Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8| Tante, Udah Nyelup Dikit, itunya Aku

Stefany merasakan mual. Di sepanjang perjalanan, selepas mereka mendarat di Bandara Ahmad Yani Semarang dan menuju ke kota kelahirannya, Batang, Mommy Vero selalu saja melancarkan aksi tanya yang lebih dapat Stefany jelaskan sebagai interogasi dadakan. Stefany sebenarnya tak suka jika orang lain terlalu banyak mengusik privasinya. Tapi apa daya, ia tentu tak memiliki pilihan lain selain memberikan jawaban.

"Serem gini sih jalannya, Yang. Kamu orang ndeso ya?! Tinggalnya di hutan gini." celetuk Vero membuat sumbu amarah di otak Stefany semakin memendek. Seharian ini Stefany sudah mencoba memanjangkan sabarnya. Pasalnya tak hanya Vero, seluruh anggota keluarga laki-laki itu benar-benar menguji kewarasan.

"Bukan, gue Orang Utan makanya tinggalnya di hutan gini buat pulang ke rumah. Puas!" amuk Stefan ketika mobil yang mereka kendarai sedang melintasi jalanan Alas Roban. Daerah yang mereka lewati memang menyajikan pepohonan besar seperti jati dan mahoni. Terlebih kendaraan yang berlalu-lalang bisa dikatakan termasuk kedalam jenis bermuatan berat.

'Ribut terus!', komentar Mellia dalam hati. Mellia lalu berdecak. Mengapa sedari tadi ia tak pernah melihat pemandangan romantis dari anak dan calon menantunya. Benarkah pilihan yang ia ambil untuk menikahkan mereka berdua?! Seketika Mellia menjadi ragu. Jika begini putranya akan hidup menderita dibawah tekanan pasangannya

"Kaya kita dulu ya, Sayang." bisik Ray ditelinga Mellia. Pria itu membandingkan kisah mereka yang spektakuler dengan pasangan hasil paksaan. Tentu saja Mellia tidak terima.

"Ngarang!" jawab Mellia judes, lalu menggerakkan tubuhnya ke samping kanan guna melihat kedua manusia yang duduk di kursi paling belakang, "kalian bisa diem apa Mommy lempar keluar! Berantem aja udah mau nikah juga!" hardik Mellia membuat Vero dan Stefany bungkam.

"Gini kan enak. Tenang, nggak berisik. Ini masih jauh apa enggak Stef?" tanya Mellia. Perasaan mereka nggak sampai-sampai.

"Udah mau deket Tante." jawab Stefany lirih. Melas sekali hidupnya punya mamah mertua galak nanti. Hidupnya benar-benar sial. Andai tak berurusan dengan Vero maka seluruh penderitaan tidak akan ia rasakan.

Lima belas menit berlalu dengan keterdiaman Stefany dan Vero. Keduanya tak berani mengeluarkan suara akibat ancaman Mellia.

"Ini nanti ada lampu merah ke kiri ya. Tikungan setelah kantor polisi itu." Ray meneruskan ucapan Stefany ke supir. Ia memang khusus meminta anak buahnya menyediakan transportasi untuk membeli buah tangan dan transport mereka ke rumah Stefany.

“Lampu merah yang sana itu.. Belok kanan..” tunjuk Stefany pada lampu pengatur lalu lintas yang berada tak jauh dari mereka. “Perumahan setelah lampu merah persis. Maksud saya.” Pinta Stefany memberitahu dimana rumahnya berada.

Stefany sedikit berdiri. Ia membungkuk, “Pak.. Saya.. Stefany.. ” ujarnya ketika kaca mobil telah diturunkan. Satpam perumahan Stefany akhirnya memberikan akses untuk masuk ke dalam. Meski bukan berada di kota besar, hunian keluarga Stefany termasuk ke dalam perumahan elit. Hanya mereka yang memiliki penghasilan tiga digit perbulannya yang mampu memiliki salah satu cluster dengan model yang sama persis.

"Ini rumah kamu?" tanya Mellia sembari menurunkan kaca mobil, melihat-lihat kediaman Stefany. Mellia tidak bermaksud menghina Stefany. Ia justru kaget. Tampilan Stefany yang amat biasa saja ternyata berada jauh di luar ekspektasinya.

