Pustaka
Bahasa Indonesia

Ketika Pria Terluka

59.0K · Tamat
Li Na
51
Bab
3.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Meski tengah diuji kesulitan ekonomi pasca putus kerja, Agung tetap berusaha menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab. Namun, rumah tangganya malah berjalan kian tak sesuai harapan. Bukan lagi karena masalah ekonomi yang kurang, tetapi istrinya terlanjur lupa diri usai dimabuk cinta pada sang mantan.

RomansaMenantuPerselingkuhanPerceraianPengkhianatanKeluargaPernikahanMemanjakanThrillerSuspense

Bab 1 Dipandang Sebelah Mata

“Mau ngantor kamu, Gung? Gaya sekali pakaiannya. Cuman ngojek tok, kok, yo rapi nyamain manajer!”

"Pak." Pria berkulit sawo matang, dengan postur tinggi kurus itu tersenyum kaku, sembari mengangguk kecil pada papa mertua.

Penampilan saat ini sebenarnya biasa saja, kaus putih dimasukan dalam celana jeans biru dongker. Mungkin jaket kemeja yang ia kenakan membuat tampak resmi.

“Agung itu memang tidak tau diri, kok, Pak. Sudah kere masih saja gaya selangit. Lupa daratan. Nasib miskin dari orok ya tetap saja miskin lagi, miskin lagi! Kasian tuh Clara, dia terbiasa dari kecil dapat semua maunya, sekarang malah harus nahan-nahan. Makanya dari kemarin aku bilang, punya laki kalau sudah tidak kerja mending cepet pisah! Daripada tahaaaan! Mana pake nambahin anak pula!”

Sindiran papa mertua disambung suara lain lebih pedas, dari wanita berambut sebahu, yang pagi-pagi bibir tipisnya sudah semerah sirih. Ibu mertua Agung selalu lancar kalau ngomel panjang lebar.

Astaghfirullah ….

Agung bekerja dan bawa uang untuk nafkah anak istri tiap hari, tapi di mata mereka itu tak terlihat.

"Bapak sama Ibu doakan saja, penghasilan saya-“

“Dah, dah! Sana! Besar omong aja kamu! Nyari duwit yang banyak!” Nada suara ibu mertua makin meninggi.

Pagi-pagi di rumah besar ini penuh suara dua orang itu, ribut menyamai pasar. Sementara yang lain, termasuk anak-anak dan istri Agung masih belum bangun.

“Ada mereka di sini bapak jadi sering pusing. Mbok biarin saja nyari rumah sendiri, Bu, ngapain tahan mereka? Belain nyari baby sitter segala buat Ega!”

“Ibu itu kasian sama Clara, Pak. Biar dia nggak melulu disuruh ngasuh anak. Penampilannya jadi kusut kusam! Dia itu istri yang harusnya dimanja! Bukan dibuat kayak babu! Agung memang nggak becus aja jadi suami!"

Repetan itu makin panjang. "Sudah punya anak dua masa mau dikasih rumah sempit, sesak, pengap! Keturunan Susana dan Vicky Bahranudin itu harus hidup nyaman! Anak-anak kita kan biasa tinggal di rumah besar, yang semua ruangnya ber-AC!”

Di luar baru juga sedikit terang, pukul lima lewat lima menit sekarang. Agung duduk di kursi teras memasang sepatu. Telinganya masih menangkap suara dari dalam. Harusnya tak terdengar sih hingga di sini, tapi pasangan usia paruh baya sengaja bicara sedikit teriak agar ia mendengar jelas.

“Ayah ... Ayah mau kelja?” Gadis kecil dengan rambut keriting keluar, mendekatinya.

“Eh, sayang ayah. Sini.” Agung membuka dua tangan pada putri sulungnya yang baru bangun. Anak itu menguap sembari mendudukkan diri di pangkuan ayahnya.

“Doain hari ini rezeki ayah bagus, ya, Kay.”

“Ya, Ayah ….” Gadis kecil yang sebentar lagi menginjak 4 tahun itu mengucek mata, lalu menguap lebar. Biasa ia bangun bersama Bundanya sekitar pukul tujuh atau delapan nanti, sekarang terbangun pasti karena keributan nenek dan kakeknya di dalam.

“Muah! Ayo, cuci muka sana, trus main sama nenek kakek. Ayah harus berangkat sekarang.”

Kayla mengangguk.

“Hup, anak pintar! Ayah makin semangat kerja, nih, dapat sun sayang dari Kay, hehe.” Agung menurunkan Kayla usai mendapat balasan kecup dari gadis kecilnya.

Punya putri cantik, bermata bulat, dan berambut curly ala boneka adalah salah satu obat bagi hati Agung. Sejak putus kerja di perkebunan sawit, ia menahan tekanan akibat roda ekonomi mereka jatuh di titik rendah. Kehangatan keluarga kecilnya pun sudah jauh berubah.

Apalagi saat terpaksa tinggal di rumah mertua ini.

Keluarga kecilnya sempat ngontrak di rumah sederhana. Namun, Clara tak betah. Terbiasa hidup mudah dan berkecukupan sejak kecil, jadi saat dibawa hidup sulit Clara mengeluh setiap hari. Ada saja keluhan tak nyaman dalam dirinya.

Karena sayang istri, Agung mengalah saja saat Clara ngotot pindah ke rumah orang tua. Ini hanya sementara, menurutnya, cuma sampai ia mendapat pekerjaan mapan lagi.

☕☕

“Depan gedung itu, Mas!” Tepukan di bahu membuat Agung meminggirkan motornya.

“Di sini, Pak?”

“Iya.” Lelaki berperut buncit turun, lalu merogoh saku. “Ambil saja kembaliannya.” Selembar uang merah diberikan.

“Ada, kok, kembaliannya, Pak.” Agung menyiapkan kembalian 60 ribu.

“Ambillah. Anggap rezeki anak.” Senyum ikhlas lelaki berkemeja biru terkembang sembari meninggalkannya.

“Jazakallah khairan," ucap Agung pada penumpang langganan, yang berjalan cepat masuk gedung pertemuan berlantai dua.

“Alhamdulillah, ya, Allah," gumamnya.

Nilai rupiah itu memang jauh lebih kecil dari gajinya dulu yang menyentuh lima belasan juta sebulan, tapi nikmat uang ini lebih terasa. Tentu juga lebih aman, dibanding dulunya bekerja banyak santai, dan penurut demi menjilat atasan juga oknum aparat.

Agung berharap, semoga mantan bosnya yang masih mendekam di jeruji besi, mendapat kenikmatan baru seperti yang dirasakan saat ini. Kenikmatan hasil keringat halal.

Baru menyalakan lagi motornya, ponsel Agung berdering. Panggilan dari pelanggan lain yang minta dijemput segera.

Di awal menikah hampir enam tahun lalu, hidup Agung dan Clara bisa dibilang berkecukupan. Punya rumah besar, dan mobil mahal, walau semuanya kreditan.

Agung bekerja di perkebunan sawit besar sejak lulus SMK Pertanian, nyambi kuliah online di Universitas Terbuka untuk mendapatkan gelar.

Ia sosok yang tekun dan tenang, hingga mampu mencuri hati sang bos. Hubungan mereka dekat hampir seperti teman, sebab Agung selalu berhasil melakukan tugas sesuai perintah.

Puluhan tahun bekerja, hingga menginjak usia kepala tiga Agung sudah duduk sebagai senior manager kebun, dengan gaji 15 sampai 30 juta per bulan. Karenanya ia termasuk lajang mapan kala itu, punya wajah manis, dan tabungan cukup besar.

Makanya setelah mengenal Clara dan menikah, ia mampu menanggung biaya hidup Clara yang konon berasal dari keluarga berada.

Istrinya bisa menghabiskan uang 500 ribu sehari, untuk beli kebutuhan, termasuk makanan, dan jajan ini itu. Karena terlanjur cinta, dan merasa mampu, Agung tak keberatan penghasilan dan tabungannya terpakai banyak sang istri yang jauh lebih muda darinya tersebut. Toh, ia juga punya penghasilan dari pekerjaan sampingan, dan saham di sebuah perusahaan lain sang bos saat itu.

Namun, kenikmatan itu harus terenggut sekejap. Di saat Clara hamil muda anak kedua, bos PT. Agro Jaya Tbk. mendadak jadi tersangka kasus penipuan, dan penggelapan dalam jumlah fantastis.

Semua usaha bos disita, perusahaan pun gulung tikar. Agung termasuk korban yang merugi ratusan juta dari usaha fiktif lain milik sang bos.

Memang pria ini tampak tenang menghadapi masalah besar itu, padahal di hatinya tengah kalut dan buntu dalam diam, hingga merembet pada usaha sampingannya yang ikut bangkrut.

Cicilan bank, kredit rumah dan mobil jadi macet. Berbulan terlewati makin genting, kelahiran anak kedua butuh biaya banyak karena operasi caesar. Sementara tabungan nyaris nol rupiah, akhirnya Agung terpaksa melepas rumah, dan mobil untuk bebas dari cicilan.

Tekanan tak berhenti menghimpit Agung, mertua tak terima anak dan cucunya jadi hidup berkekurangan, ia dikatakan tidak pintar karena mudah ditipu. Asal usul keluarganya yang tak berpunya jadi diungkit ke permukaan. Apalagi setelah serumah, hari-hari makanan Agung adalah omelan.