Bab 2 Salwa Tak Percaya
Bab 2 Salwa Tak Percaya
Salwa Azzahra, seorang dokter PTT yang sedang bertugas di salah satu daerah perbatasan di Indonesia Timur, baru saja pulang dari rumah seorang pasien, membantu ibu muda melahirkan anak pertamanya. Ibu dan bayi selamat sehingga ia bisa pulang lebih awal untuk beristirahat.
Begitu sudah tiba di depan pintu rumahnya, ia menyapa dua pemudi yang ditugaskan untuk mendampinginya.
“Selamat malam Dokter. Sudah selesai?” sapa Debi, salah satu dari dua orang pemudi tersebut.
Sementara Ika, mengambil tas peralatan Salwa dan sebuah plastik hitam ia letakkan di atas kursi kosong. Plastik tersebut berisi kain adat yang diberikan oleh pasien sebagai ucapan terima kasih.
“Alhamdulillah, ibu dan bayinya selamat. Sudah ada Mama Berta yang menemani.”
“Syukurlah. Dokter mau minum teh panas mungkin, biar Ika buatkan?”
“Tidak usah, terima kasih. Saya mau langsung istirahat saja.”
Sebelum masuk ke kamar masing-masing, ritual malam selalu mereka lakukan. Debi dan Ika akan terlebih dahulu menemani dokter ke kamar kecil di belakang untuk membersihkan diri.
Kebanyakan toilet dari setiap rumah di kampung tersebut, letaknya jauh ke belakang. Jarang sekali melekat langsung dengan rumah induk. Itulah mengapa mereka berdua selalu menunggui Salwa jika harus ke belakang di malam hari.
Setelah Salwa selesai barulah ketiganya lalu bubar. Debi dan Ika dengan segera akan mengecek dan mengunci semua pintu dan jendela agar mereka bisa beristirahat. Memastikan pelita yang akan menerangi mereka sepanjang malam diletakkan di lantai dan jauh dari semua benda yang mudah terbakar.
Salwa sendiri sudah pamit untuk masuk ke kamarnya terlebih dahulu, melakukan salat Isya sebelum tidur. Begitu ia sudah merebahkan tubuhnya di pembaringan, meskipun merasa lelah tetapi ia tidak bisa langsung memejamkan matanya. Di ambang rasa kantuk yang mendera, Salwa masih mengingat awal mulanya ia bersikukuh untuk tidak menolak penempatan di tempat terpencil seperti ini.
Kampung yang asri namun sepi bahkan jauh dari benderangnya bola lampu. Semboyan listrik masuk desa masih belum dirasakan semua kepala keluarga di tempatnya tinggal sekarang. Kesan pertamanya menginjakkan kakinya di tempatnya mengabdi ini adalah ia merasa sehat, sejuk dan segar karena bebas dari polusi. Salwa akhirnya tertidur dalam kenangan, yang membuatnya menetap di tempat yang jauh dari bisingnya ibu kota Jakarta.
*
Tujuh jam kemudian, Salwa terjaga. Terkadang ia akan dibangunkan oleh kokok ayam jantan tetangga. Tubuhnya sudah terpola untuk bangun pada pukul setengah lima pagi, entah pukul berapa pun ia tertidur malam sebelumnya.
Seperti biasa ia akan mengambil wudhu yang ia lakukan di dapur saja, karena di luar masih gelap. Lantai sebagian area dapur masih dari tanah sehingga tidak perlu khawatir akan licin, karena air langsung menyerap.
Setelah menunaikan salat Subuh lalu membaca ayat-ayat suci, Salwa akan membantu dua orang pemudi itu untuk menyiapkan sarapan sederhana. Nasi putih disertai sayur dipetik dari kebun di halaman atau diberikan para tetangga. Terkadang ditemani telur, daging ayam atau ikan jika mereka beruntung. Kacang tanah goreng akan selalu ada di dalam toples dan juga sambal dengan perasan jeruk nipis dan irisan bawang merah.
Lalu mereka akan melanjutkan pekerjaan masing-masing. Debi seorang guru Taman Kanak-kanak yang akan membuka kelas pukul setengah delapan, sedangkan Ika masih di bangku kelas 3 SMA. Salwa sendiri akan dijemput oleh seorang staf Puskesmas setiap pagi pukul tujuh lewat lima belas menit. Jarak dari kampung ke Puskesmas sekitar 2 km dan mereka tidak tega untuk melihat dokter berjalan kaki ke sana. Walau terkadang Salwa memaksa untuk berjalan kaki jika ia butuh untuk mengeluarkan keringat, walau tidak untuk pagi ini.
Salwa tiba di Puskesmas dan pukul setengah delapan tepat, ia memimpin jalannya apel pagi dengan semua staf yang sudah hadir. Ada sekitar delapan belas orang staf kesehatan yang ditugaskan di sana mendampingi Salwa.
Hari ini mereka akan mengadakan kegiatan Posyandu untuk empat desa yang tidak memiliki kader. Delapan desa lainnya dari dua belas desa yang harus ditangani oleh Puskesmas, sudah bisa menyelenggarakan kegiatan Posyandu secara mandiri dengan kader terlatih.
