Bab 2
Langit tampak sendu, seolah ikut menampung sisa luka semalam. Fadlan dan Zahra berangkat kerja bersama, tapi tak ada yang terasa seperti biasanya. Zahra duduk di jok belakang tanpa memeluk pinggang suaminya, hanya diam. Jarak di antara mereka terasa lebih lebar dari jok motor itu sendiri.
Angin pagi menerpa, tapi dinginnya tak sanggup meredakan panas emosi yang masih tersisa. Fadlan mencoba membuka percakapan, namun kata-kata selalu mentok di tenggorokan; ia tahu Zahra belum siap bicara.
Motor berhenti di depan PT. Mastex. Zahra turun tanpa suara, hanya menoleh sebentar lalu mengulurkan tangan. Fadlan menyambut. Zahra mencium punggung tangannya—gerakan sopan, datar, seperti upaya menjaga sisa-sisa kewajiban rumah tangga, bukan kehangatan.
Lalu Zahra berjalan menjauh. Tegap. Dingin. Tidak menoleh sama sekali.
Fadlan menghela napas panjang sebelum kembali menyalakan motor. Punggung Zahra yang menjauh tanpa melihat ke belakang terus terbayang di kepalanya, menghantui seperti dinding yang kini tak bisa ia tembus.
Ia berkendara pelan, tapi pikirannya tak berada di jalan. “Kenapa aku gagal jadi suami yang bisa diandalkan?” bisiknya lirih.
Kebisingan kota terasa jauh, buram. Yang terdengar hanya gemuruh penyesalan dan ketakutan yang tak mau berhenti menekan dadanya.
Sesampainya di kantor, Fadlan parkir seperti biasa, tapi langkahnya terasa berat. Hatinya seperti tertinggal di pelataran kantor Zahra, masih berharap bisa membalikkan waktu semalam. Tapi ia tahu, luka yang sudah terlalu lama dibiarkan bisa jadi lebih dalam dari yang tampak.
Saat ia duduk di meja kerjanya, tatapan kosongnya langsung disambar suara tegas dari atasannya, Pak Hendro.
“Fadlan, ke ruangan saya sekarang!”
Fadlan tersentak. Ia bergegas masuk, mencoba terlihat tenang meski pikirannya belum sepenuhnya terkumpul.
Begitu pintu tertutup, Pak Hendro langsung menggebrak meja. “Kamu tahu nggak, laporan tender yang kamu kirim kemarin itu salah besar? Harga penawaran kita lebih tinggi dari kompetitor karena data cost-nya nggak kamu revisi!”
Fadlan membeku. Otaknya mencari jawaban, tapi semuanya kabur. “Ma, maaf, Pak. Saya… saya kira data terakhir yang saya kirim sudah direvisi.”
“Kalau divalidasi dulu, hal kayak begini nggak bakal kejadian! Kamu tahu berapa miliar yang bisa hilang karena kesalahanmu?”
Fadlan menunduk, keringat dingin mulai merembes. Kepalanya berdenyut, bukan hanya karena teguran itu, tapi karena semua ini adalah buntut dari hari-harinya yang porak poranda. Hatinya tidak tenang, dan sekarang pekerjaannya pun mulai ikut kacau.
“Saya kasih waktu sampai siang ini untuk revisi dan kirim ulang ke klien. Kalau nggak beres, saya laporkan ke manajemen,” ucap Pak Hendro dingin.
Fadlan mengangguk pelan, lalu keluar dengan langkah gontai. Ia kembali duduk di meja, menatap layar komputer yang penuh angka dan grafik, tapi matanya tetap kosong.
Ia merasa seperti pria yang sedang kehilangan pijakan. Gagal sebagai suami. Gagal sebagai karyawan. Dan sekarang, ia mulai takut… kalau semuanya akan runtuh bersamaan.
‘Apakah ini karma dari istriku? Bukan. Ini karena aku kurang fokus’ pikirnya.
Fadlan duduk terpaku di depan layar komputer, jari-jarinya hanya menyentuh keyboard tanpa menekan. Matanya menerawang, menatap sel-sel Excel yang tak lagi bermakna. Dada sesak. Kepala penuh. Ia bahkan tak sadar saat seseorang menarik kursi di sebelahnya.