"Mari Tante, turun." Vero dan kedua orang tuanya turun, mengikuti langkah Stefany setelah tadi sempat berbicara pada satpam rumah gadis itu untuk memberitahukan orang di dalam jika ia pulang membawa tamu.

Vero menarik-narik jaket yang Stefany gunakan membuat Stefany menghentikan langkah tepat disamping Vero. "Yang, kamu anak orang kaya kok di Jakarta kaya gembel sih. Mau sambil ngemis di lampu merah ya biar nambah kaya?"

Bugh!

"Argh! Stefany!" erang Vero ketika Stefany melayangkan kepalan tangan ke perut ratanya.

"Tante, Om, Mari masuk."

Mellia menganggukkan kepala, begitu juga dengan Ray. Sepertinya mereka memang tidak salah jika memutuskan untuk menikahkan Vero dengan Stefany. Melihat dari kalangan mana Stefany dilahirkan, tentu saja membuat orang tua Vero itu tenang dari pikiran buruk tentang wanita gila harta yang akan memanfaatkan rasa cinta gila putra mereka.

"Princess, Mam.. Eh, sama siapa? Silahkan duduk Bu, Pak."

Mellia dan Ray melempar senyum hangat sembari memperkenalkan diri dan tujuan mereka. Tentu saja keduanya tak memilih untuk basa-basi mengingat pekerjaan Ray tak bisa ditinggalkan terlalu lama.

"Ha? Ini nggak salah anak saya dilamar? Dia masih muda. Maaf bukan mau menolak, tapi putri saya belum pantas jika harus menjadi seorang istri sedangkan dia harus fokus pada studi nya."

"Benar, Mbak. Tapi begini loh.." Mellia mulai menceritakan kronologis insiden yang ia pergoki di apartemen Vero. Semua hal dan bumbu-bumbu penyedap ia tuangkan agar anaknya tak semakin gila dalam menggapai gadis impian. Selain itu tentu saja Mellia lebih berpikir logis, jika saja peristiwa itu terulang lagi maka nama baik keluarga lah yang akan menjadi taruhan.

"Tapi kan nggak jadi kan? Untung saja Mbak pergokin mereka. Anak saya selamat."

"Tante, maaf interupsi. Kita udah sama-sama naked loh." sela Vero. Anak itu ketar-ketir jika saja acara lamarannya akan gagal mengingat uniknya pemikiran yang dimiliki oleh mamah Stefany. Jika kebanyakan ibu lain mungkin akan berteriak memaki Vero dan meminta untuk bertanggung jawab, ini justru masih menolak dilamar dan bersikap santai. Vero nggak habis thinking deh sama jalan pikiran Mamah si Stefany.

"Tapi belom gitu-gituan kan Nak Vero?" Vero menggelengkan kepalanya.

"Nah, udah. Beres kan! Nggak usah dinikahin segala lah! Saya nggak mau anak saya hamil punya anak terus nggak jadi lulus kuliah. Anak satu-satunya ini." Ujar Mama Stefany membuat seluruh orang ternganga. Kini Vero juga akhirnya tahu jika Stefany merupakan anak tunggal di keluarganya.

Eh~ Minta dibacok, pikir Vero.

"Tante.. Tante.. Tapi udah nyelup dikit itunya aku."

"What!" Mama Stefany memekik sekaligus bangkit dari duduknya.

"Nggak Mah, bohong Mah. Bohong." Bantah Stefany sembari melambaikan tangan.

"Bohong gimana sih, Yang. Kamu kan mabok. Aku yang masih sadar. Itu aku udah masuk setengah tauk!" keukeuh Vero untuk menguatkan kebohongan yang ia lakukan demi mempermudah untuk mempersunting Stefany.

"Ya, Tuhan! Stefy kamu!" Stefany menatap sang Mamah takut. Tamat sudah riwayatnya kali ini. Stefy sendiri merupakan nama panggilan kesayangan yang orang tuanya berikan pada Stefany.

"Kalian tunggu sebentar ya. Saya mau telepon suami saya dulu biar pulang dari pabrik. Kita akan membicarakan tentang rencana pernikahan anak kita selanjutnya."

Vero menyeringai. Kali ini Stefany tidak mungkin lagi bisa mengelak atau pun menolak dirinya seperti yang sudah-sudah.

Prince Husodo nggak pernah kalah Stef. Baru kamu, Daddy aja kalah! Hahahaha...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel