Bab 4
Zahra berjalan pulang dari kantor, hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Pertanyaan-pertanyaan soal kehamilan yang terus ia terima makin menusuk, sementara sikap Fadlan akhir-akhir ini terasa makin acuh. Ketika rumah sudah tinggal beberapa langkah lagi, suara yang ia kenal baik memanggil.
“Eh, Mbak Zahra! Sini dulu, sayang!”
Bi Unah, wanita setengah baya, ratu gosip kompleks, melambai genit. Zahra menahan napas, tapi tetap menghampiri dengan senyum dipaksakan.
“Mbak Zahra, sayang… Bibi tadi denger dari emak-emak di warung, kamu belum punya anak ya? Kasihan banget. Tapi tenang, bibi punya solusi!” katanya semangat, seolah menemukan rahasia besar.
Zahra sudah bisa menebak arahnya. “Iya, Bi, saya dan suami masih berusaha. Doakan saja ya.”
Bi Unah geleng-geleng dramatis. “Doa penting, tapi usaha biasa kadang nggak cukup, sayang. Ada dukun andalan di kampung sebelah. Terkenal banget buat urusan kehamilan! Kamu tinggal datang, minta tolong, diusap-usap, langsung hamil!”
Zahra terdiam sesaat, antara muak dan lelah. “Terima kasih, Bi. Tapi saya percaya semua sudah diatur Allah. Kami masih ikut saran dokter.”
Bi Unah mendesah kecewa. “Aduh, kamu tuh kebangetan. Tapi ya udah, siapa tahu nanti berubah pikiran.” Ia melambaikan tangan, tersenyum simpul.
Zahra buru-buru melangkah pergi, menenangkan diri. Ia mencoba fokus pada keyakinannya: Allah pasti memberi yang terbaik.
Tak lama, Fadlan datang dan memarkir motor. Tapi belum sempat masuk rumah, suara Bi Unah kembali melengking.
“Mas Fadlan, sini dulu dooong!”
Fadlan menoleh dengan enggan. Bi Unah sudah menghampiri, berjalan dengan langkah yang mengingatkan gentong digulingkan.
“Mas Fadlan, lama banget kita nggak ngobrol. Makin ganteng aja!” Ia mengipas wajah dengan selendangnya, padahal sore sedang sejuk.
Fadlan tersenyum canggung. “Eh… iya, Bi. Ada apa?”
“Soal momongan,” ujarnya bergaya misterius. “Bibi punya solusi jitu. Ke dukun andalan, Mas! Sakti banget. Bibi dulu juga gitu, makanya perut bibi bisa segede ini!” katanya bangga sambil menepuk perut bulatnya.
Fadlan hampir tak kuasa menahan tawa. *Diusap-usap? Ya Tuhan…*
“Terima kasih, Bi, tapi kayaknya nggak perlu. Saya dan Zahra baik-baik aja.”
Bi Unah semakin centil. “Ayoo lah, Mas! Kalau perlu, bibi anterin!”
“Iya, iya, Bi. Nanti saya pikirin. Saya masuk dulu ya.”
Begitu pintu tertutup, Fadlan menghela napas panjang, lalu mendecih kecil. “Pret. Sama aja kayak Bude Anin. Bedanya cuma nama. Dukun Andalan, Gus Bokis… ujung-ujungnya mesum juga.”
Dari balik jendela, Zahra mengintip percakapan suaminya dengan Bi Unah. Tingkah Bi Unah yang genit dan penuh drama sebenarnya membuat Zahra inging ngakak. Tapi ia hanya tertawa dalam hati. Sangat yakin kalau rayuan-rayuan noraknya, akan ditolak mentah-mentah oleh Fadlan.
Zahra menunggu di ruang tamu, menyambut dengan senyum yang setengah menahan tawa.
“Gimana seru ngobrolnya sama Bi Unah?” godanya ringan, tapi nadanya mengandung sindiran samar.
Fadlan terlihat gelagapan. “Ah, seru apaan. Orang dia malah ngasih solusi aneh. Sama aja kaya Bude Anin. Bikin makin pusing kepala!” ujarnya sambil melempar jaket ke kursi.
Zahra tertawa kecil, tapi tawanya cepat menguap. “Baru ngadepin Bi Unah udah pusing, Mas? Bayangin aku... tiap hari harus ngadepin emak-emak sekompleks, keluarga kamu, temen-temen di kantorku yang kesemuanya nyalahin aku, seolah aku yang mandul.”
“Kita kan lagi usaha, Ra...” katanya, berusaha terdengar tenang. “Aku udah ikut program dokter juga, kan.”
Zahra menatapnya dalam-dalam. “Usaha? Kamu bilang kamu usaha, tapi serius nggak? Dokter jelas-jelas bilang kamu yang harus lebih disiplin. Tapi aku nggak lihat perubahan apa pun dari kamu.”
Fadlan menegang. “Aku serius, Ra. Tapi ini nggak bisa instan. Butuh waktu, sabar!”
Zahra menggeleng pelan, “Tapi kesabaranku digerus oleh sikapmu yang sudah mulai abai terhadap semua program itu. Kamu gak berubah, Mas.”
Fadlan mulai kehilangan kendali. “Kamu pikir aku nggak ngerasa? Aku juga sudah lelah, dan tertekan, Ra!”
Zahra menahan napas, matanya mulai berair. Tapi ia tak ingin air mata itu jatuh. “Aku cuma pengen kamu berdiri di sampingku. Genggam tanganku. Biar orang-orang tahu kita sama-sama berjuang. Tapi kamu... kamu bahkan nggak mau meminum suplemen herbal. Apa itu yang kamu sebut berjuang?”