“Bro, lu kenapa sih? Kayak abis disiram air got,” suara itu datang dari Reza, teman kerjanya yang terkenal paling santai tapi cukup peka kalau suasana berubah.
Fadlan menghela napas, malas menjawab.
Reza mencondongkan badan, mencoba mengintip layar Fadlan. “Ini ya yang bikin Pak Hendro ngeluarin jurus jurit malamnya tadi pagi? Santai, bro. Yang penting lu perbaiki, udah gitu tinggal ngeles dikit. Bilang aja server ngelag, hahaha.”
Fadlan menoleh pelan, tersenyum tipis tapi hambar. “Nggak cuma soal kerjaan, Za.”
“Oh... jadi soal rumah tangga juga?” Reza langsung mengangkat alis, menyipitkan mata. “Wah, kombinasi komplit. Pekerjaan kacau, hati berantakan. Gawat ini. Harus di-reset pake kopi dan curhat.”
Fadlan tertawa kecil, tapi tak bertahan lama. “Zahra marah besar semalam. Gue... nggak bisa bela dia di depan nyokap gue. Lagi-lagi.”
Reza mengangguk perlahan, mencoba memahami. “Lu cinta sama Zahra, kan?”
“Banget.”
“Nah, kalau masih cinta, ya harusnya lu berani pasang badan. Orang tua emang kadang susah diatur, tapi istri lu itu satu-satunya orang yang bakalan nemenin lu sampai akhir... kalau lu gagal, bisa-bisa dia ninggalin lu.”
Fadlan diam. Kata-kata itu menohok. Reza memang kadang suka becanda kelewat batas, tapi kali ini, nadanya tulus.
“Gue bukan sok bijak, Bro. Tapi gue tahu satu hal. Lu harus berhenti jadi penengah yang diam. Kadang, demi kebaikan semua orang, kita harus bicara juga. Tidak terkecuali itu keluarga kita sendiri.”
Fadlan mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya sejak pagi itu, hatinya terasa sedikit lebih ringan. Masih gelap, tapi tak sekelam tadi.
“Ayo ngopi dulu,” ajak Reza sambil berdiri. “Sambil lu pikirin gimana caranya minta maaf sama istti lu.”
Fadlan berdiri perlahan. Mungkin kopi tak bisa menyelesaikan semuanya. Tapi setidaknya, itu bisa jadi awal yang baik untuk membereskan segalanya.
Reza dan Fadlan turun ke kantin kecil di pojok gedung. Tempat itu selalu ramai jam-jam seperti ini, tapi bagi Fadlan, suara-suara itu hanya jadi gema samar tak berarti. Mereka duduk di pojok, membawa dua gelas kopi yang masih mengepul tipis.
Reza menatap Fadlan lama, seolah mengukur seberapa kuat temannya ini bisa menahan tekanan hidup yang hampir menekuk bahunya.
“Bro,” Reza membuka percakapan dengan nada hati-hati. “Gue tau lu orangnya paling logis se-kantor ini. Medis lah, ilmiah lah… gue ngerti. Tapi kadang, tubuh manusia itu butuh bantuannya sendiri.”
Fadlan hanya mengangkat alis. “Maksud lu?”
Reza menyesap kopinya sebelum menjawab. “Lu tau Pak Gofur, kan?”
“Terapis itu?” Fadlan mengangguk kecil. “Senior kita. Yang badannya kek masih umur tiga puluhan itu?”
Reza terkekeh. “Iya, itu dia. Yang kalo jalan aja kayak baru abis angkat barbel.”
Fadlan menunggu penjelasan itu dengan rasa penasaran yang tak diinginkan. Reza mencondongkan tubuh, suaranya mengecil.
“Gue tuh… dulu juga punya masalah keturunan, Bro. Sama kayak yang lu alamin sekarang.”
Fadlan membeku sepersekian detik.
Reza melanjutkan, wajahnya berubah serius. “Istri gue itu sempat hampir depresi. Terapi di rumah sakit, vitamin, obat hormon… semua dicoba. Tapi hasilnya stagnan.”
Fadlan mengangguk pelan. Ia tahu tekanan itu. Ia sangat tahu.
“Nah… istri gue waktu itu diajak temannya ke tempat Pak Gofur. Gue awalnya skeptis. Kirain itu pijat-pijat kampung nggak jelas.”
“Terus?” tanya Fadlan pelan.
“Ternyata beda banget.” Reza menekankan kata itu. “Dia itu terapis syaraf. Fokusnya melancarkan aliran darah dari panggul sampai pinggang. Bukan dukun, bukan klenik, bukan pakai mantera-mantera aneh.”
Reza menunjuk dirinya sendiri. “Dan… ya lu tau sendiri, sekarang gue punya Athaya. Hasilnya bener-bener nyata.”
Fadlan menelan ludah. Ada bagian dari hatinya yang ingin percaya. Tapi ada bagian lain yang masih keras, masih takut berharap.
Reza menepuk bahunya dengan ringan. “Gue nggak maksa, Bro. Cuma… kalo lu mau coba hal yang aman, tanpa ritual aneh… mungkin itu bisa bantu. Atau minimal bikin badan lu dan Zahra lebih rileks.”
Fadlan menarik napas panjang. “Gue pikir-pikir dulu.”
“Pikir boleh,” jawab Reza sambil bangkit. “Tapi jangan keburu nolak. Hidup kadang nyelipin pertolongan dari tempat yang nggak kita sangka.”
Mereka kembali ke meja kerja. Namun pikiran Fadlan tak ikut kembali.
Nama Gofur menempel di benaknya, menimbulkan rasa penasaran bercampur keraguan. Bahkan saat ia kembali menatap layar monitor, angka-angka di Excel tampak menari-nari, bukan membentuk kolom rapi.
Sementara itu di tempat lain.
Ruang pantry kantor siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang beradu pelan, diselingi suara kipas angin langit-langit yang berputar malas. Zahra duduk di ujung meja, membuka kotak makannya perlahan. Nasi dan lauk kesukaannya ada di dalamnya, tapi entah mengapa tak satupun menggugah selera.
Siska datang dengan senyum khasnya, membawa kotak makan dan sebotol air mineral. “Kosong?” tanyanya sambil duduk di seberang Zahra.
Zahra mengangkat bahu. “Lagi nggak pengen makan.”
Siska mengernyit, meletakkan kotaknya. “Tumben. Kamu biasanya yang paling lahap di jam makan siang.”
Zahra hanya tersenyum sekilas, datar.
Siska memandangnya sejenak sebelum mulai membuka kotaknya sendiri. Ia menyuapkan sesendok nasi, lalu meletakkan sendoknya, menatap serius sahabatnya.
“Ra, kamu kenapa sih? Dari pagi wajah kamu suram banget. Nggak biasanya kayak gini.”
Zahra menghela napas panjang, memandang ke luar jendela kecil di sudut ruangan. Matahari cerah, tapi hatinya justru sebaliknya. “Berantem lagi sama Mas Fadlan.”
Siska tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Sudah beberapa kali Zahra mengeluhkan hal serupa, tapi kali ini nada suaranya berbeda, ada kelelahan yang lebih dalam.
“Kemarin kita ke rumah mertua. Dan seperti biasa, mulai lagi sindiran soal belum punya anak. Katanya aku terlalu sibuk kerja, terlalu cuek sama rumah. Rasanya tuh kayak ditelanjangi pelan-pelan di depan umum.”
Siska menatap Zahra, empatinya terasa hangat. “Fadlan... bilang apa?”
Zahra tertawa kecil, getir. “Nggak bilang apa-apa. Seolah.. aku pantas disalahin.”
Siska mendesah. Ia tahu persis bagaimana perasaan itu.
“Aku gak minta dia ngebentak ibunya, Sis,” lanjut Zahra pelan, “tapi setidaknya, kasih tanda kalau aku nggak sendirian. Kalau dia suamiku, bukan cuma anak dari ibunya.”
Siska menggenggam tangan Zahra di atas meja. Hangat dan lembut dia sangat tahu semuanya namun tidak elok juga jika terlibat terlalu jauh. “Kamu gak sendiri, Ra. Setidaknya masih ada aku yang siap nampung keluh kesahmu.
Siska terdiam sejenak, lalu berkata lirih, “Kadang laki-laki lupa, kita adalah manusia yang juga punya batas dan rasa.”
Zahra mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi ia cepat-cepat mengedip, menahan air yang nyaris tumpah.
^*^
