Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Mulai larut

Pada keesokan harinya, Vira mengisi kelas pagi. Vira masih di rumah dan menikmati sarapan bersama Guntoro dan Murni.

"Bu, aku berangkat dulu," pamitnya sambil mencium tangan ibu dan juga bapaknya.

"Masih pagi, kenapa buru-buru?" Tanya Murni. Biasanya Vira tidak akan berangkat pagi-pagi seperti sekarang.

"Nggak papa Bu, Vira pengen lebih santai kemudikan motor," jawabnya seraya menenteng tasnya keluar dari kediaman.

Vira segera mengenakan helmnya, dia mengemudikan motornya dengan santai. Hari ini Vira merasa sangat lega karena tidak ada jadwal mengisi les di kediaman Bram. Sembari mengemudikan motornya Vira terus bergumam.

"Untungnya hari ini nggak ada jadwal ngisi les ke rumah Dinda, huuuuft! Lega juga nggak ketemu sama Om sinting!"

Vira menyunggingkan senyum senang. Wajahnya terlihat cerah dan semakin cantik. Vira mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang, sekolahan tempatnya mengajar masih jauh. Hari ini Vira berangkat pagi jadi tidak perlu terburu-buru. Tak lama kemudian ada sebuah mobil melaju di belakang motornya.

Din! Din! Din! Klakson terus ditekan. Vira segera menepi untuk memberikan jalan. Mobil tersebut mendahuluinya perlahan. Vira menoleh ke samping, dan kaca mobil di bagian kiri turun menunjukkan siapa pengemudi di dalam mobil.

"Om Sinting! Ngapain dia! Pagi-pagi juga!" Keluhnya dengan terang-terangan.

Bram terlihat mengukir senyum sambil melambaikan ponselnya. Bram juga memberi isyarat pada Vira agar Vira bersedia menerima panggilannya.

"Enak saja! Nggak sudi aku! Dasar wong edan! Terserah mau suci nggak suci pokoknya aku menolak jadi simpanan pria beristri! Cuih!" Omel Vira lalu meludah ke samping kiri.

Mobil Bram sudah berlalu pergi mendahului motor Vira karena di belakang Bram banyak kendaraan yang hendak lewat juga.

Pikir Vira, Bram pergi ke perusahaan material tempat Bram bekerja, ternyata mobil Bram diparkir di tepi jalan tak jauh dari sekolahan Vira. Di depan sana Bram sudah menunggunya, pria itu melambaikan tangannya dan meminta Vira untuk menepi.

"Vir, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu! Penting!" Ujarnya lantaran tahu Vira tidak akan menggubrisnya.

Vira tetap menolak dan terus melaju sampai memasuki gerbang sekolahan tempatnya mengajar.

Bram segera mengirimkan pesan pada Vira yang isinya Vira harus menemuinya pagi itu juga dan jika Vira menolak maka Bram tidak akan sungkan untuk berbicara pada pihak sekolah untuk mempermalukan Vira di depan semua orang.

Vira baru saja memarkirkan motornya, dia turun dari atas motor dan membaca pesan tersebut. Kedua matanya langsung melotot mengetahui ancaman Bram pada pesannya.

"Memang wong edan! Kalau nggak edan mana mungkin ngancam-ngancam begini! Lagi pula masa iya yang malu aku, bukannya dia sendiri yang malu! Sudah punya istri ngapain keganjenan ganggu wanita lajang!" Omelnya lagi seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku bajunya.

Vira sudah berjalan meninggalkan area parkiran, langkahnya terhenti tak jauh dari sana karena melihat Bram sudah berdiri beberapa meter di depannya.

"Sudah aku tebak, kamu bakalan nggak percaya dengan semua yang aku katakan!" Ujar Bram lalu berjalan mendekat dan menggenggam pergelangan tangan Vira. Vira panik sekali, dia tidak menyangka Bram bakalan nekat dan mengambil tindakan saat Vira berada di sekolahan Adinda.

"Om! Mau ngapain? Ini sekolahan! Om buta?!" Bentaknya sambil meronta-ronta.

Bram menariknya ke sisi gedung dan terus berjalan ke pagar samping gedung. Di sana ada pintu, Bram membawanya ke luar pintu dan berhenti di belakang pagar gedung sekolah.

Vira menatap ke sekitar. Suasana begitu sepi, dan hanya terdengar suara binatang kecil serta burung-burung berkicau di pagi hari.

Belakang kedai warung di pinggir jalan samping sekolah terlihat dari posisi mereka berdiri.

Bram masih menggenggam pergelangan tangan Vira.

"Buruan ngomong!" Bentak Vira.

Bram mengusap wajahnya sendiri dengan perasaan gelisah.

"Sore ini aku mau ketemu sama kamu, kamu datang ke tokoku," ajaknya.

Vira menarik lepas tangannya dari genggaman Bram lalu berjalan mendekat dan memberikan jawaban.

"Mimpi saja!" Desisnya tepat di depan wajah Bram.

Begitu Vira berniat pergi, Bram langsung menarik pinggang Vira ke dalam pelukannya.

"Pilih, kamu datang atau aku yang datang jemput kamu di rumah Tante Murni?"

Vira terdiam, kedua matanya terpejam rapat. Bram mengaitkan lengan kokohnya dan menahannya di dalam pelukan dengan kuat.

"Hubungan macam apa ini? Jelas-jelas ada Mbak Ningrum! Kalau aku terus memberikan kesempatan pada Om sinting ini bisa-bisa aku tidak bisa lepas lagi, lama-lama aku bakalan larut juga. Apalagi wajah Om Bram nggak jelek atau tua, wajahnya terlihat segar, aroma tubuhnya juga selalu enak, kenapa dia nggak nyari wanita lain saja! Kenapa harus aku!?" Batin Vira dengan perasaan tidak tenang.

"Om, hubungan kita ini salah! Aku nggak mau lanjutin! Aku nggak mau!" Tolak Vira.

Bram mengukir senyum lalu menciumi pipi Vira dari samping sambil tetap memeluk pinggang Vira dengan erat.

"Mau nggak mau harus mau!" Cup! Bram mencium pipi Vira.

Vira segera menjauhkan wajahnya ke samping.

"Maksa banget, nyari cewek lain sana!" Gerutu Vira dengan bibir cemberut.

"Aku naksir cuma sama kamu!" Tukas Bram.

"Ingat umur Om, Adinda sudah besar sudah SMA!"

"Dinda bukan anak kandungku! Ningrum punya pacar tapi orangtuanya waktu itu nggak kasih restu, kami dijodohkan gitu saja! Dia hamil. Dia sudah hamil dua bulan lebih saat kami menikah. Menurutmu sikap diamku selama ini bukan suatu pengorbanan besar bagi keluarga kami? Aku sudah berkorban dalam ikatan pernikahan!Aku nggak protes, dia melahirkan Adinda saat usia pernikahan kami enam bulan lebih. Dan kamu tahu? Bayi Adinda sehat sama sekali bukan bayi prematur! Hasil USG sebelumnya juga sudah jelas! Anehnya Ningrum malah bungkam dan nggak mau jelaskan apa-apa sama aku! Apa dianggapnya aku ini bukan manusia? Apa dia pikir aku patung yang tidak bisa merasakan luka dan penyesalan!"

Vira terdiam, dia sama sekali tidak tahu apa-apa. Apalagi seperti apa masa lalu Ningrum sebelum menikah dengan Bram. Lagi pula Ningrum dulunya tinggal di luar kota untuk bekerja.

Vira melepaskan pelukan Bram dari pinggangnya.

Pikir Bram Vira bakalan melunak dan bersedia menerima perasaan yang dia sampaikan tadi.

"Tetap saja, selingkuh di belakang mbak Ningrum adalah kesalahan besar! Kalau memang nggak cinta selesaikan semuanya dengan gamblang, dengan baik-baik! Bukan malah menjalin hubungan rumit seperti ini! Aku bisa memaklumi kalau memang Om khilaf terus terlena sama tubuhku kemarin-kemarin. Lagi pula kita juga sudah terlanjur melakukan hubungan badan! Mau diralat bagaimanpun juga sudah terjadi. Tapi please! Jangan lagi! Aku nggak mau ke belakangnya kita masih terus melanjutkan hubungan salah seperti ini!"

Bram menyentuh kedua bahu Vira lalu menatap kedua matanya dengan tatapan serius.

"Nggak bisa, ada hal penting beberapa bulan lagi, Vir. Perjodohan Adinda akan segera dilangsungkan. Aku dan Ningrum juga harus pergi ke Surabaya untuk menemui calon besan. Apa jadinya kalau aku cerai dari Ningrum di saat-saat seperti ini?"

Vira menganggukkan kepalanya, dia juga sudah mendengar kabar tentang perjodohan yang akan dilangsungkan antara Adinda dengan pria asal Surabaya.

Vira menepis tangan Bram dari bahunya.

"Pilihanku masih sama, Om. Kita akhiri ini sampai di sini," ujarnya lalu berjalan pergi meninggalkan Bram seorang diri di sana.

Bram menatap sedih ketika Vira berlalu pergi dari hadapannya.

Entah itu cinta yang samar dalam balutan niat balas dendam, sampai saat ini Bram tidak bisa memungkiri bahwa lekuk tubuh Vira memang sangat seksi dan membuatnya bergairah, hal itu membuatnya tidak sabar untuk terus menyetubuhinya!

"Aku nggak bisa, Vir, aku nggak bisa kita pisah! Sore nanti aku tunggu di toko!" Teriaknya pada Vira.

Sampai di dalam gedung, Vira langsung membenturkan keningnya di dinding.

Duuuk! Duuuk! Duk!

"Dasar wong edan, masa aku disuruh ke toko! Ngapain coba? Ogah aku oogaahhh! Tapi kalau Om ke rumah lagi, ibu lama-lama bakalan curiga juga karena dia sering datang!" Gerutunya dengan perasaan kesal.

"Bu Vira!" Tegur salah satu siswinya.

"Eh?" Vira memaksakan senyumnya lalu segera mengusap keningnya sendiri.

"Bu Vira kenapa? Sakit?" Tanya Nia dengan tatapan bingung.

"Nggak, tadi nggak lihat jalan, malah nabrak dinding," elaknya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel