Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 01 - Tuan, Aku Hamil

Suara musik dan gelak tawa anak-anak memenuhi udara sore itu. Rumah besar Devan dan Talitha bersinar dengan dekorasi ulang tahun yang megah—balon warna-warni, pita berkilauan, dan aroma manis kue ulang tahun yang baru saja dikeluarkan dari dapur. Pesta ini adalah untuk ulang tahun ketiga anak bungsu mereka, Prince. Namun, pikiranku sama sekali tidak ada di sini.

Aku berdiri di sudut ruangan, memegang nampan penuh minuman yang bergetar karena tanganku yang gemetar. Mataku terus bergerak mencari-cari sosok Tuan Devan di antara keramaian tamu yang tak henti berbincang. Aku harus segera memberitahunya, meskipun tenggorokanku kering dan jantungku berdegup kencang seperti genderang.

Ini terlalu penting. Aku tak bisa menunggu lebih lama.

Akhirnya, aku melihatnya. Di dekat taman belakang, di antara sekelompok pria berjas, dia tertawa lepas. Senyum itu, senyum yang selalu membuat hatiku bergetar setiap kali melihatnya, kini terasa lebih menakutkan daripada menyenangkan. Bagaimana aku bisa mengatakannya? Bagaimana dia akan merespons?

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian, lalu berjalan mendekat. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada beban di kakiku yang menahan. Ketika aku sudah cukup dekat, Devan menyadari kehadiranku. Tatapannya berubah serius, menandakan dia tahu ada sesuatu yang penting yang harus kubicarakan.

Dia menyingkir dari teman-temannya, sedikit menyipitkan mata, “Ada apa, Ratih?”

Aku merasa lidahku terbelit. Napasku tertahan, tetapi aku tahu tak ada waktu lagi. "Tuan, bolehkah saya bicara sebentar?" bisikku, suaraku terdengar lebih lemah dari yang kuinginkan.

Devan mengerutkan kening. “Bisa nanti saja? Aku sedang sibuk,” katanya cepat, tatapannya beralih ke tamu-tamu di belakangku.

Aku menggeleng pelan, menggigit bibirku, menahan air mata yang mulai muncul. “Tidak bisa, Tuan. Ini sangat penting. Tolong...”

Dia menarik napas panjang, lalu melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan. “Baiklah,” gumamnya pelan. "Ikuti aku."

Dia membawaku ke sudut taman yang lebih sepi, jauh dari sorotan tamu. Taman itu diterangi cahaya lampu gantung yang remang, menciptakan bayangan panjang di rerumputan. Di sinilah, di bawah pohon besar yang tumbuh di dekat kolam, Devan akhirnya berbalik dan menatapku dengan mata yang penuh tanya.

“Apa yang ingin kamu katakan, Ratih?”

Jantungku serasa berhenti. Aku membuka mulut, namun kata-katanya sulit keluar. Tanganku gemetar, dan aku harus menahannya agar nampan yang kubawa tidak jatuh.

“Tuan, saya... saya tidak tahu bagaimana mengatakannya,” gumamku, suaraku bergetar. "Tapi... saya hamil."

Kata-kata itu akhirnya terlepas, seperti sebuah batu besar yang kulemparkan dari tebing. Aku merasa seluruh tubuhku kehilangan keseimbangan, dan jantungku kembali berdetak kencang, seolah-olah baru dihidupkan lagi. Aku menundukkan kepala, takut melihat reaksinya.

Devan terdiam. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak kaku, bibirnya terkatup rapat. "Kamu..." Dia berhenti, suaranya lebih dingin. "Kamu bilang apa tadi?"

"Saya hamil, Tuan," ulangku, suaraku semakin lemah. "Anak ini... anak Tuan."

Waktu terasa berhenti. Rasanya seperti dunia di sekelilingku memudar, hanya ada dia dan aku di tempat ini. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri begitu keras di telinga, tapi tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Devan.

Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, suara tawa ceria tiba-tiba memecah kesunyian. Nyonya Talitha muncul, dengan senyumnya yang menawan, tidak menyadari ketegangan yang menggantung di antara kami.

“Pap, kamu di sini ternyata! Teman-temanmu mencarimu,” katanya sambil menyentuh lengan Devan dengan lembut. “Ratih, tolong cari Wilma dan Wilona ya. Kita sudah mau tiup lilin.”

Aku langsung mengangguk, nyaris tersedak oleh keterkejutanku. "Baik, Nyonya," jawabku cepat.

Talitha tersenyum hangat dan melenggang pergi, kembali ke keramaian tanpa menyadari apa yang baru saja terjadi. Setelah dia menghilang dari pandangan, Devan kembali menatapku dengan tatapan serius yang membuat bulu kudukku meremang.

“Kita akan bicara nanti,” bisiknya, suaranya lebih tegas sekarang. “Lakukan apa yang Talitha minta untuk sekarang.”

Aku mengangguk cepat, meskipun hatiku bergemuruh. “Baik, Tuan,” jawabku, lalu segera pergi mencari Wilma dan Wilona.

Namun pikiranku sama sekali tidak berada di pesta ini. Aku tak bisa berhenti memikirkan bagaimana Devan akan menangani semua ini. Perasaanku bercampur aduk antara takut, cemas, dan lega karena aku akhirnya mengungkapkan kebenaran.

Ketika aku akhirnya menemukan Wilma dan Wilona, aku membawa mereka ke ruang utama, di mana semua tamu telah berkumpul. Lagu ulang tahun mulai dinyanyikan dengan penuh semangat, dan ruangan yang penuh sesak dipenuhi suara tawa dan nyanyian yang memeriahkan suasana. Semua orang tampak bahagia, terutama Devan dan Talitha, yang berdiri di depan kue besar dengan lilin-lilin yang menyala terang. Senyum ceria mereka tampak sempurna, layaknya pasangan suami istri yang harmonis di mata orang lain. Tapi aku tahu, di balik senyum itu, ada sesuatu yang mengganjal.

Aku berdiri di sudut ruangan, memegang nampan dengan tangan gemetar, menyaksikan mereka dari kejauhan. Jantungku masih berdetak kencang setelah percakapan singkat dengan Devan. Sekarang, setelah kebenaran terucap, aku merasa lebih terperangkap daripada sebelumnya. Pandanganku kabur, semua keceriaan di sekelilingku terasa seperti latar belakang yang tak penting.

Dia tahu. Tapi apa yang akan terjadi sekarang? Bagaimana reaksi Devan? Apakah dia akan memberitahu Talitha? Atau mungkin, lebih buruk lagi, dia akan menolak tanggung jawabnya?

Devan tiba-tiba melirik ke arahku. Sekilas, mata kami bertemu, dan aku langsung merasa dingin merayap di sepanjang tulang belakangku. Tatapannya begitu tajam, namun sulit diterjemahkan. Apakah itu rasa marah? Ketakutan? Atau... rasa bersalah?

Tatapan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum Devan mengalihkan perhatiannya kembali pada keluarganya, kembali tersenyum, seolah tidak ada yang terjadi. Namun, aku tahu, sesuatu telah berubah. Ada jurang besar yang terbuka di antara kami, dan aku takut jatuh ke dalamnya.

Di tengah keceriaan pesta, aku merasa sangat sendirian.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel