Bab 5
"Ssshhhhhttttt!!"
Tubuhku ditarik, aku tak bisa berontak. Badanku juga dikunci, mulutku ditutup. Aku bergerak-gerak memberi perlawanan tapi si pelaku tak ingin melepaskanku.
Tubuhku didorong untuk bersembunyi dibalik tembok, karena berada dalam posisi lemah, aku akhirnya terdiam dan bernapas lega, ketika akhirnya si pelaku melepaskan tangannya.
Hufh ... Akhirnya.
"Kamu kenapa sih?" tanyaku tak senang.
"Shhhttt! Tadi tuh ada Jovan. Dia beneran nyari kamu, jadi lebih baik kamu sembunyi."
"Anjing, mana sih tuh perek kecil? Kayaknya dia udah tahu deh."
Mataku lamgsung melotot, sialan si buas itu. Harusnya aku keluar dan menyobek mulutnya, agar dia tidak sembarangan bicara seperti itu padaku. Memangnya aku gadis open BO? Ugh ... Aku benci, jika hidupku terus disudutkan, padahal aku tidak tahu menahu urusan mereka.
"Anjing! Besok harus kesini lagi. Pokoknya, harus sampai dapat. Tikam lubangnya ramai-ramai, sampai longgar." Aku mengepalkan tanganku. Dasar sialan!
"Jangan takut, aku akan melindungi kamu." ujar cowok itu menenangkan. Aku bahkan sudah lupa namanya siapa, tapi dia sudah berkali-kali melindungiku, atau dia juga hanya satu dari sekian dari laki-laki modus yang hanya modus juga?
"Aku lupa namamu."
"Panggil aku bee. Aku akan memanggil kamu honey." aku hanya tertawa, memangnya dia kira kita sedang di alam? Ada-ada saja, tapi kehadirannya membuatku sedikit terhibur. Apa aku boleh menganggap dia teman?
"Dih norak."
"Norak itu lebih menyenangkan."
Aku hanya menggelengkan kepalaku, pada seorang cowok narsis di depanku.
Akhirnya kami keluar dari tempat persembunyian, dan berjalan menuju post. Aku hari ini hanya ingin jalan kaki.
"Aku boleh minta nomor hape kamu?" aku pun menyebutkan nomor ponsel yang diminta. Sambil berjalan berdampingan. Hari ini, cuaca sangat panas. Aku hanya menutupi kepalaku dengan tas, panas yang menyengat tubuhku begitu terasa seperti disengat api neraka.
"Aku masih belum lupa siapa nama kamu." Cowok itu menyugar rambutnya, karena aku memang payah mengingat nama orang kecuali dia orang penting dan orang terdekat.
"Ayden. A y d e n. Dipanggil sayang, atau bee." cowok itu mengeja namanya, lagi-lagi aku tertawa. Ah, bisakah kalian menghitung berapa banyak aku tertawa? Di rumah, kotak suaraku dicuri Spongebob, dan bersama dia, aku terus tertawa seperti Patrick. Apakah dia Garry atau Patrick?
"Panas nih, kamu mau makan ice cream?" aku mengangguk, dan kami berdua masuk ke sebuah supermarket yang bercat putih dan merah. Bukan hanya membeli ice cream, kami membeli banyak jajanan, dan juga minuman soda.
Ketika keluar dari supermarket, aku langsung menggigit ice cream coklat tersebut. Saat meleleh dalam mulutku, terasa surga turut hadir di dalam sana.
"Kamu harus banyak makan, nanti dilihat kayak ranting berjalan." aku melotot pada cowok itu, sambil menancapkan stik itu pada bahunya kesal. Bisa-bisanya dia body shamming.
"Ini adalah tubuh yang diinginkan semua wanita."
"Mau tahu, tubuh yang diinginkan semua laki-laki?"
"Jangan! Aku masih di bawah umur." aku menutup telingaku. Cowok itu terkekeh dan mengacak rambutku.
"Panggil aku bee ya." Ia menarik hidungku, dan berjalan duluan. Dasar tak sopan! Sebentar, seharusnya cowok seperti ini membawaa motor atau mobil. Kenapa dia harus jalan kaki?
"Eh, woy! Woy, aku lupa namamu. Kamu nggak bawa motor?" teriakku dari belakangnya. Tapi cowok itu sengaja tak mau mendengarnya. Untuk ukuran anak remaja yang sedang merasakan cinta monyet, menurut pandanganku cowok ini tampan, bahkan sangat tampan. Mungkin saat besar nanti, ia bisa mengalahkan Lee Min Ho. Tapi, aku tak memikirkan itu. Hidupku sudah terlalu rumit, aku tak ingin menambah daftar panjang hal rumit yang lainnya.
"Hey kamu. Tungguin, mana motormu?"
"Aku punya nama." teriak cowok itu. Aku mengepalkan tanganku.
"Aku lupa!" teriakku tak mau kalah.
"Bee. Panggil aku bee atau sayang." Dasar cowok agresif!
"Beruang!" refleks saja aku memanggilnya beruang. Maksudku beruang disini adalah, beruang madu. Karena jika bee cukup menggelikan kurasa.
"Baiklah aku terima beruang. Sebenarnya, lumayan nggak buruk bangat." cowok itu berbalik sambil tersenyum padaku.
"Bukankah, anak SMA boleh bawa kendaraan?" Aku menyamakan langkah kakiku, bersamaan dengannya. Kami berjalan pelan-pelan, menyusuri jalanan yang rindang karena terik matahari yang begitu menyegat.
"Anak SMA belum pulang." Oh iya benar. Untuk SMP pulang, pukul 1.45. Untuk anak SMA pukul tiga atau empat, aku lupa.
"Dan kamu bolos?" tuduhku. Cowok itu mengedihkan bahunya.
"Bolos itu manusiawi." aku hanya mencibir, alasan konyol.
"Itu ada pos, kita minum disana ya."
Kami pun, masuk dalam pos penjagaan yang warna temboknya sudah usang tidak terawat dan atap berbentuk segitiga di depannya.
"Jadi rumahmu masih jauh?" tanya cowok itu, duduk di di tembok yang setengah dibangun dan aku hanya berdiri di bawah.
"Habis ini lurus, belok kiri, lurus, belok kiri dan sampai."
"Kamu tiap hari jalan kaki?"
"Kadang jalan kaki, kadang naik angkot." aku membuka bungkusan keripik kentang dan menawarkan padanya. Cowok itu mengambilnya dan memasukan dalam mulutnya, rambutnya yang hitam legam menambah kesan macho, hidungnya yang mancung, wajahnya yang tampan, tapi tatapan mata itu seperti arus yang membuat siapa saja masuk dalam pusaran tersebut. Kuperhatikan urat-urat tangannya saat memegang kaleng minuman dan meneguknya.
"Kamu pernah pacaran?" aku berhenti mengunyah keripik tersebut dan menggeleng. Memangnya siapa yang peduli, pada pacaran? Aku tahu, banyak laki-laki yang memandangiku lapar, tapi aku tak berminat menjalin hubungan dengan orang lain.
"Nggak papa masih kecil. Jangan pikirin itu, sekolah yang benar biar jadi anak pintar." aku hanya mencibir, dia berlagak seperti orang tua. Ah, membahas orang tua selalu membuatku sakit dan tak percaya, orang tauku seperti iblis. Atau memang mereka bukan orang tuaku? Tapi mereka adalah monster yang menghancurkanku kapan saja.
Aku membuka minuman kaleng punyaku yang berwarna biru dan putih, sambil minuman sedikit asam itu menyapa lidahku. Aku menutup botol dan menyeka bibirku dari sisa-sisa air.
"Habiskan minumnya, nanti kita jalan lagi. Kalau nggak kuat jalan, nanti aku gendong." aku hanya menggeleng, memangnya dia pikir aku orang cacat? Atau aku seorang bayi?
"Nama kamu Lisha bukan?"
"Iya, Lalisa Manoba." cowok itu melompat turun, dan mengacak rambutku. Tiba-tiba, ia meghimpit tubuhku ke tembok aku hanya berjalan mundur dan mentok disana, sambil memperhatikan dirinya yang menunduk melihatku. Dan jantungku bekerja tak sehat, aku masih menatapnya dengan polos.
"Kamu cantik." puji cowok itu sambil mengelus pipiku. Baru kali ini, aku sedekat dengan laki-laki, karena aku memang tak punya teman sebelumnya.
Cup!
Aku membeku, ketika cowok itu mencium pipiku. Bentuk bibirnya masih terbentuk jelas di pipiku, aku hanya mengerjapkan mataku berkali-kali, karena memang bodoh tak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Bibir kamu pasti semanis madu." tangan cowok itu sudah bermain di bibirku. Ia memainkan bibirku yang bawah.
"Warna merah alami, dengan bentuk mungil yang mengemaskan dan penuh, pasti rasanya bikin mabuk." Dan aku yang mabuk beneran. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Dada cowok itu makin menempel ketat, dan aku bisa merasakan jantungnya yang berdetak tak karuan seperti milikku. Apa ia juga deg-degan?
"Boleh cium?" kupandangi hidung mancung tersebut dengan kumis tipis yang baru tumbuh bibir tipis yang berwarna kemerahan juga, pandanganku turun ke jakunnya yang naik-turun. Kualihkan pandanganku ke atas, menatap tepat di manik matanya yang terasa kelam di dalam sana. Alis matanya yang tersusun rapi seperti ulat bulu, dan rambutnya yang hitam legam.
Tangannya yang bermain di bibirku sudah memeluk pinggangku, dan semakin menunduk. Hidungnya menyentuh hidungku, dan aku bisa merasakan napasnya yang hangat, dan tercium aroma mint dari mulutnya dan juga tubuhnya. Wangi khas cowok yang membuatku betah.
Saat bibir itu menempel, refleks aku menutup mataku. Dan saat, dikecup ringan, aku hanya membatu. Ketika kurasakan, bukan hanya menempel, tapi ia memiringkan wajahnya dan memaksa lidahnya untuk masuk. Karena tak tahu, aku membuka mulutku dan merasakan lidahnya mencari lidahku. Aku mengulurkan lidahku, saat mendapatinya ia menghisap lidahku tanpa ampun. Dengan naluri, aku mengikuti langkahnya aku menghisap lidahnya juga bergantian. Aku tak tahu, jika perutku terasa geli sekarang. Ah, ciuman itu tidak buruk-buruk bangat, walau aku memikirkan saling bertukar penyakit, karena berbagi air liur. Bisa saja, dia menularkan penyakit hepatitis, TBC.
Ia semakin meremas rambutku, dan menempelkan tubuhnya semakin erat. Aku kehabisan napas, tapi dia tak mau melepaskan pangutan kami. Yeah, Delisha kehilangan first kiss pada cowok yang bahkan ia tak ingat namanya.