Di kecamatan ini, tingginya angka gizi buruk sangat memprihatinkan. Hatinya sangat sedih melihat semua definisi kurus dan kerdil yang selalu ia hafalkan, ia saksikan langsung dengan mata kepalanya sendiri, seminggu setelah ia mulai melakukan pekerjaannya di daerah ini.
Sambil bercanda Salwa mengajak kader-kader yang hadir mengulangi definisi seorang anak dikatakan kurus. Salah satu kader, mengacungkan tangannya sambil tersenyum riang. Rambut ikal yang melekat pada keningnya, bahkan ikut bergerak ketika dia menjawab.
“Dokter, anak dikatakan kurus, apabila berat badannya tidak seimbang dengan standar tinggi setiap anak tanpa hambatan apa pun, pada usia yang sama. Dari segi kesehatan maka anak yang kurus tidak mendapatkan asupan yang cukup untuk protein, kalori, dan atau zat gizi mikro. Kelompok anak ini sudah pasti kekurangan viatamin dan juga mineral,” jawabnya, terengah-engah karena terlalu bersemangat dan tidak mengambil jeda.
Selain kurus, tak jarang Salwa temukan banyak anak yang kerdil. Artinya, berat badan anak tidak sesuai dengan usianya. Hal ini biasanya disebabkan oleh kekurangan gizi kronis. Faktor penyebabnya beragam tetapi jika ditelusuri akar masalahnya maka akan cenderung terkait dengan kemiskinan. Kemiskinan inilah yang menyebabkan kesehatan dan gizi ibu yang buruk, dan pola perawatan kesehatan yang tidak tepat sejak awal kehidupan, terutama sejak janin dalam kandungan sampai dengan usia dua tahun. Saat di mana otak janin dan organ vital lainnya berkembang dengan sangat pesat.
Dampak lanjutan gizi yang buruk mengalami apa yang dikenal dalam kalangan medis sebagai kekurangan mikronutrien, yaitu kurangnya vitamin dan mineral penting untuk tubuh. Tidak bisa dipungkiri lagi jika anak kurang vitamin A, maka akan berdampak pada mata. Kekurangan elemen seng akan menyebabkan pertumbuhan terhambat. Apabila kekurangan yodium, akan membuat pembesaran kelenjar tiroid.
Dan yang tidak kalah fatalnya adalah jika kekurangan zat besi. Apabila terjadi maka akan mempengaruhi perkembangan dan fungsi otak dari para generasi termuda. Dan itu semua dapat ditemukan di daerah ini. Hancur hati Salwa saat menerima kenyataan bahwa jauh dari rumahnya yang kecil di Jakarta, sebagian penduduk Indonesia masih jauh dari kehidupan standar. Sangat jauh.
Salwa tidak pernah lupa, setelah melihat keadaan anak-anak yang sedemikian, ia langsung melakukan pencarian data kuantitatif untuk memperkuat apa yang sedang ia pikirkan.
Data pada provinsi NTT, disebutkan ada 40,3% prevalensi kekerdilan dari bayi dan balita, angka 18% untuk bayi kategori sangat pendek dan kategori pendek di angka 22,3% dan kabupaten TTU menjadi salah satu penyumbang untuk data yang ada. Data-data itulah yang membuat Salwa tergugah untuk melakukan perubahan dengan hadir langsung dan mengabdi untuk masyarakat yang membutuhkan keahliannya.
Belum resmi Puskesmas dibuka, ibu-ibu tua dan muda dengan membawa Balita sudah berdatangan. Satu jam kemudian puskesmas sudah ramai dan pelayanan kesehatan mulai dilakukan.Suara tangis Balita mulai memenuhi setiap jengkal ruang Puskesmas, berbaur dengan suara ibu-ibu yang berusaha menenangkan mereka. Riuh rendah. Kadang drama terjadi, saat anak-anak yang berusia dua tahun ke atas tidak bisa diam, dan berlari kesana kemari saat ingin ditimbang.
Saat ini Salwa sedang menghadapi calon reporter cilik yang masih saja sibuk menanyakan ini dan itu kepadanya.
“Jadi ini apa buk doktel?” Si kecil Ara masih mengulang pertanyaan yang sudah ditanya dan dijawab Salwa beberapa menit lalu dengan aksen balitanya.
“Lupa ya? Ini alat untuk memeriksa denyut jantung kamu.. kalau lagi sakit.”
“Aku tak cuka cakit.. cemua jadi pahit.”
Salwa tersenyum mengelus rambut gadis cilik itu. Ara termasuk anak yang kurus, meski masih banyak yang lebih kurus lagi dibanding dirinya.
Kesibukan di Puskesmas itu membuat tanpa terasa tiga jam sudah mereka melayani ibu dan anak yang datang. Salwa masih setia di meja penyuluhan menanti ibu yang sedang menimbang anaknya. Ia melihat salah satu stafnya sedang menimbang bayi kurus dengan berat badan di bawah tabel standar balita sehat. Salwa lalu melakukan penyuluhan langsung dengan ibu dengan bayi dengan kekurangan berat badan tadi.
Di tengah-tengah penyuluhan itu, Salwa mendengar suara teriakan anak-anak berkali-kali memanggilnya, “Bu Dokter! Bu Dokter!”
Konsentrasinya sudah terbagi, Salwa mengangkat kepalanya dan matanya mengerjap, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Bersambung