Senyap. Hanya suara napas yang berat dan detak jam dinding yang terdengar.
Fadlan memejamkan mata. Ia tahu Zahra benar. Ia juga tahu betapa istrinya sudah terlalu lama menanggung semuanya sendirian. Ia tahu, tapi untuk saat ini ia memilih bungkam.
Zahra menarik napas dalam, lalu berkata pelan, “Kalau kamu juga pengen punya anak, kenapa hanya aku aja yang berjuang?”
Kalimat itu, lirih dan nyaris tak terdengar, menampar Fadlan lebih keras dari semua teriakan. Ia menatap istrinya, benar-benar menatap dan untuk pertama kalinya, ia melihat bukan Zahra yang kuat seperti biasa. Tapi Zahra yang letih, terluka, dan mulai kehilangan harapan.
“Ini bukan soal nyalahin kamu, Mas,” suara Zahra mulai gemetar, antara marah dan sedih. “Aku cuma pengen kamu lebih serius, bukan cuma janji mau berubah, tapi nggak ada yang benar-benar kamu lakukan dengan sungguh-sungguh.”
Fadlan terdiam. Kata-kata Zahra seperti hantaman keras yang tak bisa ia tolak. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat kelelahan dalam mata istrinya dan menyadari betapa besar luka yang perempuan itu simpan selama ini.
“Aku minta maaf, Ra,” Fadlan akhirnya berkata. Suaranya lebih lembut sekarang. “Aku… aku terlalu sibuk menyangkal, terlalu sibuk menenangkan diriku sendiri. Sampai lupa kalau kamu yang paling banyak menanggung semua ini.”
Zahra menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. Ia tidak ingin menangis di depan Fadlan, tapi sejujurnya, permintaan maaf itu adalah sesuatu yang sudah lama ia tunggu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan.
“Aku nggak butuh kamu jadi sempurna, Mas. Aku cuma butuh kamu ada, sepenuhnya. Hadir dan berusaha bareng aku, istrimu.”
Fadlan melangkah mendekat, meraih tubuh istrinya dan memeluknya erat.
Hari-hari terus berlalu, dan demi menjaga kewarasan, Zahra mulai menarik diri. Ia membatasi pergaulan, hanya keluar untuk bekerja, sementara kebutuhan rumah ia penuhi lewat belanja online atau sekali-dua kali ke pasar. Semua demi menghindari bisik-bisik tetangga yang kian menguras hatinya.
Namun perjuangannya tidak sejalan dengan Fadlan. Baru seminggu menjalani program dokter, suaminya sudah mengeluh dan kembali ke kebiasaan lama. Zahra tahu program itu berat, tetapi justru karena berat, seharusnya mereka kompak. Nyatanya, hanya ia yang bertahan.
Siang itu, saat istirahat, Zahra singgah di warung kopi kecil favoritnya. Dengan secangkir teh hangat, ia duduk sambil menenangkan pikiran tentang gosip kehamilan yang terus menghantuinya.
‘Apa aku lebih baik tinggal di rumah ibu saja?’ pikirnya. ‘Kalau Mas Fadlan mau ikut, syukur. Nggak juga terserah.’
Ia membuka ponsel, mencoba mengalihkan diri, hingga sebuah suara familiar menyapanya.
“Assalamualaikum. Ini Zahra ya?”
Zahra menoleh. Seorang pria berjaket ojek online berdiri di depannya, Gilang Pamungkas, mantan kekasih yang dulu begitu dekat.
“Waalaikumsalam. Mas Gilang?” Zahra hampir berbisik. “Sudah lama sekali…”
“Nggak nyangka ketemu di sini,” ujar Gilang tersenyum. “Kamu masih tinggal di kota ini, Ra?”
“Iya. Kerja di kantor Mastex, depan sana. Mas sendiri?”
Gilang duduk di depannya. “Aku di sini setahun. Jadi driver ojol sekarang.”
Nada santainya tak sepenuhnya menutupi beban hidupnya. Zahra ingat kabar bahwa pernikahan Gilang tak bertahan dan anaknya ikut ibunya. Ada rasa iba yang sulit ia sembunyikan.
“Mas, bukannya dulu kamu kerja di…?”
“Iya, dulu,” jawabnya pahit. “Sekarang fokus nemenin ibu.”
Zahra hanya mengangguk, hingga satu pertanyaan Gilang membuat dadanya tercekat.
“Kamu gimana, Ra? Bahagia sama suamimu? Udah punya anak berapa?”
Zahra menelan ludah sebelum menjawab. “Alhamdulillah, baik. Belum ada anak, tapi masih berusaha.”
Tatapan Gilang berubah lembut, seolah memahami lebih banyak dari yang terucap.
“Ra… kalau ada apa-apa, aku masih temanmu. Kamu tahu itu, kan?”
Zahra menghabiskan tehnya dan berdiri. “Aku harus balik ke kantor, Mas. Hati-hati, ya.”
Gilang tersenyum kecil. “Kamu juga, Ra. Sampai ketemu lagi.”
Zahra kembali ke kantor dengan perasaan campur aduk. Duduk di meja kerjanya, pikirannya masih tertinggal di warung kopi. Wajah dan tatapan Gilang menempel di ingatannya.
Ia mengusap perutnya yang masih rata. ‘Andai aku menikah dengan Mas Gilang… mungkin sudah punya anak. Tidak akan jadi menantu yang dihina.’ Ia tahu keluarga Gilang sederhana tapi hangat, berbeda dengan tekanan yang ia rasakan sekarang.
^*^
