. Menurutnya, anak ini seorang yang penuh semangat dan tidak malas. Apa yang diperintahkannya, selalu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Tidak pernah protes berapapun bayaran yang dia dapatkan, selalu diterimanya dengan ucapan terima kasih.
"Bagaimana dengan kuliahmu, Gum?" tanyanya, mulai mengajaknya mengobrol.
"Lancar, Pak. Berhasil dapat beasiswa juga." jawab gumelar.
"Syukurlah, kamu memang layak untuk mendapatkannya. Banyak yang mendukungmu dari sekolah juga aparat pemerintahan. Banyak yang mendaftar, tetapi hanya dua orang saja yang berhasil lolos mendapatkan beasiswanya. Bapak ikut seneng." ungkap Pak Pandu tulus.
"Ini juga tidak lepas dari peran Bapak. Terima kasih, Pak." Gumelar manggut hormat. Karena dia tahu pak Pandu sebagai lurah di desanya, berperan banyak ikut memperjuangkan agar dia dapat beasiswanya.
"Bapak kan, pernah menawarkan biaya untuk membantu kuliahmu. Tetapi kamu tolak, karena takut berhutang budi."
"Maaf, Pak. Bukan karena kesombongan saya menolaknya, tetapi saya ingin belajar mandiri dari titik bawah. Supaya saya terus berusaha untuk mencapai apa yang saya cita-citakan." Terlihat senyum bangga di bibir Gumelar.
"Itulah yang saya sukai dari kamu. Jarang pemuda di desa ini yang punya semangat seperti kamu. Saya mendengar ledekan dari sesama pemuda teman-teman kamu dan kamu tidak menggubrisnya. Termasuk mulut tajamnya Amirah, anakku yang sering menghinamu. Jangan masukan dalam hati, anggap itu sebagai penyemangat kamu untuk bisa membuktikannya bila kamu berhasil nanti." nasihat pak Pandu dengan bijak.
Gumelar terkekeh. "Itu mah sudah biasa, Pak. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri." Dia menyeruput kopinya.
Pruttt!
Gumelar mengeluarkan minuman kopi yang masuk ke mulutnya.
"Kenapa, Gum?" tanya pak Pandu, kaget.
"Manis sekali, Pak. Sepertinya Amirah menaruh gulanya dua kilo ..."jawab Gumelar sambil nyengir.
Amirah yang tidak jauh sedang mengerjakan PR sekolahnya, jadi mikir. Kenapa manis sekali? Padahal tadi ia menaruh satu sendok garam di kopinya.
"Amirah!" panggil bapaknya.
"Ya, Pak?" Amirah mau gak mau menghampirinya.
"Buat, kopi yang baru." perintahnya lagi.
"Tidak usah, Pak. Saya juga mau cepat pulang." cegah Gumelar. Karena hal ini, pasti akan membuat gadis itu semakin marah padanya.
"Bapak ini gimana, sih? Ami lagi ngerjain PR, di suruh terus." rajuk Amirah.
"Buatkan lagi! Tidak akan sampai setahun waktunya." Amirah tidak berkata lagi, ia kembali membuatkan kopi untuk Gumelar. Setelah selesai membuatnya, ia meletakan gelas kopi di meja makan depan Gumelar dengan mulut rapatnya.
"Minta sendoknya, Mi. Siapa tahu kamu taruh garam di kopinya sekarang." pinta pak Pandu. Ingin rasanya Amirah menjerit saking kesalnya. Gumelar sepertinya sengaja mempermainkannya lewat peran bapaknya.
Dengan menghentakkan kaki, Amirah mengambil sendok dan memberikannya pada Gumelar.
"Coba rasa dulu, Gum." pinta pak Pandu.
Gumelar menurutinya.
Pruttt!
Kembali dia mengeluarkan air kopi itu dari mulutnya.
"Sekarang pasti Ami, menaruh garam beneran ke kopinya, Pak." Dengan wajah datar, Gumelar mengatakannya. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun kalau dia mencandai pembuat kopinya.
Pak Pandu jadi penasaran, menyeruput sedikit kopinya. Melakukan hal yang sama seperti Gumelar barusan.
"Amii ...!" Pak Pandu memanggil Amirah, dengan berusaha menekan suaranya agar tidak terlalu keras.
Sebenarnya Amirah ingin menertawakannya, tetapi sekaligus merasa kesal juga. 'Gumelar, nyebelin!' gerutunya dalam hati.
"Buat dua gelas kopi, untuk Bapak juga Gumelar. Kalau belum pas rasanya, Bapak akan bolak-balik menyuruhmu. Paham?" Tidak ada kemarahan di mimik wajah bapak, tetapi sangat jelas diperintahnya.
Amirah akhirnya menyerah, membuat kopi dengan takaran yang sebenarnya. Menaruh dua gelas kopi itu di atas meja.
Sebelum melangkah, pak Pandu bertanya padanya. "Kamu mengerjakan PR-nya ada kesulitan tidak, Amy?"
"PR matematika, Pak. Dari tadi Ami pusing, gak ngerti." jawab Amirah apa adanya.
Tanpa disangka, pak Pandu menatap Gumelar. "Gum, masih punya waktu, kan? Bisa tolong bantu Ami mengerjakan PR-nya?"
"Bapak! Gak usah minta tolong sama Gugum, nanti Ami pelajari sendiri. Pasti bisa!" tolak Amirah tanpa tendeng aling-aling.
"Ealah ... kamu itu udah kelas tiga, Ami. Nilai kenaikan kelasmu saja nilainya jeblok semua. Gimana mau lulus nanti?" Pak Pandu membalas kata-kata anaknya dengan lugas pula. Membuat muka amirah memerah karena rasa malu ketahuan modalnya oleh Gumelar.
"Tidak apa-apa, Pak. Masih setengah tujuh. Saya pulang ke Bogor, nanti jam sembilanan." Gumelar menyetujuinya. Dia beranjak, pindah ke kursi dekat Amirah.
Amirah melihatnya dengan mulut cemberut.
"Jangan gengsi, kalau merasa diri tidak mampu. Gumelar itu pinter, selalu juara umum di sekolahnya. Karena mau belajar dengan tekun dan tidak gengsian untuk mau bertanya yang dia tidak tahu." kata pak Pandu. Seolah inilah kesempatan untuknya, menasehati Amirah yang memang sangat malas belajar ini.
"Soal mana yang tidak kamu mengerti, Mi?" Gumelar memajukan tubuhnya, agak membungkuk karena meja yang dipakai Amirah belajar agak rendah.
Ia menyodorkan buku soal yang harus diisinya. "Ini sangat mudah, Mi." kata Gumelar dengan enteng.
'Huh! Sombong sekali, mentang-mentang pintar' gerutu Amirah dalam hati.
Dari samping, ia melihat secara dekat profil wajah Gumelar. Sedang berusaha menjelaskan soal yang harus disimak olehnya.
Namun, Amirah lebih tertarik mempelajari raut wajah di depannya ini. Hidungnya mancung dengan dagu kokoh, dan bulu matanya? Ya ampun, panjang-panjang dan lentik sekali.
Amirah jadi menyentuh bulu mata sendiri dengan telunjuknya. Ia menggerakkan matanya melihat ke atas, lalu mengelus-ngelus bulunya yang tidak sebagus milik Gumelar.
Sama sekali tidak sadar, kalau Gumelar sedang menyaksikan tingkah konyolnya itu dengan pandangan lempengnya.
Merasa tidak mendengar suaranya, Amirah menurunkan mata dan pandangannya langsung beradu dengan tatapan Gumelar.
Amirah melebarkan matanya. "Apa liat-liat?" pelototnya.
"Ya, aku anggap kamu sudah mengerti." Gumelar mengangkat bokongnya, lalu mencari pak Pandu yang tadi terlihat berjalan menuju ruangan beranda.
Amirah melongo. Dasar laki-laki nyebelin! jeritnya dalam hati.
Gumelar bertemu dengan pak Pandu yang berdiri sambil mengisap rokoknya.
"Permisi, Pak. Saya ijin mau pulang dulu." pamit Gumelar.
"Sudah? Kok sebentar."
"Sepertinya, Ami butuh nyalon, Pak. Saya ajarin, malah mau melentikkan bulu matanya." lapor Gumelar, secara lugas. Tidak peduli, Amirah akan dimarahi oleh pak Pandu atau tidaknya.
Untuk sejenak pak Pak Pandu terdiam. Saat disalami Gumelar, dia jadi terkaget. "Oh, iya. Sebentar, Gum." Dia merogoh saku celananya, untuk mengeluarkan dompet.
"Lumayan, untuk ongkos bismu, ke Bogor. " Pak Pandu menyerahkan uang yang diambil secara cepat dari dompetnya.
Gumelar awalnya menolak. "Saya tidak mengerjakan apa-apa, Pak. Hanya mengganti Bohlam saja, tidak harus diupahin. Saya ikhlas membantu Bapak."
"Bapak tidak memberi upah sama kamu. Tapi Bapak ikhlas juga ongkosin kamu ke Bogor." Pak Pandu memaksa melesakkan uang dua lembar itu ke tangan Gumelar.
