Bab 1 Tunangan
Bab 1 Tunangan
"Terkadang aku lebih memilih mimpi daripada kenyataan. Karena mimpiku lebih indah daripada kenyataan."
Stand by Me Doraemon
"Duhh, Del. Jangan curhat dulu deh." Kelana mengangkat telepon tanpa melihat caller id. "Aku lagi mader (malas dengar) nih."
Si penelepon tidak berkata apa pun.
"Del? Adel? Kenapa diam? tidak jadi curhatnya nih?" Kelana bangun dari posisi tidurannya, dia mengerjap menatap ke sekeliling aparteman tipe studio yang dia sewa beberapa tahun lalu.
"Kelana."
Mata Kelana yang semula terpejam malas-malasan seketika terbuka lebar saat mendengar suara bariton khas seorang laki-laki, bukan suara cempreng yang sangat dia kenali.
"Ken Arok ... eh maksud saya, Pak Kenan?" Kelana bertanya ragu, matanya semakin membelalak saat melihat nama yang terpampang di layar ponsel. Mendadak dia bersikap siaga, seolah-olah sang bos bisa melihatnya.
"Dimana?"
Kening Kelana berkerut dalam. "Saya di aparteman, Pak."
"Ke sini sekarang." Suara Kenan, sang bos yang sangat dibenci Kelana, terdengar datar namun Kelana tahu bahwa Kenan tengah memaksa.
"Tapi, ini ‘kan hari libur saya ..." balas Kelana enggan. Hari ini dia ingin libur dan tidur sepuasnya, bukan menemani Kenan bekerja hingga larut malam. Bahkan dari kemarin dia baru tidur sekitar tiga jam.
"Kamu asisten pribadi saya."
Kelana memejamkan mata. "Tentu. Tapi--"
"Tugas asisten adalah menemani atasannya--"
"Mendampingi bukan menemani, Pak." Kelana memotong kesal. "Duh, Pak. Bapak 'kan sudah janji memberi saya libur dua hari. Ini belum sehari kamuh."
"Selama saya bekerja, kamu juga harus bekerja. Dan sekarang saya ada pekerjaan."
Kelana berdecak, untuk ukuran seorang bawahan dia sama sekali tidak punya sopan santun terhadap atasannya sendiri. Perempuan itu bahkan tidak takut jika dia percat oleh Kenan karena sikapnya.
"Setahu saya jadwal Bapak untuk empat hari ke depan tidak terlalu padat. Pak Ken, bisa minta tolong pada Calvin. Dia yang lebih tahu mengenai pekerjaan Bapak."
Hening sesaat hingga Kelana berpikir jiKak Kenan sudah menutup telepon karena kesal. Namun rupanya Kelana keliru, lagi-lagi dia berdecak kesal saat mendengar sahutan Kenan.
"Calvin sekretaris saya, bukan asisten pribadi saya."
"Apa bedanya, Bapak Kenan Arian Ratama?" Kelana mendesah panjang. "Memang pekerjaannya apa? Saya rasa pihak Airlangga setuju dengan kontrak yang Bapak ajukan kemarin. Atau mereka ingin merevisi kontrak sebelum di tandatangani?"
"Kontrak Airlangga baik-baik saja. Mereka sama sekali tidak keberatan."
Kelana semakin kebingungan, satu-satunya hal yang membuat Kenan mau bangun dari masa hibernasinya adalah kontrak dengan Airlangga. Namun sekarang? Kenan mau repot-repot bangun dari tidur malasnya karena suatu hal. Pastinya hal tersebut bukan menyangkut pekerjaan, bagaimana pun juga sebagai asisten pribadi, Kelana sangat tahu jadwal resmi Kenan.
"Lalu, apa ada pekerjaan mendadak?"
"Kenapa kamu jadi banyak tanya?"
"Tapi 'kan Pak ini hari libur saya."
"Bukannya tiap hari kamu libur?"
Kelana memejamkan mata, bekerja dengan Kenan memang tidak terlalu menguras tenaga karena sepanjang waktu Kenan selalu tidur--Kelana sampai heran, bagaimana bisa orang seperti Kenan menjadi CFO di sebuah perusahaan multinasional--namun bekerja dengan Kenan mampu menguras semua akal pikirannya hingga lama-lama mungkin Kelana bisa jadi gila.
