Bab 1. Kejutan dari Suamiku!!
“Jadi ini tujuan kamu menceraikan aku, Damian?” pekik Glara berdiri di ambang pintu rumahnya ia tertegun melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya.
Awalnya Glara datang untuk mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal di rumah itu namun, ia justru mendapatkan kenyataan pahit yang membuat hatinya semakin tersayat-sayat. “Berhari-hari aku mengurung diri dan menyalahkan diriku karena tak becus menjadi istri hingga kamu memilih berpisah ternyata ini yang sebenarnya kamu mau?” ujar Glara mengatakan isi hatinya.
“Kalau iya kenapa?” balas Damian santai dan melemparkan tatapan mengejek.
“Sudah berapa lama kalian memadu kasih tanpa sepengetahuanku?”
Damian berdecak malas. “Itu bukan urusanmu!” Pria itu mengabaikan kedatangan Glara, ia justru sibuk dengan pegawai vendor yang mengatur kursi dan juga pelaminan.
“Damian ada siapa?” tanya ibu dari Damian dari dalam rumahnya. “Oh wanita miskin ini, mau ngapain lagi dia ke sini?” ujarnya setelah menatap Glara dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya. “Oh, mau ambil barang busuk kamu itu ya? tunggu ya‼” Wanita paruh baya itu mengangguk dan bergegas masuk ke dalam rumah tepatnya ke dalam kamar yang dulu Glara dan Damian tinggali.
Glara terdiam, ia tak masih tak percaya dengan apa yang terjadi di dalam hidupnya. Seminggu yang lalu, Glara memutuskan untuk pulang ke kota kelahirannya setelah 18 bulan bekerja di Jepang. Namun, Glara mendapatkan kejutan yang datang bertubi-tubi. Mulai dari perceraian yang diajukan oleh Damian, sikap mertua dan suaminya yang mendadak berubah juga kejutan akan rencana pernikahan Damian.
Glara masih bergeming, ia menatap Damian yang sibuk menata ruangan dengan dekorasi khas pernikahan. Glara hendak melangkah masuk namun baru beberapa langkah ia berjalan, langkahnya terhenti kala melihat kedatangan mantan mertuanya yang berjalan mendekatinya dengan beberapa koper dan tubuh bocah laki-laki.
“Bawa anak gak guna ini! Bisanya cuman ngerepotin saja!” imbuh wanita itu mendorong tubuh Gama ke arah Glara.
Dengan sigap, Glara menangkap tubuh kurus buah hatinya, Gama. Hati wanita itu teriris pilu melihat keadaan putra semata wayangnya. “Ibu ...” ujar Gama sembari memeluk erat Glara.
Glara mengepalkan tangannya, giginya bergemeletuk dengan sikap mantan suami juga mertuanya itu. Glara tak mempermasalahkan jika memang Damian memilih untuk berpisah namun, ia tak terima jika putra semata wayangnya diperlakukan tidak baik seperti itu. Dengan menahan amarahnya Glara menatap Damian dan juga mantan mertuanya seraya berkata, “Kamu lihat saja! Aku akan membalas semua perbuatan kalian!”
Bukannya takut, Damian justru terkikik geli. “Membalas? Mau pakai cara apa? Kamu itu gak akan punya uang kalau gak berangkat ke luar!” hina Damian. “Keluargamu saja sudah membuangmu, ‘kan? Coba kalau keluargamu masih menopang atau memberiku jabatan di perusahaannya, tentu aku tak akan menceraikanmu Glara Latusha Seraphine,” imbuh Damian mengejek Glara yang masih memelek putranya.
“Jadi selama ini kamu hanya memanfaatkanku?”
“Memangnya apa yang bisa dibanggakan dari wanita sepertimu? Cantik enggak seksi juga enggak. Aku terpaksa menikahimu. Sialnya keluargamu justru membuangmu tanpa sepeserpun bagian dari perusahaan.”
Glara menggelengkan kepalanya, menatap Damian tak percaya. Ia benar-benar tak mengenali Damian yang sekarang berdiri di depannya. “Tunggu saja, Kamu dan Ibumu akan menyesal!” ujar Glara seraya menggendong putranya dan berlalu meninggalkan Damian yang menatapnya dengan senyum sinis.
Langkah kaki Glara menapaki jalanan beraspal rumah yang ia beli beberapa tahun silam, walau kesulitan Glara tetap berusaha sebaik mungkin membawa putra dan juga barang-barangnya. Hingga langkah kakinya berhenti di sebuah halte bis.
“Gama, apa yang mereka lakukan selama ini padamu, nak?” lirih Glara. Ia mengelus kepala putra tunggalnya itu. Detik selanjutnya, Glara menyadari jika anaknya kesulitan untuk mengambil napas. Ia segera memeriksa tubuh sang putra. Dada Gama terlihat naik turun secara lambat.
“Bu ...”
“Gama, kamu kenapa, Nak?” tanya Glara panik, namun anaknya tak menjawab. Gama pingsan dipelukan ibunya. Glara semakin panik, ia tak tahu harus bagaimana sekarang. Lebih sialnya lagi, bis yang Glara tunggu tak kunjung datang, Glara pun terpaksa menggunakan taksi yang melintas untuk mengantarkannya ke rumah sakit terdekat.
Tak lama kemudian, mereka sampai di tempat tujuan, tanpa memikirkan barang-barangnya, Glara langsung berlari menuju unit gawat darurat, suster yang melihatnya kemudian mengambil alih tubuh Gama dan meletakkan ke dalam bangsal.
Setelah mematikan tubuh Gama terbaring dengan baik, perawat pun keluar dan memanggil dokter jaga. Tak lama, dokter jaga datang dan memeriksa keadaan Jason. “Silakan tunggu di luar, bu.”
“Tapi saya mau menemani anak saya di sini, suster,” tolak Lyra.
“Saya mengerti, biarkan kami memeriksa kondisi putra ibu terlebih dahulu ya,” imbuh suster tersebut. Mau tak mau Glara menuruti perkataan suster tersebut, dengan berat hati ia meninggalkan Gama.
Glara memainkan buku jarinya, ia cemas dan gelisah dengan keadaan putra semata wayangnya. Ia bahkan lupa akan rasa sakit hati karena ulah Damian. Tak lama menunggu, suster yang tadi membantunya keluar dari ruangan.
“Dengan ibu pasien?” katanya tersenyum hangat. Glara mengangguk, suster itu pun mengajak Glara masuk untuk bertemu dengan dokter yang menangani Gama.
“Bagaimana dengan kondisi anak saya dok?” tanya Glara to the point.
“Sejak kapan putra ibu menderita sakitnya?” balas dokter itu dengan raut wajah yang tak bisa diartikan.
Kening Glara sontak mengerut mendengar pertanyaan dokter di depannya. “Sakit? Putra saya sakit apa dok?”
Dokter itu tak kalah terkejutnya dengan raut wajah Glara. “Ibu tidak tahu?”
“Tidak tahu apa dok?” cecar Glara menuntut jawaban jelas dari dokter itu.
“Putra ibu mengidap sakit… .”
Glara kini terduduk di depan ruang intesif, di dalamnya bersemayam tubuh putra tercinta yang empat tahun lalu ia lahirkan. Glara berulang kali memeriksa ponselnya, ia membuka menu m-banking dan pesan secara bergantian.
“Tabunganku tak cukup untuk membiayai pengobatan Gama. Ya tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau kehilangan harta paling berharga di hidupku. Gama satu-satunya harta terbesar yang aku punya,” lirih Glara seorang diri. Ia menatap lurus ke arah pintu dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi tunggu.
Lebih dari satu jam, Glara hanya diam menatap ponsel dan pintu di depannya bergantian. Hingga sebuah suara mengintrupsi dirinya. “Pasien mengalami penurunan, segera hubungi keluarganya!” Glara bangkit dan mendekati suster yang akan masuk ke dalam ruangan Gama.
“Suster ada apa?” tanya Glara panik.
Suster itu menoleh dan menatap Glara iba. “Maaf ibu, kondisi putra ibu semakin menurun. Kita harus segera melakukan tindakan.”
Glara menarik napas dalam-dalam dan memejamkan matanya. Ia memantapkan diri dan hati untuk mendial nomor yang sedari tadi ia pandangi. “Hallo, aku membutuhkan bantuanmu!”