"Itu beda lagi. Meski seharian Bapak tidur terus, saya yang mengerjakan setengah pekerjaan Bapak, setengahnya lagi dikerjakan oleh Calvin."
"Saya bekerja di malam hari."
"Iya, dan membuat saya lembur tiap malam. Duh, Pak. Sekali ini saja, saya harus pergi ke suatu tempat." Kelana memohon, dia tidak berbohong. Sebelum Kenan menelepon dia memang berniat pergi ke suatu tempat.
"Tidak bisa. Harus sekarang. Kalau kamu mau libur, kamu bisa ambil cuti besok."
"Saya tidak mau ambil cuti saya."
"Kelana."
Kelana mendengus, tahu tidak bisa menghindar. "Sekarang Bapak ada di mana?"
"Di depan gedung aparteman kamu."
Kelana tersedak seketika, benar-benar bingung. Sejak kapan Kenan mau menyetir mobil? Biasanya tiap kali naik mobil selalu Kelana atau Calvin yang menyetir karena Kenan terlalu malas untuk mengemudi.
"Turun sekarang."
Dengan segera Kelana membuka pintu aparteman lantas berlari turun ke lantai bawah. Dia menemukan Pajero hitam yang sangat Kelana kenali sebagai mobil milik Kenan. Setelah mengatur napas, perlahan dia berjalan menuju mobil Kenan.
"Masuk." Kenan berkata saat Kelana mengetuk kaca mobil.
Tanpa berkata apa pun, Kelana masuk ke dalam mobil. Menatap Kenan seolah laki-laki itu berasal dari planet lain.
"Tumben Bapak mau repot-repot datang ke aparteman saya." Mata Kelana menyipit curiga. "Bahkan Bapak mau bangun dari tidur panjang Bapak. Pasti ada sesuatu yang penting."
"Apa kamu akan pergi dengan baju seperti itu?" Mata sayu Kenan menatap kaus kamunggar dan celana piyama yang dikenakan oleh Kelana.
Kelana menatap penampilannya sendiri. "Ini salah Bapak." Dia mengelak, tidak mau Kenan mempermalukannya. "Tadinya saya mau ganti baju, tapi Bapak keburu menelepon. Ya tidak jadi ganti bajunya."
Kenan tidak berkata apa pun, hanya merespon dengan sebelah alis terangkat.
Kelana berdehem, tidak suKak Kenan menatapnya dengan pandangan datar seperti itu. "Memangnya kita mau pergi ke mana? Saya ganti baju dulu."
Kenan mengedip mengalihkan pandangan ke depan. "Tidak usah. Toh yang malu juga kamu."
Kelana memejamkan mata, salah satu yang tidak dia sukai adalah hal ini. Terkadang dia sangat ingin memukul kepala bosnya hingga sikapnya berubah jadi baik.
"Tidak masalah juga, sih. Kalau saya malu kan Bapak juga ikutan malu."
Kenan berdecak pelan, "Selalu saya yang kena."
Kelana nyengir lebar. "Karena Bapak bos saya. Sesederhana itu."
Kelana tidak terlihat takut pada Kenan meski laki-laki itu adalah atasannya. Kesalahan kecil yang dia lakukan waktu itu malah membuat dia menderita setengah mati. Andaikan bisa, dia ingin memutar ulang waktu. Dengan begitu dia tidak akan terjebak jadi asisten pribadi Kenan yang menyebalkan minta ampun.
Satu tahun lebih bekerja, Kenan sama sekali tidak memperlihatkan bahwa laki-laki itu seorang pekerja apalagi seorang CFO di perusahaan besar.
Itulah yang membuat Kelana terkadang berani bersikap kurang ajar pada Kenan. Niat awalnya ingin membuat Kenan geram lalu memecatnya. Namun memang pada dasarnya Kenan itu orang paling aneh, sampai sekarang laki-laki itu tidak keberatan asisten pribadinya bersikap kurang ajar.
Kenan menatap Kelana dengan mata sayunya, jelas laki-laki itu ingin tidur bukannya repot-repot mendatangi asisten pribadi kurang ajarnya.
"Apa ... sekarang Bapak punya rencana untuk memecat saya?"
Kenan mengangguk. "Saya memang punya rencana, tapi bukan memecatmu."
Kelana langsung mencebik.
"Terus apa? Sampai kapan kita mau di sini terus?"
Kenan melirik. "Sebaiknya kita segera pergi."
Kelana menatap Kenan, menunggu. Namun laki-laki itu hanya diam, sama sekali tidak terlihat ingin menghidupkan mesin mobil.
"Pak Kenan?" Kelana memanggil bosnya dengam nada ditahan. "Saya yang menyetir atau bapak?"
Kenan melirik Kelana. "Kenapa otak kamu lambat sekali."
Kesabaran Kelana semakin menipis, dengan kesal dia turun dari mobil dan berputar membuka pintu bagian pengemudi. "Sebaiknya Bapak turun. Oh, atau mau saya gendong Bapak agar pindah."
Kenan menatap Kelana serius. "Kamu ... terlalu kurang ajar sama atasanmu."
Kelana memutar bola mata. "Ya sudah pecat saja. Gampang."
Kenan menghela napas. "Tidak bisa. Utang kamu masih banyak." Kemudian Kenan turun dari mobil dan duduk di kursi penumpang membiarkan Kelana menyetir.
Sedari tadi Kelana terus diam, enggan membuka suara. Pertama: dia masih sangat kesal pada Kenan karena sudah mengganggu hari liburnya, meski Kelana sangat sadar posisinya sebagai asisten pribadi Kenan, hanya saja dalam dua Minggu ini. Baru kali ini dia bisa bebas dari pekerjaan.
Kedua: secara tidak langsung Kenan sudah mengejeknya.
Ketiga: Kenan mengungkit kembali utang Kelana pada laki-laki itu. Utang yang membuat Kelana terpaksa menjadi asisten pribadi Kenan.
"Kita mau ke mana, Pak?" Kelana menatap Kenan yang sudah memejamkan mata. Tidur. "Orang ini, suka sekali tidur. Pantes saja perutnya kendor."
Mata Kenan terbuka sedikit. "Kapan kamu lihat perut saya kendor?"
Kelana tergagap lalu tersenyum. "Bercanda, Pak."
Kenan duduk dengan benar. "Kamu mau lihat?" Kenan hendak membuka kancing kemeja namun segera ditahan Kelana.
"Duh, Pak. Saya cuma bercanda. Benar. Jangan gitu ah!"
"Ya sudah." Kenan menyerah, mengancingkan kembali kancing baju yang baru dia buka sebagian.
Kelana mendengus, suka bingung sendiri melihat kelakuan Kenan yang seperti anak kecil padahal usianya sudah mencapai 32 tahun. "Pak, mau berhenti di mana? Atau mau terus jalan?"
"Butik langganan Mama."
Kelana menoleh menatap sang bos. "Bapak mau beli baju?"
"Bukan."
"Terus? Atau Bu Rima menyuruh Bapak membelikan baju?"
"Bukan."
Kelana menyerah, lebih baik dia menutup mulut daripada semakin kesal mendengar jawaban pendek-pendek dan menyebalkan Kenan. Dia menghentikan mobil tepat di depan butik langganan Rima, Mama Kenan.
"Sekalian saya bukain pintu?"
"Tidak perlu." Kemudian Kenan membuka pintu mobil dan keluar diikuti oleh Kelana. "Masuk!"
Tanpa berkata apa pun, Kelana mengikuti Kenan masuk ke dalam butik. Jace, pemilik butik, menyambut kedatangan Kenan dan Kelana dengan sangat ramah. Perempuan paruh baya itu bahkan memeluk sambil mencium kedua pipi Kelana terlalu berlebihan hingga membuat Kelana heran. Jace memang baik, tetapi tidak berlebihan seperti ini.
"Akhirnya kalian datang juga." Jace tersenyum sangat lebar, dia menatap Kenan. "Tenang saja kamu tidak akan menyesal. Kamu pasti terkejut nanti."
Kenan hanya mengangguk acuh tak acuh.
"Eh, sebenarnya ini ada apa?" Kelana bertanya, namun bukannya mendapat jawaban Kelana malah diseret oleh Jace ke dalam ruangan. "Jace? Kenapa kita ke sini?"
"Tentu saja untuk mempercantik dirimu, Sayang."
Sebelah alis Kelana spontan tertarik ke atas. "Untuk apa?"
Jace memandang Kelana heran. "Masa kamu mau datang ke pesta pertunanganmu dengan baju seperti itu. Jangan bercanda deh."
"Hah, siapa yang tunangan."
"Kamu ini kenapa sih? Tentu saja Kenan, masa Tante."
"APA?!" teriak Kelana seketika.